Makna Syari'ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah

Kamis, 09 Juli 2009

Pendahuluan
Syariat diibaratkan bagai sebuah mobil, syariat tidak bisa berjalan menjajaki jalanan tanpa adanya empat buah ban yang terpasang dibawahnya. Maka ban itu dimaknai merupakan sebuah sarana untuk memberjalankan syariat yang dinamakan thariqah. Akan tetapi ketiadaannya sebuah destination atau tujuan untuk merengkuh apa yang telah dicita-citakan adalah sebuah kesia-siaan belaka. Oleh karena itu dibutuhkan seorang sopir atau seorang mursyid untuk dapat membimbing kita agar dapat berjalan kepada perjalanan tersebut dengan pemahaman/haqiqah yang sejati dan menuai ma’rifah Tuhan yang sebenarnya.



Bentuk dari permisalan di atas adalah sebuah bukti bahwa betapapun kita menempuh perjalanan spiritual, akan tetapi jika kita mengabaikan salah satunya maka kita hanya akan mendapatkan kesia-siaan, dan bahkan bisa jadi akan mendapatkan kesesatan. Jelas sekali hal tersebut bisa dihukumi seperti itu karena ke-empatnya saling bergantung menjadi satu kesatuan. Seperti apakah syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifah? Maka makalah ini akan memberikan gambarannya.
Syariat
Kita dapat mengetahui bahwa syariat adalah sebuah ketetapan agama/hukum agama yang didisain sebaik mungkin untuk kebaikan para manusia dan jin yang dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan yang bertumpu pada sifat kasih-Nya dan bijak-Nya. Setiap agama memiliki syariat, dan dalam Islam Al-Qur’ân dan Hadîts-lah merupakan bentuk syariat.
Kita juga mengetahui bahwa syariat ini adalah pondasi pertama bagi seseorang untuk merengkuh kebenaran dan tingkatan selanjutnya. Oleh karena itu thariqah (tingkatan selanjutnya) tidak bisa dijalankan tanpa adanya syariat, dan kesempurnaan tingkatan terakhir tidak bisa dicapai melalui tingkatan bawah khususya tingkatan dasar yang dimiliki syariat, karena tiap-tiap maqam menyempurnakan maqam berikut-berikutnya.
Akan tetapi banyak dari orang berpendapat bahwa syariat bertentangan dengan akal atas dasar akal-nya tidak dapat memahami dan tidak mampu menyerap semua ketentuan syariat dan hukum Ilahi. Maka kasus ini umumnya terjadi pada kalangan kaum matrealis, yang mereka menafikan sarana-sarana yang sudah diberikan Allah sebagai penjelas Syariatnya seperti para Nabi dan para Wali.
Padahal justru sebaliknya, keberadaan syariat dan akal itu saling menopang karena syariat membutuhkan akal dan akal membutuhkan syariat, akal tidak akan mendapatkan petunjuk tanpa syariat dan syariat tidak akan menjadi jelas tanpa akal, keberadaan keduanya saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu keduanya diformulasikan kedalam manusia sebagai sarana untuk mengetahui kebenaran, Imam ‘Ali Al-Ridho as berkata bahwa,”manusia dibekali dua hujjah, yaitu hujjah bathinah dan hujjah dhahirah.” Hujjah bathinah adalah akal dan hujjah dhahirah adalah para nabi, Al-Qur’ân dan Hadîts, para wali dan syariat itu sendiri yang berada dalam Al-Qur’ân. Selain itu juga dalam literatur ilmu-ilmu Islam, keberadaan syariat ini juga dinisbatkan untuk orang-orang yang berakal, seperti contohnya dalam aspek fiqh yang memberikan ikatan hukum kepada seorang yang mumayyiz dan sehat akalnya.
Bagi para manusia yang masih terjebak oleh batasan-batasan pikirannya, akal hanyalah suatu aspek yang terdapat dalam diri manusia, ruang lingkupnya hanya terbatas pada aspek rasional dan tertolak pada aspek irasional, hal ini terjadi dikarenakan manusia begitu terpesona atas pencapaian hebat yang telah ditempuh oleh akal dalam bentuk penemuan-penemuan ilmiah. Keterpesonaan tersebut membuat manusia semakin hanyut oleh kekaguman terhadap apa yang dilakukan akal yang pada dewasa ini manusia mengabaikan kemampuan akal yang juga mampu untuk memiliki hubungan khusus dengan Tuhan. Berfikir, yang merupakan zona akal, oleh Islam diharapkan bukanlah yang bersifat abstrak dan terpisah dari hal yang nyata/empirik. Dengan melihat dan memperhatikan bukti-bukti/Al-Burhân dari Allah, diharapkan akal akan tahu dan tersadarkan, sehingga manusia mampu untuk menggunakan pengetahuannya dan kesadarannya secara sungguh-sungguh untuk merenungkan bukti-bukti akan keagungan Tuhan dalam penciptaannya akan alam. Maka seperti inilah bentuk pemikiran yang akan menyambungkan seorang makhluq kepada sang khâliq. Maka dengan kesimpulan ini kita dapat mengatakan bahwa tolok ukur akal tidak hanya terbatas pada hal yang bersifat rasional, melainkan juga menjangkau hal yang bersifat abstrak. Imam Ja’far Shadiq as dalam hadîts-nya berkata tentang akal:
عن احمد بن محمد بن عبد الرحمن المروزى عن محمد بن جعفر المقرى الجرجانى عن محمد بن الحسن الموصلى عن محمد بن عاصم الطريفى عن عياش بن يزيد بن الحسن بن على الكحال مولى زيد بن علي (ع)عن ابيه عن مو سى بن جعفر ابيه جعفر بن محمد عن ابيه محمد بن علي عن ابيه علي بن حسين عن ابيه حسين بن علي عن ابيه اميرالمؤمنين علي بن ابى طا لب (ع) قال قال رسول الله (ص) ان الله خلق العقل من تور مخزون مكنون فى سابق علمه لم يطلع عليه نبي مرسل و لا ملك مقرب فجعل العلم نفسه والفهم روحه والزهد رأسه والحياء عينه والحكمة لسلنه والرافة همه والرحمة قلبه ثم حشاه و قواه بعشرة اشياء بااليقين والامان والصدق والسكينة والاخلاص والرفق والعطية والقنوع والتسليم والشكر ثم قال عز و جل ادبر فادبر ثم قال له اقبل فاقبل ثم قال له ثكلم فقال الحمد لله الذي ليس له ضد ولا ند ولا شبيه ولا كفو ولا عديل ولا مثل الذي كل شيئ لعظمته خاضع ذليل فقال الرب تبارك و تعالى وعزتي وجلالي ما خلقت خلقا احسن منك ولا اطوع لي منك ولا ارفع منك ولا اشرف منك ولا اعز منك بك اوحد و بك اعبد وبك ادعى وبك ارتجى وبك ابتغى وبك اخاف وبك احذر وبك الثواب وبك العقاب و بك فخر العقل عند ذالك ساجدا فكان في سجوده الف عام فقال الرب تبارك وتعالىِِ ارفع راسك وسل تعط ولشفع تشفع فرفع العقل راسه فقال إلهى أسألك ان تشفعنى فيمن خلقتني فيه فقال الله جل جلاله لملائكة اشهدكم إني قد شفعته فيمن خلقته فيه
و فال (ع) يغوص العقل على الكلام فيستحرجه من مكنون الصدر كما يغوص الغائص على اللؤلؤ المستكنة (في البحر)
Dari penjelasan Imam Ja’far Shadiq as di atas, tidak mungkin akal dapat diartikan sesederhana itu, karena akal penciptaannya berasal dari cahaya, ilmu yang merupakan pusaka yang mulia adalah dirinya (dari akal itu sendiri) yang tidak dapat terpisahkan, pemahaman terhadap sesuatu adalah jiwanya, dan ke-zuhd-an yang merupakan pendek angan-angan dan sifat rasa syukur ketika mendapatkan nikmat adalah kepalanya. Rasa malu pun juga menyertainya, yang berwujud menjadi kedua matanya. Sedangkan lisan-nya, terdapat pada hikmah-nya yang mana hikmah tersebut menjadi penghukuman di akhir. Dan ke-rahmat-an adalah hatinya.
Thariqah
Thariqah yang telah dibahasa Indonesiakan menjadi tarikat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian thariqah memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, thariqah sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah. Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru thariqah diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karâmah, barâkah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya. Dalam Ilmu Tasawwuf menerangkan: bahwa “syariat” itu hanyalah peraturan-peraturan belaka, “thariqah-lah” yang merupakan perbuatan-perbuatan berkala, “thariqah-lah” yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Thariqah dalam pembagiannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Thariqah ‘Aam : adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru/mursyid/muqaddam.
2. Thariqah Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru/Syeikh/Mursyid/Muqaddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru/Syeikh/Mursyid/Muqaddam dengan izin bai’at khusus yang sanadnya sambung sampai pada Baginda Nabi, Rasulullah Saw. Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah al-Sufiyah/Thariqah al-Auliyâ’.Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama’ berjumlah 44 Thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah.. berikut adalah nama-namanya:
Umariyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, Rifaiyah, Ahmadiyah, Dasuqiyah, Akbariyah, Maulawiyah, Kubrawiyyah, Sahrowardiyah, Khalwatiyah, Jalwatiyah, Bakdasiyah, Ghazaliyah, Rumiyah, Sa’diyah, Jusfiyyah, Sa’baniyyah, Kalsaniyyah, Hamzaniyyah, Bairumiyah, Usysyaqiyyah, Bakriyah, drusiyah, Utsmaniyah, ‘Alawiyah, ‘Abbasiyah, Zainiyah, Isawiyah, Buhuriyyah, Haddadiyah, Ghaibiyyah, Khodiriyah, Syathariyah, Bayumiyyah, Malamiyyah, Uwaisiyyah, Idrisiyah, Akabirul Auliya’, Subbuliyyah, Matbuliyyah, Tuaniyyah, Sammaniyah.
Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan, menyaksikan cahaya nan gemerlapan dari Ma’rifatullah yang penuh harapan. Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma’rifatullah. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Sehingga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya Hakekat dirinya selaku seorang hamba didepan TuhanNya selaku Al Khâliq Swt. bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada level ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah SWT, tapi justru karena adanya target target hajat duniawi yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal.
Sedangkan golongan Muhaqqiqqîn tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata mata karena Allah SWT, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan/tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuan, tanpa ada harapan akan gaji/pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya semata. Jadi tujuan mereka adalah Allah SWT bukan benda-benda dunia termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan. Maka bentuk peribadatan yang seperti ini menurut Imam Husein Al-Syahîd adalah bentuk dari peribadatan seorang yang merdeka dan.sebaik-baiknya ibadah. Bukanlah ibadahnya seorang yang berharap mendapatkan pahala/mencari keuntungan. Bukanlah ibadahnya seorang yang beribadah kepada Allah atas rasa takut layaknya seorang budak.
Maka mereka inilah adalah sebaik-baiknya hamba di mata Tuhan yang dikatakan bertakwa. Mereka adalah hamba-hamba di bumi yang seakan-akan mereka penghuni surga dalam surga mereka, keyakinan dan cahaya-cahayanya berkilau dalam wajah mereka, mereka bersabara dalam hari-hari yang pendek (di dunia) demi kesenangan yang panjang (di akhirat). Adapun di malam hari, mereka berdiri melaksanakan shalat malam. Air mata mereka bercucuran di pipi mereka. Mereka berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah SWT. Mulut dan hati mereka telah merasakan manisnya bermunajat kepada Allah. Adapaun di waktu siang hari, mereka adalah orang-orang penyabar dan alim ulama, dan orang-orang yang berbakti yang bertakwa. Mereka seperti anak panah (karena kurusnya). Mereka-lah orang-orang yang berpegang erat dengan tali-Nya dan tetap berada dalam hakikat-hakikat-Nya. Seperti itulah penjelasan Imam ‘Ali ibn Abî Thâlib as mengenai orang-orang Muhaqqiqîn.
Ma’rifah
Ma’rifah, adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah SWT/salik. Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. ( wusul ilallah SWT). sehingga dia benar benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah SWT. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma’-Nya, Sifat sifat, Af’al serta Dza-tNya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk diseantero jagad raya ini. Para salik yang sering disebut dengan sebutan ‘Arifîn ini dalam ibadahnya, mempunyai tujuan yang lebih tinggi lagi. Mereka tidak lagi hanya menginginkan bentuk segala sifat kasih-Nya yang mencakup rahmat-Nya, ridho-Nya dan lain-lain, akan tetapi mereka juga menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al-Khâliq. Yakni sebagi seorang hamba yang mendapat cinta-Nya.
Sebagaimana halnya dengan mahabbah, ma’rifah juga terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang sebagai hal. Dalam Risalah Al-Qusyairiyah, ma’rifah disebut sebagai maqam, bagi Al-Junaid ma’rifah adalah hal. Dalam Ihya-nya Al-Ghazali, dikatakan bahwa ma’rifah datang sebelum mahabbah. Tetapi Al-Kalabadi dalam Al-Ta’‘aruf-nya menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah. Ada juga yang berpandapat bahwa keduanya adalah sama. Yang pasti keduanya adalah bentuk penggambaran keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Maka dengan kata lain mahabbah dan ma’rifah melukiskan dua hal yang terjadi dari hubungan dekat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan. Kalau mahabbah melukiskan bentuk hubungan dekat antar seorang hamba kepada Tuhannya dalam bentuk cinta, maka ma’rifah melukiskan bentuk hubungan dekat antar seorang hamba dengan Tuhannya dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Akan tetapi pengetahuan itu bukanlah tentang seputar pengetahuan yang menyifati Tuhan secara aqliyah. Akan tetapi merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang konon hanya terdapat pada kaum sufi. Karena mereka sanggup melihat Tuhan dengan hati mereka yang telah diberikan anugerah pemberian ma’rifah.sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Alat untuk memperoleh ma’rifah oleh kaum sufi disebut sir. Menurut Al-Qusyairî, alat untuk melihat Tuhan adalah sir, sir lebih halus dari rûh, dan rûh lebih halus dari qalb yang merupakan alat untuk merasa dan berfikir akan tetapi qalb berbeda dengan ‘aql, karena ‘aql tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan dengan sendirinya. Sedangkan qalb mampu mengetahui hakikat dari segala yang ada, bahkan jika dilimpahi Nûr Ilahiyah, maka qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Memperoleh ma’rifah adalah merupakan proses yang bersifat kontinuitas. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifah, maka makin banyak pula rahasia-rahasia Tuhan yang diketahuinya, dan akibatnya adalah sebuah kedekatan dengan Tuhan.
Imam Ja’far Shadiq ketika dalam membahas tentang Ma’rifah Al-Haq, maka salah seorang muridnya ada yang bertanya,”bagaimanakah dapat dipahami bahwa Dia berbeda dan paling tinggi dari segala sesuatu?”, maka beliau menjawab,”Terdapat empat aspek di dalamnya, yang pertama adalah, perhatikan apakah Dia adalah maujud atau tiada. Kedua, kenalilah apa dzat dan sustansi-Nya. Ketiga, perlu diketahui bagaimana Dia dan bagaimana sifat-Nya. Keempat, harus diketahui mengapa Dia dan karena sebab apa. Jika kami katakan,”Bagaimana dan apakah Dia?”maka tercegah dari mengetahui hakikat-Nya dan mengetahui-Nya secara sempurna, karena tidak ada satupun makhluk yang dapat memaknainya. Adapun pertanyaan,”mengapa Dia?”, maka itu jatuh pada sifat pencipta, karena Dia adalah sebab dari segala sesuatu, tetapi tidak ada sesuatu yang menjadi sebab bagi-Nya. Kemudian manusia tidak mengetahui melainkan hendaklah ia mengetahui apa dan bagaimana Dia sebagaimana ia mengetahui adanya napas, tetapi tidak harus tahu apa dan bagaimana napas itu. Jika mereka mengatakan,”Kini kalian menyfati-Nya dengan keterbatasan ilmu sehingga seakan-akan Dia tidak diketahui.” Maka jawabannya adalah, demikianlah keadaannya dalam satu sisi, akal ingin mengetahui hakikat-Nya dan perinciannnya. Di sisi lain Dia adalah lebih dekat dari setiap yang dekat ketika ditunjukkan dengan dalil-dalil yang pasti. Dari satu sisi, Dia seperti jelas, tidak luput bagi siapapun. Tetapi di sisi lain, Dia seperti samar yang tidak ada seorang pun mengenali-Nya.

REFERENSI
Ayatullah Sayyid Haidar Al-Amulî, Makrifat Ibadah. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2008
http://maslakulanwar.blogspot.com/
http://arsitektur.brawijaya.ac.id/blog/syafii/2008/12/13/syariat-thariqat-haqiqat/
Tuhaf Al-‘Uqûl
Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, Kata-kata Mutiara Imam ‘Alî. Pustaka Hidayah. Bandung. 2003
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1999
Imam Ja’far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah. Pustaka Hidayah. Bandung. 1996


print this page Print this page

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers