Perang Uhud

Kamis, 09 Juli 2009


Pendahuluan
Kekalahan kaum musyrikin Mekkah pada perang badar tidak membuat mereka berhenti melakukan serangan dan pemberontakan pada kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah saww. Kaum musyrikin Mekkah masih selalu berusaha untuk menunjukkan kekuatannya dan menyebarkan aroma-aroma pertikaian untuk menghancurkan umat Islam. Salah satu pertempuran besar yang terjadi setelah kekalahan kaum musyrikin pada perang badar berlangsung pada tahun ke-3 Hijriyah. Pertempuran itu terjadi di sebelah utara kota Madinah, tepatnya di kaki bukit Uhud. Sejarah kemudian mencatat bahwa pertempuran yang terjadi di kaki bukit Uhud itu dinamakan perang Uhud.



Setidaknya ada empat hal yang melatar belakangi penyerangan kaum musyrikin kepada kaum muslimin Madinah sehingga menyebabkan pecahnya perang Uhud. Pertama, dan yang paling utama adalah hasrat kaum musyrikin untuk membunuh Rasulullah saww dan menghancurkan Islam. Kedua, balas dendam atas kekalahan kaum musyrikin pada perang badar. Ketiga, adanya provokasi dari Ka’ab ibn Asyraf. Seorang yahudi yang menghasud para pemimpin Quraisy untuk menyerang umat Islam di Madinah, agar kaum musyrikin dapat menjarah harta umat Islam di kota itu, serta menawan wanita-wanitanya untuk memuaskan hasrat birahi kaum musyrikin. Dan yang keempat, agar jalur perdagangan menuju Syam yang harus melalui kota Madinah terbuka kembali bagi kaum Quraisy Mekkah.
Kronologi Pra-Perang Uhud
Perang Uhud diawali dengan rencana penyerangan kaum musyrikin ke Madinah. Setelah menyadari kekuatan dan besarnya keberanian umat Islam di perang Badar, maka para pemimpin Quraisy merasa perlu untuk melakukan persiapan yang lebih baik dengan jumlah pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Ada sekitar 3000-4000 bala tentara yang dipersiapkan kaum Quraisy dalam penyerangan ini, sebagian dari tentara itu berasal dari suku Kananah dan Tamamah.
Susunan pasukan tentara itu terdiri dari 700 lelaki berpakaian zirah, 3000 tentara berunta, 200 orang berkuda dan sekelompok infantri. Jumlah ini belum termasuk kaum wanita yang ikut serta. Memang bukan kebiasaan orang Arab untuk membawa wanita ke medan peperangan, tetapi kali ini wanita pun ikut dilibatkan. Para wanita diberi tugas untuk memukul gendang dan membacakan syair-syair dan pidato-pidato untuk mengobarkan semangat para lelaki.
Setelah merasa memiliki persiapan yang cukup dan tentara dengan jumlah yang besar, kaum musyrikin mulai berangkat menuju ke Madinah. Untuk masuk ke Madinah, orang-orang yang berasal dari Mekkah harus melalui sisi selatan kota. Namun, karena jalur ini berbatu-batu dan sukar dilalui, maka tentara Quraisy memilih jalan memutar dan berkemah di lembah ‘Aqia yang terletak di kaki bukit Uhud, sebelah utara kota Madinah. Mereka berkemah di tempat ini pada hari Kamis tanggal 5 Syawal tahun ke-3 H.
Rasulullah saww, yang menerima informasi infasi ini dari ibn ‘Abbâs, segera mengumpulkan para sahabat, perwira-perwira militer dan orang-orang berpengalaman lainnya, untuk bermusyawarah dan menyusun rencana terbaik dalam menghadapi serangan kaum musyrikin Quraisy. ‘Abdullah bin ‘ubai, salah seorang munafik Madinah juga hadir dalam pertemuan itu. Ibn ‘Ubai menyarankan untuk melaksanakan strategi bertahan, maksudnya pasukan Nabi tetap bertahan di dalam kota dan tidak menyerang pasukan quraisy. Saran ini kemudian ditolak karena sebagian besar peserta musyawarah lebih menginginkan untuk menyerang dan keluar dari kota. Pasukan Islam lebih memilih untuk berperang di tempat terbuka dan mati sebagai syuhadâ’ ketimbang bertahan dan membahayakan wanita dan anak-anak di kota itu. Rasulullah saww kemudian menganggap pandangan mayoritas sebagai keputusan, dan menyetujui gagasan untuk bertempur di luar kota. Ja’far Subhani dalam Ar-Risalah menuliskan apa yang dilakukan oleh Nabi setelah menetapkan keputusan itu seperti di bawah ini:
“Setelah menetapkan keputusan itu, Nabi masuk ke rumahnya. Beliau lau memakai baju zirah, menyiapkan sebilah pedang, memanggul perisai, menggantungkan panah di bahunya, memegang tombak dan dengan perlengkapan itu beliau muncul lagi di hadapan umatnya.”
Pada hari Jumat, 6 Syawal 3 H, setelah melaksanakan shalat jumat, Rasulullah berangkat menuju Uhud dengan pasukan sekitar 1000 orang. Namun, di tengah perjalanan, ‘Abdullah bin ‘Ubai dan sekitar 300 orang dari sukunya (suku bani aus) keluar dari pasukan Rasulullah saww. ‘Abdullah bin ‘Ubai tidak mau ikut berjihad karena merasa sakit hati kepada Nabi yang menolak sarannya dalam musyawarah persiapan perang. Sesampainya di bukit Uhud, kaum muslimin memilih tempat yang memiliki penghalang dan perlindungan alami di belakang bukit untuk berkemah. Tetapi di tengah bukit itu terdapat sebuah celah terbuka yang memungkinkan bagi pasukan muslimin untuk melakukan serangan dadakan melalui celah itu.
Untuk mengantisipasi terjadinya kemungkinan itu, pada pagi hari tanggal 7 Syawal 3 H, rasulullah saww mulai menata barisan tentara untuk menghadapi pasukan kaum Quraisy. Dua kelompok pemanah yang berjumlah sekitar 50 orang yang sebenarnya menjadi malapetaka bagi pasukan kaum muslimin ditempatkan di suatu bukit Uhud itu. Rasulullah saww mengatur pasukan itu dengan sangat cermat, sedemikian rupa sehingga apabila bahu salah seorang tentara lebih maju dari tentara lainnya maka Rasulullah saww segera menyuruhnya mundur. ‘Abdullah bin Jabir adalah orang yang ditunjuk oleh Nabi untuk memimpin pasukan pemanah itu. Kepada ‘Abdullah bin Jabir Rasulullah saww berkata, “Anda harus mengusir musuh dengan panah. Jangan biarkan mereka memasuki medan pertempuran dari belakang lalu menyerang kami secara mendadak, baik kami menang atau kalah anda sekalian tidak boleh meninggalkan tempat ini.”
Sementara itu, pasukan musuh pun menyusun barisan tentara dengan sangat cermat.Abu Sufyan yang merupakan tokoh penting dalam pasukan ini berperan sebagai pengomando pasukan musyrikin., ia membagi tentaranya menjadi tiga bagian. Ia menempatkan pasukan berbaju zirah di tengah, sekelompok pasukan di bawah komando Khalid bin Walid di sebelah kanan, dan sekelompok lain di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal diposisikan di sebelah kiri. Ia juga menempatkan satu peleton khusus pembawa panji sebagai pelopor. Sungguh persiapan yang matang sekali, akan tetapi tetap saja tidak akan pernah bisa mengalahkan kekuasaan Allah azza wa jalla.
Dimulainya Peperangan
Duel satu lawan satu antara pembawa panji pasukan Islam yaitu Imam ‘Ali bin Abi Thâlib dan pembawa panji pasukan musyrikin yaitu Thalhah bin Abi Thalhah menjadi pembuka perang Uhud. Akhirnya Imam ‘Ali yang bergelar “Saifullah” dapat menewaskan Thalhah. Sembilan orang untuk cadangan dari Thalhah pun juga tewas di tangan manusia mulia ini. Pasukan Islam lainnya yang bertempur secara massal di medan pertempuran juga memperoleh kemenangan yang membanggakan. Pasukan pemanah yang dipimpin ‘Abdullah bin Jabir juga berhasil memukul setiap pasukan lawan.selang waktu berjalan, pertempuran masih terjadi dan akhirnya pihak kaum musyrikin membuang senjatanya dan meninggalkan perbekalannya lalu melarikan diri. Akan tetapi hal ini masih bersifat sementara.
Namun kekacauan justru muncul setelah pasukan musyrikin melarikan diri. Karena menganggap bahwa pasukan musyrikin telah kalah, maka pasukan muslimin melepaskan senjata dan mulai mengumpulkan ghanimah milik tentara musyrikin. Para pemanah yang ditugaskan untuk berjaga di bukit Uhud pun tergiur dengan situasi tersebut dan juga ikut sibuk mengumpulkan ghanimah. Sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya bukit Uhud dan merngabaikan perintah Rasulullah saww sembari berkata : “Sia-sia kami tinggal disini, Nabi hanya bermaksud bahwa kita harus menjaga celah ini bilamana pertempuran sedang berlangsung, tetapi sekarang pertempuran telah berakhir.”
Kekalahan Setelah Kemenangan
Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, dua orang pimpinan penjuru pasukan musyrikin itu melihat bahwa pertahanan di celah bukit Uhud telah terbuka, maka mereka segera memanfaatkan kesempatan itu dengan cara memimpin tentaranya yang masih tersisa untuk menyerang pasukan muslimin melalui celah tersebut.. pasukan muslimin pun akhirnya terkepung, dan pertempuran berlangsung lagi dengan keunggulan di pihak kaum musyrikin. Sebagian tentara musyrikin yang telah kabur pun kembali ke medan perang dan mereka menyerbu pasukan muslimin dari segala sisi.
Sungguh sebuah pelajaran yang besar yang harus kita simak, bahwa kurang adanya kepercayaan oleh pasukan pemanah tersebut terhadap perintah Rasulullah. Hasrat nafsu mereka telah mengantarkan pasukan mereka kedalam kekalahan. Wahyu yang dituturkan Rasulullah saww tidak mereka perhitungkan dengan cermat. “wa mâ atâkum al-Rasûl fa hudzû wa mâ nahâkum anhu fântahû” keberadaan ayat tersebut telah dihiraukan oleh mereka.
Atas penyerbuan itu, maka dikabarkan bahwa Rasulullah saww telah terbunuh oleh pasukan musyrikin.. dalam waktu singkat kabar tersebut telah tersebar keseluruh arena pertempuran. Berita yang dinilai benar bagi kaum muslimin ini telah melemahkan semangat juang para pasukan muslimin dan sebaliknya malah menguatkan semangat tekad kaum musyrikin. Sehingga banyak diantara dari pasukan muslimin meninggalkan kabur meninggalkan medan peperangan dan berlari mencari perlindungan.
Rasulullah saww Terluka
Di tengah malapetaka yang mendera pasukan muslimin itu, Rasulullah bersama para sahabat tetap bertahan. Disaat Rasulullah diserang dengan anak panah oleh tentara kaum muslimin beberapa sahabat tersebut melindunginya. Imam ‘Ali yang bergelar “Karrâr ghairu Farrâr” (orang yang maju tanpa menyerah, dan bukan orang yang suka lari) beliaulah yang paling setia melindungi Rasul saww dari serangan musuh. Diriwayatkan puluhan anak panah telah menembus punggung beliau. Rasul saww dan beberapa sahabat setianya tetap kokoh bagai batu karang dalam membela Islam. Beberapa orang pasukan musyrikin telah berhasil membuat Rasulullah saww terluka. Orang-orang tersebut adalah:
1. ‘Abdullah bin Syahab, yang berhasil melukai dahi Rasul saww.
2. ‘Utbah bin Abi Waqash, yang melemparkan empat butir batu hingga mematahkan gigi ruba‘iyyat (empat buah gigi yang berada di antara gigi depan dan gigi taring) Rasulullah saww.
3. Ibn Qumi’ah Laitsi, yang melukai muka Rasul saww.
4. ‘Abdullah bin Hamid, yang berhasil dibunuh oleh Abu Dujanah ketika ia sedang menyerang Rasulullah saww.
5. Abu Khalaf, yang akhrinya tewas di tangan Rasul sendiri.
Akhir Perang Uhud
Ketika telah merasa menang dalam peperangan itu, Abu Sufyan mengambil kesempatan untuk melemahkan keimanan pasukan muslimin. Abu Sufyan meneriakkan kalimat-kalimat yang memuji da membanggakan kekuasaan patung-patung berhala yang disembahnya. Tokoh kaum musyrikin yang merupakan ayah dari Mu’awiyah dan keluarga dari khalifah ke-3 ini beserta para pasukannya menganggap bahwa keadaan menguntungkan yang mereka peroleh ini merupakan perwujudan bantuan dari berhala. Mereka juga melecehkan umat Islam. Seruan-seruan Abu Sufyan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh pasukan Rasulullah saww, dengan suara menggema pasukan Islam memberikan jawaban-jawaban tajam sehingga membuat gentar Abu Sufyan. Lalu Abu Sufyan merasa takut dan mengakhiri pertempuran di Uhud dengan berkata, “Kita akan bertemu lagi tahun depan.”
Pertempuran pun berakhir dan kedua pasukan itu akhirnya berpisah. Namun pasukan muslimin menderita kerugian yang besar. Dalam Ar-Risalah, Ja’far Subhani menulis bahwa kerugian kaum muslimin tiga kali lebih besar daripada kaum musyrikin. Adapun muslim yang gugur sebagai syuhada’ dalam perang Uhud sekitar 70 orang. Beberapa diantaranya adalah Hamzah bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saww), Sa’ad bin Rabi, ‘Amar bin Jumuh, ‘Abdullah bin ‘Amar, Handhalah bin Abu ‘Amir dan lainnya yang telah mengorbankan dirinya sampai tetes darah penghabisan. Tentu jasa mereka akan dikenang selalu oleh kaum muslimin.
Hikmah di balik Perang Uhud
Tentunya kita mengakui bahwa peristiwa perang Uhud itu telah membuat pasukan muslimin menderita kekalahan dan kerugian besar. Kalaupun ada penyebutan keberhasilan, itu hanya berasal dari para sahabat pemberani yang tak gentar dari serangan pasukan musyrikin. Namun meskipun terjadi demikian, adanya perang Uhud telah memberikan juga menyimpan hikmah yang dapat diambil di dalamnya, diantaranya : Pertama, Usaha yang gigih akan selalu menghasilkan keberhasilan, andai kata umat muslim menyerah pada saat mereka diserang, bukan hal yang tidak mungkin lagi bahwa mereka akan kalah, takdir sepenuhnya tidak ditentukan oleh Allah. Akan tetapi peran dari usaha manusia juga berpengaruh. Semakin kuat usaha yang dilancarkan, maka makin bagus pula hasil yang didapatkan. Kedua, Kedisiplinan dan konsistensi dalam menjalankan tugas merupakan hal yang sangat diperlukan untuk tercapainya keberhasilan sebuah tujuan. Sebaliknya ketiadaan sikap disiplin dan sikap konsisten oleh pasukan pemanah menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan. Ketiga, sikap optimis merupakan kunci yang salah satunya dapat merubah keadaan, sedangkan pesimis yang dialami oleh beberapa pasukan setelah mendengar kabar bohong tentang kematian rasul saww merupakan sikap yang tidak baik, karena hanya akan menimbulkan keputus-asaan.
Dampak dari Peperangan
Hampir secara keseluruhan bahwa semua peperangan dalam sejarah Islam tidak lepas dari dua kubu besar suku Arab, yaitu antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Pertikaian antara keduanya terjadi mulai dari dahulu kala. Seperti yang kita ketahui bahwa Umayyah merasa iri dengan Hasyim karena Hasyim terpilih dalam salah satu divisi kaum Quraisy yaitu menjadi penerima tamu. Dari situlah pertikaian mereka muncul. Disusul dengan perang Badar yang mana merupakan dari penentu kelanjutan Islam, kubu Umayyah diwakili oleh Abu Sufyan dan kubu Hasyim oleh Rasulullah saww yang mana beliau membawa kebenaran. Selanjutnya perang Uhud dan Khandaq.
Lalu sepeninggal Rasulullah saww pertikaian tersebut masih muncul yang mana lagi-lagi kubu Umayyah yang diwakilkan oleh Mu’awiyah merasa tidak terima dengan ketentuan yang diperoleh kubu Hasyim yang diwakikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib sehingga Imam Ali as. terpaksa harus memeranginya. Peperangan tersebut berakhir pada masa Imam Husein As-Syahid fi Karbala’, yaitu dengan peristiwa terbunuhnya Imam Husein selaku kubu Hasyim di tangan tentara Yazid bin Mu’awiyah selaku kubu Umayyah. Alhasil, bentuk dari kedengkian leluhur Umayyah agaknya memberikan pengaruh negatif sampai kepada keturunan setelahnya. Sebagai umat Islam, maka selayaknya kita tidak menirunya.

REFERENSI
Ja’far Subhani. Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW. terj. M. Hasyim dan Meth Kieraha. Lentera. Jakarta. 2004

print this page Print this page

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers