Oleh: Mahbib Khoiron
Apa nilai penting dari studi agama-agama? Pertanyaan ini mencuat bisa terjadi seiring dengan perkembangan nalar berpikir yang sinis bahwa agama tak ubahnya budaya masyarakat yang tak memiliki peran fundamental dalam melatari segenap aktifitas para penganutnya. Tentu hal demikian menyedeerhanakan masalah. Karena buktinya beragam peradaban di dunia ini dari soal kemajuan pesatnya sampai titik akhir kehancurannya selalu melibatkan agama-agama. Itu artinya, agama memang menyimmpan potensi ganda, yakni memompa jalan kehidupan manusia untuk naik ke atas atau justru memerosotkan kelebihan-kelebihan yang semestinya dicapai kepada lembah keterpurukan.
Tengok saja beberapa fakta yang ada di negara-negara maju seperti Jepang dan India. Potensi transformatif yang termuat dari ajaran Shinto nyatanya memacu negara Jepang untuk menuai sebuah kemajuan. Demikian pula dengan India, yang sanggup hidup secara independen dalam hal ekonomi lantaran doktrin Swadesi yang mereka anut memberi anjuran dan dukungan penuh pada watak kemandirian masyarakat India. Kenyataan ini mungkin sangat kontras dengan apa yang terjadi di Turki. Negara sekuler ini berupaya keras membuang agama dari kehidupan politik. Mungkin ini dilatari oleh motivasi baik menciptakan kehidupan politik yang lepas dari kepentingan ideologis apapun, karena negara seyogyanya menjadi ‘rumah bersama’ dan berlabuhnya cita-cita kesejahteraan bersama. Apalagi peristiwa traumatik pada abad pertengahan yang dipertontonkan di penjuru Barat sana cukup meyakinkan khalayak umum bahwa agama memiliki kekolotannya sendiri yang irasional. Namun apa yang kita skasikan di Turki pasca penerapan ideologi sekulerisme ini? Negeri ini jatuh pada keterpurukan lantaran membanjirnya protes keras dari para agamawan yang merasa tidak terserap aspirasinya dan hak-hak individualnya.
Pelajaran yang ingin kita petik dari realitas historis ini adalah cara bijak kita dalam menyikapi agama. Betapapun agama mempunyai karakter, hukum dan logikanya sendiri. Menjeneralisasi fungsi agama yang selalu identik dengan watak sektarian dan eksklusif, dan karenanya harus ‘dimusnahkan’, tentu adalah keputusan gegabah yang tidak cermat dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Karena diyakini atau tidak agama sejatinya menganut idealisme universal, melampaui batasan sekte, letak geografis, dan periode-periode khusus. Universalitas inilah yang penulis sebut sebagai lahan pertemuan dari berbagai titik, dan karenanya mampu melakukan perubahan tanpa harus menyakiti the others meski berangkat dari sudut pandang agama.
Tesis ini bisa dibuktikan dengan kenyataan historis keberagamaan Nusantara yang menampilkan pergulatan antara kecenderungan normatif kaum agamawan dan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi dalam kehidupan bernegara. Meski berlangsung terseok-seok dan dikendalikan oleh batasan-batasan tertentu, toh para ulama Nusantara mampu menunjukan dimensi universal dari agama, selanjutnya menjadi payung bagi semua kelompok di Tanah Air. Berakar pada sufisme tarekat, pemberontakan para petani di Banten pada tahun 1888 berteriak lantang menentang kolonialisme. Juga, kemampuan pemimpin kaum nahdliyin menghimpun kekuatan masa melawan penjajah melalui rekomendasi berupa ‘Resolusi Jihad’ di Jawa Timur. Bagi kaum agamawan yang tengah berjuang, siapapun tak memiliki hak untuk dapat menghilangkan hak orang lain secara tidak adil. Dan ini mendapat legitimasi dan justifiksi kuat dari agama mereka sendiri, melalui jaminan pokok bagi kehidupan manusia yang termuat dalam prinsip-prinsip dasar syari’at (maqâshid al-syarî‘ah), berupa jaminan hidup dan keselamatan fisik (hifdh al-nafs), jaminan kenyamanan dalam menganut sebuah agama (hifdh al-din), jaminan terjaganya kepemilikan harta pribadi (hidfd al-mal), jaminan kesucian dan kehormatan keluarga (hifdh al-nasl), dan jaminan untuk berpikir secara jernih (hifdh al-aql). Terlihat bahwa mereka telah meningkat dari formalisme agama yang rigit kepada naik pada tataran nilai utama (Welstanschauung) dari Islam sendiri.
Andai mereka terjebak dalam formalisme agama yang rigit, maka keadaan tidak akan ditemui seperti sekarang ini. Dengan sadar, kemenangan yang mereka raih tidak lantas memaksakan ideologi agama tertentu sebagai pengatur alternatif satu-satunya dalam kehidupan bernegara. Dengan lapang dada dan keberanian moral yang ada, pandangan lebih diarahkan pada visi ke depan dengan skala berjangka panjang.
Karena ia berangkat dari normatifitas teks suci, sejauh apapun gebrakan yang dilaksanakan akan senantiasa dikendalikan oleh batasan-batasan pasti dari nash agama. Resolusi Jihad, misalnya, mewajibkan bagi warga laki-laki di suatu daerah yang berada 40 KM dari daerah perang untuk turut berjiad. Atau penghalalan atas praktik pihak bank konvensional membebankan bunga dalam jumlah tertentu selama uang hasil pinjaman difungsikan oleh nasabah secara produktif, bukan untuk memenuhi kebutuhan primer. Sebuah upaya untuk senantiasa menyeimbangkan antara tuntutan norma agama dan keperluan tak terelakan dari kenyataan hidup menjadi ciri watak dari agama, baik untuk kasus perubahan yang evolusioner ataupun revolusioner sekalipun.
Pada titik ini menjadi mafhum bahwa agama sebetulnya mampu menembus batasan dirinya sendiri meski dalam tingkat terjauh yang dibatasi oleh keimanan yang tak bisa diganggu gugat. Dengan demikian, peran nyatanya terhadap isu kemanusiaan sangat bisa diharapkan. Lantas, relevankah meminggirkan agama atas nama penegakan secara merata hak asasi manusia? Bukankah meminggirkan itu sendiri merupakan bentuk keputusan yang tidak menghargai hak hidup agama itu sendiri?
Meski potensi positif itu terpendam banyak dalam diri agama, bukan berarti ia diperkenankan menunjukan superioritas ideologinya di atas ideologi-ideologi yang lain. Sebab, di samping terkandung unversalisme, agama juga menuntut rigiditas perilaku di setiap penganutnya. Ia juga memiliki watak eksklusif dan ideologisnya sendiri. Sangat berbahaya manakala rigiditas yang dibarengi eksklusifisme ini dijunjung tinggi karena bisa memangkas hak bebas manusia lainnya. Ini jelas sekali terlihat dalam fenomena syari’atisasi negara, pendirian kota injil, dan lain sebagainya.
Nah, apa yang bisa kita upayakan dari potensi ganda dari agama ini? Pertama, adalah menekankan aspek paling utama dari agama melalui agenda universalisasi ajaran agama. Ia harus menjadi panglima dalam setiap keputusan dan tindakan yang mengatasnamakan agama. Kedua, menghadapi rigiditas ajaran yang cenderung kaku dibutuhkan keberanian moral untuk sedikit ”melunakkan” supaya tetap selaras dengan universalitas nilai yang diusungnya. Menghapus ajaran yang dianggap kurang relevan adalah pilihan sikap yang tidak arif, karena yang terpenting adalah bukan menghilangkan tetapi adalah pengembangan wawasan misalnya melalui kesadaran filosofis akan sikap hidup berdampingan, kemanusiaan, kosmologi, yang sesungguhnya terpendam dalam dan bertebaran pada spiritualitas dan universalitas ajaran agama bersangkutan.
1 komentar:
Silahkan bergabung di Group kami :
GROUP
https://www.facebook.com/groups/Stop.Fanatisme/
Silahkan dibaca-baca page kami jika suka, tolong di Like page nya :
PAGE
https://www.facebook.com/pages/Stop-Fanatisme/172872749453830
Terima kasih
Posting Komentar