Abû al-A'lâ al-Maudûdî dan "Negara Islam"-nya*
Oleh Mahbib Khoiron
Latar Historis
Di Aurangabad, India Selatan, pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) lahir seorang pemikir muslim bereputasi internasional bernama Abû al-A`lâ al-Maudûdî. Kehidupannya dalam kultur keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi, yang bermukim Diccan telah membentuk pribadinya sebagai seorang muslim yang taat dan menguasai doktrin normatif Islam secara luas. Sayyid Ahmad Hasan, ayahnya, merupakan penganut setia sebuah ordo sufi. Secara akademis, sejak belia ia memang kaya dengan penempaan agama dari sang ayah. Tak heran, pada usia empat belas tahun beliau sudah berhasil menerjemahkan karya Qasim Amin ke dalam bahasa Arab bertajuk al-Mir'ât al-Jadîdah (Wanita Modern).
Setelah kenyang dengan pendidikan agama, dalam usia sebelas tahun konsentrasinya dialihkan pada literatur-literatur modern, khususnya sains. Bahkan, ia mulai merambah ke disiplin politik, hingga membawanya pada watak nasionalis India. Contoh kongretnya adalah ketika dalam sebuah esai ia memuji pemimpin Partai Kongres, terutama Mahatma Ghandi dan Madan Muhan Malaviya, dua tokoh kunci India yang tengah berjuang keras melawan kolonialisme.
Karir politiknya mulai meningkat setelah ia memutuskan untuk bergabung sebagai seorang jurnalis dalam majalah Taj pada tahun 1919, sebuah media yang sangat vokal menyuarakan aspirasi Partai Kongres. Secara bersamaan, ia juga aktif dalam gerakan khilafah serta andil memobilisasi umat Islam supaya pro terhadap Partai Kongres. Di sini terlihat betapa al-Maudûdî menampilkan nasionalisme yang cukup tinggi, sebab aksi yang dilakukannya merupakan perjuangan atas kemerdekaan masyarakat India dari kolonialisasi Inggris kala itu.
Dalam karir politiknya, al-Maudûdî juga banyak bersinggungan dengan tokoh-tokoh muslim di sana, semisal Muhammad `Âli, pemimpin penting Khilafah. Pada 1921, al-Maudûdî berkenalan dengan pemimpin Jâmi`at Ulamâ' Hindî (Komunitas Ulama India), Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Sa`îd.
Di fase terakhir masa hidupnya, yakni sejak 1925 hingga wafat, al-Maudûdî kian berwajah puritan. Nasionalismenya kian pudar, dan bergeser pada puritanisasi Negara menjadi dâr al-Islâm. Setidaknya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, pertama, keruntuhhan kekhilafahan Turki ternyata tak hanya membuat resah pemikir muslim pada umumnya, tetapi juga menggugah hati al-Maudûdî untuk menggerakkan juangnya. Apalagi, fakta bahwa umat Islam terpuruk dan terhegomoni bahkan terjajah oleh Barat semakin tampak nyata.
Kedua, konflik internal masyarakat India, yang dilatari oleh sentimen antara Hindu-Muslim. Al-Maudûdî memandang, Partai Kongres yang didominasi Hindu, semakin tidak akomodatif terhadap kepentingan Islam yang terbilang minoritas. Partai Kongres sekedar berkedok dibalik nasionalisme India untuk melancarkan ambisi politik Hindu. Bahkan, ia berani secara terang-terangan mengungkapkan ketidaksenangan terhadap kaum nasionalis, termasuk Komunitas Ulama India yang loyal kepada Partai Kongres dan mengkhiyanati orang muslim, dan Liga Muslim yang dinilai sebagai kelompok sekular.
Hawa permusuhan kaum Hindu dan Islam dipertajam dengan insiden pembunuhan Swami Shardanand oleh seorang muslim. Dalam kegalauan politik dan jatuhnya reputasi Islam ini al-Maudûdî lantas menelurkan sebuah karya, al-jihâd fî al-Islâm, demi menjawab segenap anggapan miring yang ditudingkan pada Islam.
Dan terakhir, adalah keterkekangan di bawah cengkeraman imperialisme Inggris, yang semakin mendesak umat Islam bangkit dari keterpurukan melawan penindasan orang kafir. Dari serangkaian penyebab di atas, terlihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma politik yang diperjuangkan al-Maudûdî. Semangatnya yang menggebu membela masyarakat India dari ketertindasan kolonialis, tergantikan oleh komunalisme radikal yang memposisikan kaum muslimin India pada level tertinggi, baik dalam hak politik maupun status sosial. Tak pelak, cita-citanya mendirikan dâr al-islâm pun mau tidak mau harus dirumuskan menurut ideologi yang ia yakini. Di sinilah lahir konsep "Negara Islam" Abû al-A`lâ al-Maudûdî.
Pemikiran Politik al-Maudûdî
Corak pikir al-Maudûdî sesungguhnya bisa diidentifikasi sebagai corak ala gerakan neo-revivalis. Neo-revivalis muncul ke permukaan dimoivasi oleh upaya meng-counter madzhab modernis klasik yang telalu memuja peradaban Barat, sehingga "melenceng" dari pekem tradisinya sendiri. Al-Maudûdî pun demikian. Keyakinannya akan kesucian dan keunggulan Islam yang begitu tinggi, membulatkan tekatnya untuk mengadakan teorisasi politik berbasikan Islam. Islam telah memiliki landasan, aturan dan karakternya sendiri, sehingga akomodasi berlebihan terhadap tradisi luar menjadi hal naif.
Menurutnya, ideologi politik ala Barat harus segera diganti dengan ideologi Islam. Bukan saja karena fakta kegagalan sosialisme dan kapitalisme Barat, namun juga karena ideologi tersebut tidak memadai bagi kepentingan muslim. Tak hanya kritis terhadap peradaban Barat, al-Maudûdî juga sangat kritis terhadap perilaku umat Islam sendiri. Misalnya ia mengkritik ritualisme tasawwuf yang "tidak islami", yang sarat pengaruh budaya lokal dan tradisi non-Islam. Bukan berarti sufisme harus diberangus, namun perlu adanya penataan ulang bagi praktik-praktik yang dinilai menyimpang.
Inti paling pokok dari konsep negara al-Maudûdî adalah menempatkan teks suci (al-Qur'an dan al-Hadits) pada posisi amat sentral dalam menentukan regulasi negara, dan menjadi acuan utama bagi menyimpang-tidaknya sebuah tindakan warga negara secara keseluruhan. Hukum teks suci sama dengan hukum Tuhan. Dan inilah satu-satunya hukum yang paling representatif bagi manusia selaku `abdi-Nya. Maka, kedaulatan pun bukan kedaulatan rakyat, sebagaimana demokrasi, melainkan kedaulatan Tuhan. Ijtihad menjadi urgen digerakkan manakala terdapat kekosongan petunjuk dari al-Kitâb, al-Sunnah, dan konvensi al-Khulafâ' al-Râsyidîn, serta fatwa ulama-ulama terdahulu.
Orientasi utama penyelenggaraan pemerintahan Islam adalah penegakan syarî'ah. Baginya, syarî`ah harus dijalankan secara total (kâffah), meliputi seluruh lekuk aktifitas masyarakat. Namun demikian, bukan berarti Islam akan menerapkan hukum Islam secara membabibuta tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat. Hukum kaku umat Islam, seperti hudûd, tak bisa dijalankan begitu saja tanpa kesiapan masyarakat muslim memenuhi tuntutan (taklîf) tersebut. Karenanya, perjuangan Islam harus dilancarkan secara gradual, meliputi pengembangan pendidikan atau perjuangan secara non-revolusioner— tanpa menumbangkan habis struktur yang telah ada. Proses islamisasi masyarakat sangat perlu dilakukan.
Meskipun amat kritis terhadap budaya Barat, namun al-Maudûdî , dalam beberapa permasalahan cukup apresiatif terhadap peradaban Barat. Dalam menetapkan kepemimpinan negara, misalnya, al-Maudûdî tergolong demokratis, lantaran siapapun berhak menduduki jabatan pemerintahan. Namun demokratsasi yang beliau tampilkan terasa agak janggal manakala kita cermati prasyarat calon pemimpin yang ditetapkan. Di antara kriteria kepemimpinan adalah bahwa seorang kepala negara harus berstatus muslim dan laki-laki. Ini nyata menegaskan adanya deskriminasi hak politik dalam konsep negara Islam yang telah dirumuskan al-Maudûdî.
Bentuk negara yang direkomendasikan al-Maudûdî adalah republik, yang menganut "kedaulatan Tuhan" (teo-demokrasi) . "Teo" di sini melukiskan bahwa negara tidak berbasis kepentingan rakyat murni, tapi juga "kepentingan" Tuhan.
Struktur pemerintahan yang diidealkan al-Maudûdî adalah pola yang pernah dilakukan sahabat al-Khulafâ' al-Râsyidîn, sembari sedikit beradaptasi pada konteks masyarakat. Segenap argumentasi teori negara Islam harus bermuara pada al-Qur'an dan al-Sunnah, teladan khilâfah râsyidah, dan fatwa para ulama otoritatif klasik maupun modern. Ia memformulasikan bahwa struktur politik ialah pertama, Âmir (kepala negara), sebagai pemegang kekuasaan tertinggi baik dalam soal pemerintahan maupun agama. Kedua, lembaga eksekutif, yakni pelaksana pedoman-pedoman ilâhiyyah yang disampaikan oleh teks suci, serta memastikan pedoman-pedoman tersebut terlaksana dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, ahl al-hâl wa al-`aqd. Berbeda dengan trias politika, lembaga ini lebih merupa dewan konsultan atau majlis syûrâ. Badan ini juga merupakan tempat Amir meminta pendapat atau bermusyawarah, di samping sebagai lembaga otoritatif penafsiran teks keagamaan yang membuahkan sejumlah undang-undang negara. Keempat, badan qâdlî, yang keanggotaannya ditentukan oleh âmir. Lembaga ini diciptakan untuk berdiri independen, tanpa intervensi kepentingan politik tertentu dalam memutuskan sebuah penyelesaian hukum.
Dalam konsep kewarganegaraan, al-Maudûdî mencoba memilah antara warga muslim dan ahl al-dzimmah (masyarakat non-muslim yang tunduk atas aturan main negara Islam). Seluruh hak dan kewajiban adalah sama sebagai warga negara, kecuali pada persoalan menduduki jabatan strategis pemerintahan. Pembatasan hak mereka dalam hukum Islam merupakan soal keamanan nasional dan soal menjaga diri. Tidak terbatasnya hak kaum minoritas dapat merongrong negara Islam. Dalam hal politik, posisi wanita amat mirip dengan ahl-al-dzimmah. Ia berpendapat, hukum Islam sudah jelas soal ini, sehingga negara Islam tak perlu susah memikirkannya. Tugas negara hanya menerapkan syarî`ah, dan tiap syarî`ah, bagi al-Maudûdî, akan senantiasa membawa implikasi mashlahah. Model sikap yang sama juga terjadi pada persoalan-persoalan ekonomi negara. Ia tidak menguraikan secara detail ekonomi Islam, ia sekedar menyinggung aturan normatif ekonomi Islam yang sekedar meliputi pembahasan waris, riba, dan hak pekerja.
Idealisme "Utopis" dan Paradoks Pemikiran
Pada titik ini tergambar betapa niat suci dan spirit keislaman al-Maudûdî demikian besar. Idealisme untuk membumikan seluruh aturan normatif Islam ke dalam tiap aspek kehidupan masyarakat menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Namun, satu hal yang perlu menjadi catatan, al-Maudûdî lupa bahwa apa ia sebut sebagai negara Islam telah mengacu pada "produk-produk kebenaran" yang tentu merupakan salah satu interpretasi keagamaan dari sekian ribu penaafsiran yang ada. Jelas di sini, ia hendak menerapkan syari'at sebagaimana ia pahami. Akibatnya, meskipun umat Islam India cukup banyak, namun mereka harus terpecah ke dalam sektarianisme lantaran perbedaan pandangan atas doktrin keagamaan. Konflik internal dalam Islam sendiri juga menjadi batu sandungan yang cukup berarti bagi al-Maudûdî.
Paradoks pemikiran al-Maudûdî amat terlihat pada doktrinnya tentang pembatasan hak politik kaum perempuan. Karena terjebak oleh pragmatisme politik saat itu, ia berani melanggar doktrin yang telah ia bangun dengan mengusung Fatimah Jinnah memperebutkan kursi presiden lewat Jama'at Islaminya. Barangkali ini wajar, mengingat rivalnya adalah Ayub Khan, tokoh politik tekemuka berpikiran sekular yang pernah menjebloskan al-Maudûdî kedalam penjara akibat kelantangannya menyuarakan konstitusi islami.
Ajaran al-Maudûdî mengenai hak politik, ekonomi, hukum dan yang lainnya, tergolong konservatif. Dia percaya bahwa kesejahteraan akan muncul seiring dengan penegakan syari'ah Islam secara penuh dan merata. Karena itu, al-Maudûdî tidak memperhatikan kerja atau basis ilmiah dari sebuah negara Islam. Yang diperhatikan adalah potensinya. Keefektifannya terletak bukan pada sifat teknis atau operasionalnya, tetapi pada muatan etika dan janji negara Islam. Tentu, ini berangkat dari satu postulat bahwa syari'ah adalah kebenaran mutlak Tuhan. Tak pernah terbayang di benak al-Maudûdî akan terjadi labilitas politik ketika totalitas norma Islam terealisasikan. Kesuksesan penerapan syari'ah akan senantiasa berbanding lurus dengan kemakmuran warga dâr al-islâm.
Wa 'llâh a'lam bi al-shawâb…
Bahan Acuan:
Al-Maudûdî, Abû al-A`lâ, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah pemerintahan Islam, Penj. Muhammad al-Bagir, Bandung: Mizan, 1996.
____________ , The Islamic Law and Constitution, Penj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990.
Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara, dan Penerapan Syari'at, Penj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Print this page
Oleh Mahbib Khoiron
Latar Historis
Di Aurangabad, India Selatan, pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) lahir seorang pemikir muslim bereputasi internasional bernama Abû al-A`lâ al-Maudûdî. Kehidupannya dalam kultur keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi, yang bermukim Diccan telah membentuk pribadinya sebagai seorang muslim yang taat dan menguasai doktrin normatif Islam secara luas. Sayyid Ahmad Hasan, ayahnya, merupakan penganut setia sebuah ordo sufi. Secara akademis, sejak belia ia memang kaya dengan penempaan agama dari sang ayah. Tak heran, pada usia empat belas tahun beliau sudah berhasil menerjemahkan karya Qasim Amin ke dalam bahasa Arab bertajuk al-Mir'ât al-Jadîdah (Wanita Modern).
Setelah kenyang dengan pendidikan agama, dalam usia sebelas tahun konsentrasinya dialihkan pada literatur-literatur modern, khususnya sains. Bahkan, ia mulai merambah ke disiplin politik, hingga membawanya pada watak nasionalis India. Contoh kongretnya adalah ketika dalam sebuah esai ia memuji pemimpin Partai Kongres, terutama Mahatma Ghandi dan Madan Muhan Malaviya, dua tokoh kunci India yang tengah berjuang keras melawan kolonialisme.
Karir politiknya mulai meningkat setelah ia memutuskan untuk bergabung sebagai seorang jurnalis dalam majalah Taj pada tahun 1919, sebuah media yang sangat vokal menyuarakan aspirasi Partai Kongres. Secara bersamaan, ia juga aktif dalam gerakan khilafah serta andil memobilisasi umat Islam supaya pro terhadap Partai Kongres. Di sini terlihat betapa al-Maudûdî menampilkan nasionalisme yang cukup tinggi, sebab aksi yang dilakukannya merupakan perjuangan atas kemerdekaan masyarakat India dari kolonialisasi Inggris kala itu.
Dalam karir politiknya, al-Maudûdî juga banyak bersinggungan dengan tokoh-tokoh muslim di sana, semisal Muhammad `Âli, pemimpin penting Khilafah. Pada 1921, al-Maudûdî berkenalan dengan pemimpin Jâmi`at Ulamâ' Hindî (Komunitas Ulama India), Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Sa`îd.
Di fase terakhir masa hidupnya, yakni sejak 1925 hingga wafat, al-Maudûdî kian berwajah puritan. Nasionalismenya kian pudar, dan bergeser pada puritanisasi Negara menjadi dâr al-Islâm. Setidaknya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, pertama, keruntuhhan kekhilafahan Turki ternyata tak hanya membuat resah pemikir muslim pada umumnya, tetapi juga menggugah hati al-Maudûdî untuk menggerakkan juangnya. Apalagi, fakta bahwa umat Islam terpuruk dan terhegomoni bahkan terjajah oleh Barat semakin tampak nyata.
Kedua, konflik internal masyarakat India, yang dilatari oleh sentimen antara Hindu-Muslim. Al-Maudûdî memandang, Partai Kongres yang didominasi Hindu, semakin tidak akomodatif terhadap kepentingan Islam yang terbilang minoritas. Partai Kongres sekedar berkedok dibalik nasionalisme India untuk melancarkan ambisi politik Hindu. Bahkan, ia berani secara terang-terangan mengungkapkan ketidaksenangan terhadap kaum nasionalis, termasuk Komunitas Ulama India yang loyal kepada Partai Kongres dan mengkhiyanati orang muslim, dan Liga Muslim yang dinilai sebagai kelompok sekular.
Hawa permusuhan kaum Hindu dan Islam dipertajam dengan insiden pembunuhan Swami Shardanand oleh seorang muslim. Dalam kegalauan politik dan jatuhnya reputasi Islam ini al-Maudûdî lantas menelurkan sebuah karya, al-jihâd fî al-Islâm, demi menjawab segenap anggapan miring yang ditudingkan pada Islam.
Dan terakhir, adalah keterkekangan di bawah cengkeraman imperialisme Inggris, yang semakin mendesak umat Islam bangkit dari keterpurukan melawan penindasan orang kafir. Dari serangkaian penyebab di atas, terlihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma politik yang diperjuangkan al-Maudûdî. Semangatnya yang menggebu membela masyarakat India dari ketertindasan kolonialis, tergantikan oleh komunalisme radikal yang memposisikan kaum muslimin India pada level tertinggi, baik dalam hak politik maupun status sosial. Tak pelak, cita-citanya mendirikan dâr al-islâm pun mau tidak mau harus dirumuskan menurut ideologi yang ia yakini. Di sinilah lahir konsep "Negara Islam" Abû al-A`lâ al-Maudûdî.
Pemikiran Politik al-Maudûdî
Corak pikir al-Maudûdî sesungguhnya bisa diidentifikasi sebagai corak ala gerakan neo-revivalis. Neo-revivalis muncul ke permukaan dimoivasi oleh upaya meng-counter madzhab modernis klasik yang telalu memuja peradaban Barat, sehingga "melenceng" dari pekem tradisinya sendiri. Al-Maudûdî pun demikian. Keyakinannya akan kesucian dan keunggulan Islam yang begitu tinggi, membulatkan tekatnya untuk mengadakan teorisasi politik berbasikan Islam. Islam telah memiliki landasan, aturan dan karakternya sendiri, sehingga akomodasi berlebihan terhadap tradisi luar menjadi hal naif.
Menurutnya, ideologi politik ala Barat harus segera diganti dengan ideologi Islam. Bukan saja karena fakta kegagalan sosialisme dan kapitalisme Barat, namun juga karena ideologi tersebut tidak memadai bagi kepentingan muslim. Tak hanya kritis terhadap peradaban Barat, al-Maudûdî juga sangat kritis terhadap perilaku umat Islam sendiri. Misalnya ia mengkritik ritualisme tasawwuf yang "tidak islami", yang sarat pengaruh budaya lokal dan tradisi non-Islam. Bukan berarti sufisme harus diberangus, namun perlu adanya penataan ulang bagi praktik-praktik yang dinilai menyimpang.
Inti paling pokok dari konsep negara al-Maudûdî adalah menempatkan teks suci (al-Qur'an dan al-Hadits) pada posisi amat sentral dalam menentukan regulasi negara, dan menjadi acuan utama bagi menyimpang-tidaknya sebuah tindakan warga negara secara keseluruhan. Hukum teks suci sama dengan hukum Tuhan. Dan inilah satu-satunya hukum yang paling representatif bagi manusia selaku `abdi-Nya. Maka, kedaulatan pun bukan kedaulatan rakyat, sebagaimana demokrasi, melainkan kedaulatan Tuhan. Ijtihad menjadi urgen digerakkan manakala terdapat kekosongan petunjuk dari al-Kitâb, al-Sunnah, dan konvensi al-Khulafâ' al-Râsyidîn, serta fatwa ulama-ulama terdahulu.
Orientasi utama penyelenggaraan pemerintahan Islam adalah penegakan syarî'ah. Baginya, syarî`ah harus dijalankan secara total (kâffah), meliputi seluruh lekuk aktifitas masyarakat. Namun demikian, bukan berarti Islam akan menerapkan hukum Islam secara membabibuta tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat. Hukum kaku umat Islam, seperti hudûd, tak bisa dijalankan begitu saja tanpa kesiapan masyarakat muslim memenuhi tuntutan (taklîf) tersebut. Karenanya, perjuangan Islam harus dilancarkan secara gradual, meliputi pengembangan pendidikan atau perjuangan secara non-revolusioner— tanpa menumbangkan habis struktur yang telah ada. Proses islamisasi masyarakat sangat perlu dilakukan.
Meskipun amat kritis terhadap budaya Barat, namun al-Maudûdî , dalam beberapa permasalahan cukup apresiatif terhadap peradaban Barat. Dalam menetapkan kepemimpinan negara, misalnya, al-Maudûdî tergolong demokratis, lantaran siapapun berhak menduduki jabatan pemerintahan. Namun demokratsasi yang beliau tampilkan terasa agak janggal manakala kita cermati prasyarat calon pemimpin yang ditetapkan. Di antara kriteria kepemimpinan adalah bahwa seorang kepala negara harus berstatus muslim dan laki-laki. Ini nyata menegaskan adanya deskriminasi hak politik dalam konsep negara Islam yang telah dirumuskan al-Maudûdî.
Bentuk negara yang direkomendasikan al-Maudûdî adalah republik, yang menganut "kedaulatan Tuhan" (teo-demokrasi) . "Teo" di sini melukiskan bahwa negara tidak berbasis kepentingan rakyat murni, tapi juga "kepentingan" Tuhan.
Struktur pemerintahan yang diidealkan al-Maudûdî adalah pola yang pernah dilakukan sahabat al-Khulafâ' al-Râsyidîn, sembari sedikit beradaptasi pada konteks masyarakat. Segenap argumentasi teori negara Islam harus bermuara pada al-Qur'an dan al-Sunnah, teladan khilâfah râsyidah, dan fatwa para ulama otoritatif klasik maupun modern. Ia memformulasikan bahwa struktur politik ialah pertama, Âmir (kepala negara), sebagai pemegang kekuasaan tertinggi baik dalam soal pemerintahan maupun agama. Kedua, lembaga eksekutif, yakni pelaksana pedoman-pedoman ilâhiyyah yang disampaikan oleh teks suci, serta memastikan pedoman-pedoman tersebut terlaksana dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, ahl al-hâl wa al-`aqd. Berbeda dengan trias politika, lembaga ini lebih merupa dewan konsultan atau majlis syûrâ. Badan ini juga merupakan tempat Amir meminta pendapat atau bermusyawarah, di samping sebagai lembaga otoritatif penafsiran teks keagamaan yang membuahkan sejumlah undang-undang negara. Keempat, badan qâdlî, yang keanggotaannya ditentukan oleh âmir. Lembaga ini diciptakan untuk berdiri independen, tanpa intervensi kepentingan politik tertentu dalam memutuskan sebuah penyelesaian hukum.
Dalam konsep kewarganegaraan, al-Maudûdî mencoba memilah antara warga muslim dan ahl al-dzimmah (masyarakat non-muslim yang tunduk atas aturan main negara Islam). Seluruh hak dan kewajiban adalah sama sebagai warga negara, kecuali pada persoalan menduduki jabatan strategis pemerintahan. Pembatasan hak mereka dalam hukum Islam merupakan soal keamanan nasional dan soal menjaga diri. Tidak terbatasnya hak kaum minoritas dapat merongrong negara Islam. Dalam hal politik, posisi wanita amat mirip dengan ahl-al-dzimmah. Ia berpendapat, hukum Islam sudah jelas soal ini, sehingga negara Islam tak perlu susah memikirkannya. Tugas negara hanya menerapkan syarî`ah, dan tiap syarî`ah, bagi al-Maudûdî, akan senantiasa membawa implikasi mashlahah. Model sikap yang sama juga terjadi pada persoalan-persoalan ekonomi negara. Ia tidak menguraikan secara detail ekonomi Islam, ia sekedar menyinggung aturan normatif ekonomi Islam yang sekedar meliputi pembahasan waris, riba, dan hak pekerja.
Idealisme "Utopis" dan Paradoks Pemikiran
Pada titik ini tergambar betapa niat suci dan spirit keislaman al-Maudûdî demikian besar. Idealisme untuk membumikan seluruh aturan normatif Islam ke dalam tiap aspek kehidupan masyarakat menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Namun, satu hal yang perlu menjadi catatan, al-Maudûdî lupa bahwa apa ia sebut sebagai negara Islam telah mengacu pada "produk-produk kebenaran" yang tentu merupakan salah satu interpretasi keagamaan dari sekian ribu penaafsiran yang ada. Jelas di sini, ia hendak menerapkan syari'at sebagaimana ia pahami. Akibatnya, meskipun umat Islam India cukup banyak, namun mereka harus terpecah ke dalam sektarianisme lantaran perbedaan pandangan atas doktrin keagamaan. Konflik internal dalam Islam sendiri juga menjadi batu sandungan yang cukup berarti bagi al-Maudûdî.
Paradoks pemikiran al-Maudûdî amat terlihat pada doktrinnya tentang pembatasan hak politik kaum perempuan. Karena terjebak oleh pragmatisme politik saat itu, ia berani melanggar doktrin yang telah ia bangun dengan mengusung Fatimah Jinnah memperebutkan kursi presiden lewat Jama'at Islaminya. Barangkali ini wajar, mengingat rivalnya adalah Ayub Khan, tokoh politik tekemuka berpikiran sekular yang pernah menjebloskan al-Maudûdî kedalam penjara akibat kelantangannya menyuarakan konstitusi islami.
Ajaran al-Maudûdî mengenai hak politik, ekonomi, hukum dan yang lainnya, tergolong konservatif. Dia percaya bahwa kesejahteraan akan muncul seiring dengan penegakan syari'ah Islam secara penuh dan merata. Karena itu, al-Maudûdî tidak memperhatikan kerja atau basis ilmiah dari sebuah negara Islam. Yang diperhatikan adalah potensinya. Keefektifannya terletak bukan pada sifat teknis atau operasionalnya, tetapi pada muatan etika dan janji negara Islam. Tentu, ini berangkat dari satu postulat bahwa syari'ah adalah kebenaran mutlak Tuhan. Tak pernah terbayang di benak al-Maudûdî akan terjadi labilitas politik ketika totalitas norma Islam terealisasikan. Kesuksesan penerapan syari'ah akan senantiasa berbanding lurus dengan kemakmuran warga dâr al-islâm.
Wa 'llâh a'lam bi al-shawâb…
Bahan Acuan:
Al-Maudûdî, Abû al-A`lâ, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah pemerintahan Islam, Penj. Muhammad al-Bagir, Bandung: Mizan, 1996.
____________ , The Islamic Law and Constitution, Penj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990.
Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara, dan Penerapan Syari'at, Penj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
0 komentar:
Posting Komentar