Sebelum kita memaknai politik dalam ruang lingkup agama, adanya kita harus perlu untuk mengetahui apa definisi serta maksud tujuan dari politik itu sendiri. Aristoteles mendefinisikan bahwa yang dimaksudkan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara yang bertujuan untuk mewujudkan maslahat bersama. Selain itu ada juga yang mengartikan politik itu adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Anggapan lain mengatakan politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Akan tetapi definisi yang lebih tepat lagi mengatakan bahwa politik adalah suatu alat untuk membentuk dan membagi kekuasaan dalam koridor masyarakat. Khususnya dalam negara, politik berwujud sebagai pembuat keputusan.[1] Lantas bagaimana dengan penilaian anggapan bahwa doktrin agama/teologi berhubungan dengan politik?
Apapun aspek yang ada dalam dunia agama, tentu sangat banyak sekali berbagai macam potensi pengetahuan yang layak untuk dipelajari, khususnya pada agama Islam. Islam selaku sebagai agama dan ideologi yang kaffah, dapat mengakomodir segala macam bahasan yang tak lapuk dimakan usia. Seperti contoh tentang aspek teologi, tasawuf dan juga filsafatnya yang terkenal, yang dikuasai oleh orang-orang yang benar-benar qualified. Maka dari ini semua, Islam sempat menjadi poros pengetahuan dunia dan menjadi kiblat pengetahuan dunia.
Lantas bagaimana dengan aspek politik? Apakah Islam juga eksis di dalamnya? Maka kita tidak ragu lagi untuk mengatakan tentu saja bahwa Islam sangat berkecimpung dalam aspek politik, kekuasaan atau politik di mata Islam haruslah berbentuk sebagai kekuasaan yang darinya tumbuh sifat-sifat mulia manusia, belas kasih, cinta sesama, membantu yang membutuhkan pertolongan dan sebagainya.[2] Dapat dikatakan juga bahwa berkat pengadaan sistem politik yang baik-lah ini, Islam dapat berekspansi keseluruh penjuru, mulai dari Asia sampai dengan Eropa, khususnya Eropa di bagian barat.
Terkait dengan politik dalam Islam itu sendiri, maka kita dapat mengetahui bahwa beberapa opini mengatakan, yakni politik dalam dunia Islam terkait atas aspek teologi. Beberapa di antaranya ada yang mengatakan bahwa teologi yang mempengaruhi politik, ada yang mengatakan bahwa politik yang mempengaruhi teologi, dan juga ada yang mengatakan keduanya saling mempengaruhi. Akan tetapi manakah yang lebih tepat? Secara pribadi maka makalah ini mengatakan bahwa teologi yang mempengaruhi politik. Pendapat ini dapat kita lihat pada permasalahan perpecahan umat yang paling awal, yakni pada peristiwa Saqifah Bani Sa’îdah.
Kelompok yang meyakini Imam ‘Àli ibn Abi Thâlib yang telah ditunjuk menjadi pemimpin pasca sepeninggal Rasulullah menolak kebijakan yang diputuskan di Saqifah. Mereka adalah Malik ibn Nuwairah, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar ibn Yasir, Salman Al-Farisi, Bilal ibn Rabah dan masih banyak yang lainnya. Melihat atas contoh ini, kita dapat melihat bahwa keyakinan teologis telah mempengaruhi pemikiran politik yang mereka anut. Meskipun kenyataannya bahwa Islam secara historis yang diperankan oleh Rasul saww tidak menghubungkan secara rinci tentang relasi antara pandangan teologi/agama mempunyai hubungan dengan aspek kenegaraan/politik.
Pasca Khulafa‘urrâsyidîn juga terjadi hal seperti itu. Yakni pada masa pemerintahan raja-raja bani Umayyah dan bani ‘Abbas. Di mana terjadi persaingan antara dua madzhab besar teologi yakni ‘Asy‘ariyah dan Mu’tazilah untuk menyentuh para penguasa. Para pembesar-pembesar dari dua madzhab tersebut berlomba-lomba untuk meyakinkan para raja-raja tersebut untuk menjadikan doktrin teologis mereka sebagai rujukan. Akibatnya, kebijakan politik yang diambil oleh para raja tersebut kerap merugikan bahkan mengancam eksistensi dari lawan madzhab yang dianut raja tersebut. Seperti contoh tentang Al-Ma’mûn yang menganut paham Mu’tazilah, sehingga kebijakan-kebijakan politik yang ia keluarkan banyak dipengaruhi oleh doktrin Mu’tazilah. Maka secara otomatis sudah barang pasti hal tersebut menggoncang stabilitas madzhab ‘Asy‘ariyah.
Terbukti lagi bahwa doktrin teologi mempengaruhi pemikiran politik ini juga terlihat pada pandangan Ibn Taimiyah. Sebagai seorang yang bermadzhab-kan Hanbali, tentu saja ia pasti mengkultuskan bahwa kebaikan hanya ada pada Islam dan menafikan segala sesuatu selain dari Islam. Al-Qur’an dan hadis Rasul, hanya dua hal itulah yang dijadikan landasan bagi madzhab Hanbali. Maka dari itu, dalam menanggapi masalah politik, ia mengatakan bahwa politik harus berasaskan kepada syariat Islam yang mana syariat Islam tersebut merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis Rasul saww.
Alhasil ia beranggapan bahwa politik haruslah bersifat di-islamisasi-kan, agar kemaslahatan dapat dirasakan oleh semua kalangan. Kesimpulannya dapat kita lihat bahwa doktrin madzhab Hanbali yang dijadikan sebagai keyakinannya telah merasuki pemikirannya, sehingga dalam menggagas tentang idealnya suatu sistem politik, ia memasukkan doktrin Hanbali di dalamnya. Sehingga tercipta-lah suatu sistem politik yang ke-Hanbali-Hanbali-an.
Selain dari itu, kita dapat melihat bukti yang lebih konkrit lagi bahwa keyakinan teologi yang mempengaruhi sikap politik pada negara Mamlakah al-Sa‘ûdiyah Al-‘arabiyyah atau yang akrab kita kenal dengan sebutan Arab Saudi. Negara yang menjadikan monarki absolut sebagai aliran pemerintahannya ini menjadikan paham Wahabi yang merupakan kelanjutan dari madzhab Hanbali sebagai aliran teologi resmi negaranya. Kronologi hal ini dimulai dari pasca runtuhnya dinasti Turki ‘Usmânî, maka bangkitlah daerah-daerah yang awalnya sebagai daerah kekuasaan Turki ‘Usmânî menjadi merdeka dan membentuk negara sendiri, seperti yang terjadi pada Hijaz yang merdeka menjadi Saudi Arabia. Sekitar tahun 1744/1745 terjadi kesepakatan antara Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab selaku pendiri madzhab Wahabi dengan Muhammad ibn Al-Sa‘ûd seperti yang telah disinggung di atas.
Tentu dampaknya dapat kita lihat dan sudah tidak menjadi asing lagi. Beberapa contohnya adalah pemusnahan makam-makam keluarga dan sahabat Nabi dan yang awalnya dihias sebegitu megah pada dinasti Turki ‘Usmânî yang kemudian dihancurkan karena mereka yakini itu sebagai bid’ah, dilarangnya untuk berziarah ke makam Rasulullah saww dan sembunyi-sembunyinya beberapa aliran-aliran tasawuf atas kegiatannya.
Semua ini adalah beberapa contoh dari watak politik yang sebenarnya telah membebek kepada aliran-aliran teologi dalam Islam. Betapapun telah kita ketahui bahwa politik adalah alat untuk membentuk dan membagi kekuasaan dalam koridor masyarakat, akan tetapi politik tidak dapat lepas dari pengaruh teologi dalam agama.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
[2] Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya (Bangil: Yapi 1995) Hal: 192
0 komentar:
Posting Komentar