Imamah

Selasa, 07 Juli 2009


Pendahuluan
Imamah dan Khilafah, adalah suatu konsep fundamental yang dipegang antara Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Yang mana antara keduanya terdapat pertentangan yang begitu mencolok. Syi’ah meyakini bahwa para imam ma’shum dan terhindar atas segala dosa, cakupan dari kekuasaan Imamah adalah tentang kepengurusan negara dan sebagai pengganti rasulullah saww, yaitu yang memberikan fatwa-fatwa syar’i. Sedangkan lain halnya dengan Ahlussunnah yang menggunakan metode khilafahnya, beranggapan bahwa para khalifah tidaklah ma’shum dan cakupan kekuasaan khilafah hanya seputar kepengurusan negara saja.
Membahas tentang dua metode tersebut, antar kedua kelompok tersebut sering terjadi pertentangan. Yang mana satu diantaranya berusaha saling menggugurkan. Pertentangan seputar Imamah vs Khilafah inilah yang menjadikan pemahaman dan pengajaran dari dua aliran ini sangat berbeda, dengan adanya Syi’ah yang meyakini konsep Imamahnya yang ma’shum, maka pemahamannya tentang hakikat hadîts adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan ma’shumin (para nabi dan a’immah), sedangkan Ahlussunnah memaknai hadîts adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan para nabi. Tak cukup dengan itu, Ahlussunnah beranggapan bahwa “kullu shahabah udûl”, sedangkan Syi’ah beranggapan bahwa sahabat hanyalah manusia biasa yang mendapat kemuliaan dengan hidup di zaman Rasulullah saww.
Tulisan ini berusaha sedikit memberikan gambaran tentang sistem kepemipinan Imamah. Selain itu, tulisan ini juga akan banyak menjelaskan metode Imamah yang dewasa ini kurang dimengerti hakikatnya oleh para muslimin, Insya Allah. Harapan terbukanya akan pola pikir yang jauh dari sikap fanatis menjadi tuntutan bagi para penyimak oleh penulis. Karena ilmu tanpa akal (fanatik) hanya akan memberikan bahaya bagi pemiliknya. Amin ya rabbal ‘Alamîn.

Kronologi Khilafah
Wafat Nabi pada hari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah menggemparkan seluruh umat, ada beberapa sahabat yang sibuk menyelawati jenazah Rasulullah di rumahnya, ada juga Ahlulbait (alaihimussalam) dan beberapa sahabat yang sibuk memandikan jenazah Rasul dan mempersiapkan upacara pemakamannya, dan ada juga sejumlah sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar yang terburu-buru mengadakan pembicaraan di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pemilihan khalifah yang diprakarsai oleh beberapa sahabat ini terjadi sekiranya dalam pikiran mereka hanya untuk kemaslahatan umat. Rasulullah meninggal tanpa menunjuk pengganti, jikalau tidak ada pemimpin setelah beliau yang bertugas menggantikan posisi Rasulullah sebagai pemimpin maka niscaya akan hancurlah umat Islam.
Dalam balai pertemuan Saqifah, dua kelompok tersebut saling memperebutkan status kepemimpinan umat. Orang Muhajirin berpendapat bahwa merekalah yang lebih layak dikarenakan mereka yang lebih dahulu memeluk Islam dan mengimani Allah dan Rasul-Nya, jadi selayaknya dari golongan merekalah yang lebih layak mendapatkan mandat tersebut. Sedangkan kaum Anshar berpendapat lain, mereka menganggap diri mereka lebih layak dikarenakan atas dasar jasa merekalah yang menerima/menampung Rasulullah saww di tempatnya, mereka jugalah yang memuliakan Rasulullah saww. Sehingga Islam meluas dan Berjaya sampai ke wilayah lain.
Pihak Anshar mencalonkan Sa’id ibn ‘Ubadah, yang menurut mereka sudah tidak diragukan lagi kesetiaannya kepada Rasulullah saww. Konon ia banyak melindungi dan membela Rasulullah dari Quraisy Musyrikin Mekkah. Ia juga turut pula ikut dalam Perang Badr, ia juga turut serta dalam bai’at al-Aqabah sebelum Rasul saww hijrah ke Madinah.
Sedangkan pihak Muhajirin mencalonkan Abdullah ibn Abi Quhafah yang masyhur dikenal dengan Abu Bakar. Perangai Abu Bakar sudah tidak perlu dibeberkan lagi. Ia termasuk salah satu dari sepuluh orang yang masuk Islam pertama kalinya. Yang menemani Rasulullah saww meloloskan diri dari sergapan Quraisy Musyrikin Mekkah menuju Madinah. Sejarah mencatatnya bahwa kesetiaannya kepada Rasulullah begitu ditangguhkan, selain itu ia juga mertua dari Rasulullah saww. Alhasil penulis tidak akan panjang lebar mejelaskan dialog perselisihan antara golongan Muhajirin dengan golongan Anshar. Sejarah telah menulis bahwa telah tercapai kesepakatan antar keduanya dan dipilihlah Abu Bakar. Dengan ini, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah secara aklamasi.
Akan tetapi, kalau kita memperhatikan semua kejadian ini, maka akan ada pertanyaan. Pertanyaan yang pertama yaitu, sejalankah pemilihan pemimpin pengganti Nabi yang dilakukan oleh orang-orang ini dengan penunjukan yang dilakukan oleh para-para Nabi sebelum Rasulullah? Seperti contoh Nabi Adam yang mewasiatkan mandatnya kepada putranya Nabi Syits Sang Hibatullah, lalu seperti yang dikisahkan dalam taurat tentang wasiat Nabi Musa kepada Yusya ibn Nûn atau yang masyhur dikenal dengan Josua menjelang wafatnya. Bahkan dalam kitab Ibnu al-Maghazili juga tercatat bahwa ada hadîts yang menjelaskan tentang pewarisan wasi kepada pengembannya, seperti di bawah ini:
لكل نبي وصي و وا رث، و إن عليا وصيي و وا رثي
“Setiap Nabi memiliki pengemban wasiat dan pewaris, dan sesungguhnya ‘Ali adalah wasi (pengemban wasiat) dan pewarisku.”
Yang jelas pengangkatan khalifah yang seperti ini bertentangan atau tidak sejalan dengan cara-cara yang dilakukan para nabi sebelum Rasulullah saww. Lalu pertanyaan kedua, perlu kita ketahui pengangkatan khalifah terjadi di Madinah, dan mengingat pertemuan di Saqifah dilakukan secara mendadak, apakah mayoritas dari semua sahabat menghadirinya? Sehingga kesemuanya memberikan bai’at kepada Abu Bakar. Bagaimana dengan kaum muslimin yang sedang bermusafir ke daerah tertentu? Apakah mereka juga turut memberikan suaranya? Apakah mereka tahu akan pertemuan itu? Juga pada kaum muslimin semisal di daerah Makkah, Syam, Iraq dan di daerah Yaman yang baru memeluk Islam. Apakah mereka menyetujui dan dapat menerimanya secara gamblang?
Imam ‘Ali pun juga dalam kenyataannya tidak langsung memberikan bai’at kepada Abu Bakar, Imam ‘Ali bersedia memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar pada periode 6 bulan setelah pengangkatannya, pasca Fathimah az-Zahra istrinya wafat. Selain itu juga terdapat beberapa sahabat yang menunda bai’atnya kepada Abu Bakar dikarenakan kesetiaannya mereka terhadap Imam ‘Ali selaku Ahlulbait Rasul. Diantara dari mereka adalah:
1. Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang sahabat yang setia kepada Rasulullah dan juga termasuk orang-orang yang terdahulu memeluk Islam
2. Ammar ibn Yasir, sahabat yang kedua orang tuanya syahid dibunuh oleh Quraisy musyrikin Mekkah. ayahnya dibunuh dengan tusukan tombak dari dubur hingga mulutnya, sedangkan ibunya yang sedang hamil dibunuh dengan ditusuk perutnya dengan tombak. Ammar gugur syahid pada masa perang Shiffin sebagai pendukung kubu Imam ‘Ali
3. Salman al-Farisi, seorang persia yang sudah dianggap oleh Rasulullah saww sebagai keluarganya. Jasanya dengan memberikan ide penggalian parit di perang Khandaq telah membuat pasukan Islam menang dalam pertempuran
4. Bilal ibn Rabah, seorang budak hitam yang berbangsa Habasyah/Ethiopia yang dimerdekakan oleh Rasulullah. Ia juga terkenal sebagai Mu’adzin Rasul
5. Abbas ibn Abdul Muthalib, paman Rasul yang terkenal sebagai salah seorang muhadditsîn
6. Zubair ibn Awwam, sepupu Rasul saww yang terkenal akan keberaniannya
7. Abu Ayyub al-Anshari, dikatakan sebagai sahabat Rasul yang paling utama dalam golongan Anshar. Ia turut serta dengan Imam ‘Ali berjuang di perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan
8. Hudzaifah ibn al-Yaman, seorang yang membai’at Abu Bakar tetapi ia memberikan pesan kepada dua orang putranya untuk mendukung Imam ‘Ali pada perang Shiffin yang pada akhirnya mereka berdua meninggal pada peperangan tersebut
9. Khuzaimah ibn Tsabit, yang mempunyai gelar dari Rasulullah Dzusysyahadatain (yang kesaksiannya sama dengan kesaksian dua orang. Ia syahid dalam perang Shiffin sebagai pembela Imam ‘Ali
10. Utsman ibn Hunaif, saudara dari Sahl ibn Hunaif, yang saudaranya itu menjadi gubernur di wilayah Persia pada masa kekhilafahan Imam ‘Ali
11. Bara’ ibn al-Adzib, seorang sahabat setia Imam ‘Ali, ia berjuang dengan Imam ‘Ali dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan
12. Sahl ibn Hunaif, gubernur di wilayah Persia pada masa kekhilafahan Imam ‘Ali
13. ‘Ubay ibn Ka’ab, seorang dari golongan Anshar yang terkenal sebagai faqih dan Qâri’ Al-Qur’ân yang menyusun mushaf sendiri. Mushafnya itu dinamakan Mushaf ‘Ubay ibn Ka’ab
14. Miqdad ibn ‘Amr, sahabat setia Rasulullah saww yang termasuk pemeluk Islam terdahulu.
Sejarah mencatat mereka adalah orang-orang yang tidak langsung membai’atnya. Anggap saja mereka semua langsung membai’atnya, lantas mengapa dalam sejarah tercatat adanya sejumlah pemberontak yang dipimpin oleh Malik ibn Nuwairah yang menolak menyerahkan zakatnya kepada Abu Bakar semasa ia menjabat? Sehingga dalam kitab sejarah Ath-Thabari, Malik ibn Nuwairah dipenggal kepalanya oleh Khalid ibn Walid beserta pasukannya dan istri-istri dari golongan bughât tersebut disetubuhi oleh pasukan utusan Abu Bakar itu secara paksa kemudian membakar rumah-rumah mereka. Ini semua merupakan kejanggalan-kejanggalan yang harus kita renungkan kembali.
Alhasil sungguh pelik jika kita ingin mengetahui seluk beluk dari kekhilafahan, apakah semua ini adalah unsur politik penguasa ataukah hanya kebetulan saja terjadi seperti itu. Penulis hanya memberikan gambaran fakta yang terjadi pada masa itu dan selayaknya para penyimak kembali merenungi dan memikirkan kejanggalan itu.
Sistem Kepemimpinan Imamah
Telah dijelaskan di atas, bahwa Imamah merupakan gelar mandat pemimpin yang berorientasi seputar kenegaraan dan juga sebagai tempat rujukan hukum layaknya Rasulullah saww. Imamah merupakan sistem kepemimpinan yang diyakini oleh Aliran Syi’ah. Akan tetapi juga terdapat perbedaan antara berbagai macam aliran Syi’ah yang ada, tentang siapakah yang menjadi Imam-Imam tersebut, dan itu menjadi topik lain di luar tulisan ini. Yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya konsep kepemimpinan yang diyakini oleh madzhab Syi’ah serta Imam-Imam yang diyakini oleh madzhab Syi’ah yang paling mayoritas pengikutnya, yaitu Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah. Berikut adalah kriteria sistem kepemimpinan imamah:
1. Pemilihan imamah tidak dapat didasarkan atas maslahat bersama, karena ini menyangkut tentang kepemimpinan umat dan dirasa manusia tidak mampu menyeleksinya. Maka yang paling berhak menentukan adalah Rasul melalui perintah Allah.
2. Seorang imam haruslah ma’shum, artinya bersih dari segala macam bentuk dosa. Karena ia bertugas sebagai pengganti Rasul guna menjadi panutan umat, sumber rujukan syari’at dan pemimpin yang bijak.
3. Penunjukan imam baru harus dilakukan oleh imam sebelumnya, sehingga metode suara terbanyak tidak dapat diberjalankan
4. Hak imamah hanyalah diperuntukkan Ahlulbait saja, ini didasari atas keutamaan-keutamaan yang mereka miliki.
Kata “Imam” secara etimologi berarti orang yang diikuti jejaknya. Sedangkan secara terminologi menurut perspektif Syi’ah adalah seorang pemimpin umat sepeninggal Rasul saww yang berasal dari keturunan Rasul saww yang suci dari segala dosa. Menurut Prof Dr. Muhsin Qiraati istilah ‘Imam’ mengandung makna yang sangat menarik dan mendalam. Tak ada istilah yang sedemikian indah sekaligus bertenaga selain ‘imam’. Istilah seperti guru, pelindung, pemimpin, penyeru dan pengkhutbah tidak memiliki makna seluas istilah imam. Seluruh istilah tersebut hanya mengandung arti “mengajar atau membina”, namun tidak menyertakan sebuah gerakan. Adapun seorang imam adalah sosok yang menggerakkan dirinya sendiri dan lewat tindakan serta perbuatannya, menjadikan orang lain mengikuti dan meneladaninya. Imam-imam tersebut berjumlah 12, mereka (termasuk Imam ‘Ali) adalah keturunan Rasulullah yang berasal dari perkawinan Imam ‘Ali as dan Fathimah az-Zahra as. Banyak dari ulama Syi’ah dan juga ulama’ Sunni telah sepakat mengklaim Rasulullah, Fathimah dan 12 Imam tersebut adalah Ahlulbait yang dimaksud dalam surat Al-Ahzab: 33.
انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت و يطهركم تطهيرا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Imamah dalam Pandangan Dalil Aqli
Jika kita membutuhkan terhadap sosok seorang pembimbing yang berguna untuk memberikan kabar besar, mengarahkan kita kepada jalan-jalan yang diridhoi Allah dan menyampaikan risalah ketuhanan yang bernama nabi, maka kita juga tidak akan bisa terlepas dari kebutuhan akan seorang imam yang telah diformulasikan sebagai penerus dan pembantu misi kenabian. Keberadaan sistem kenabian telah usai kala Rasulullah wafat pada tahun ke-11 H. Maka tibalah diperlukan adanya suatu sistem yang menyokong dan melestarikan ajaran kenabian. Maka itu semua hanya terwujud pada konsep imamah, dan mustahil seseorang dapat menggapai kebenaran tanpa bantuannya. Manalah mungkin kita akan merasa puas dengan cara mengandalkan diri sendiri dalam mencari jalan yang dikehendaki-Nya tanpa seorang imam. Manalah mungkin kita akan cukup mengetahui Al-Qur’ân, ajaran dan sunnah nabi tanpa penjabaran seorang imam. Maka selayaknya kita berfikir dengan akal sehat kita, siapa lagi yang dapat kita andalkan guna mengungkap apa-apa yang tersingkap kalau bukan seorang imam? Ikuti dan taati anjuran mereka, niscaya mereka tidak akan salah dan menyimpang.
Bohonglah seseorang yang mengaku sudah merasa cukup atasnya Al-Qur’ân tanpa adanya yang membimbingnya untuk memahami makna Al-Qur’ân. Seorang yang mencari ilmu melalui berbagai macam buku acuan tidak akan mungkin dapat memahami maksud dari buku tersebut secara sempurna tanpa bantuan seorang guru, bahkan tidak jarang pula yang melenceng dari apa yang dipaparkan atas bahan acuannya. Jika hal itu terjadi, akibatnya seperti yang banyak kita temui, dalil-dalil yang ada pada Al-Qur’ân seringkali ditafsirkan sendiri sehingga keluar jalur atas makna tersirat dan makna yang tersurat yang sebenarnya, dan juga tidak sedikit dari ayat-ayat Al-Qur’ân hanya digunakan sebagai senjata untuk mendukung ambisinya dan kepentingannya tersendiri/men-talfiq. Oleh karena itu, kebutuhan kita akan seorang pembimbing yakni seorang imam pasca usainya masa kenabian amatlah sangat penting.
Berbicara dalam konteks ketaatan kepada seorang imam seperti yang telah dianjurkan penulis, dalam firmannya, Allah juga telah menyinggungnya dan menyuruh kita untuk mentaati pemimpin, pemimpin yang seperti apakah itu? Penulis akan sedikit memberikan gambarannya. Kita ambil contoh yang merujuk pada Al-Qur’ân surat An-Nisâ’ ayat 59 yang berbunyi sebagai berikut:
يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الآمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”
Mengenai ayat tersebut, dalam pembahasan nahwu kata Athi’u menggunakan fi’il amr/kata kerja perintah yang statusnya adalah suatu keharusan. Jadi ayat tersebut menerangkan keharusan kita akan mentaati segala aturan dan perintah Allah, Rasul dan orang yang memerintah (pemimpin). Jelaslah kita tidak mempertentangkan segala perintah dan aturan Allah, karena sebagai Tuhan semesta alam, hanya dialah yang mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaannya. Begitu juga dengan Rasulullah yang ma’shum, karena apapun yang diperintahkan oleh Rasul kita harus mengambilnya, dan apapun yang dilarang Rasul maka harus menjauhinya. Karena tidaklah apa-apa yang yang dari tutur katanya adalah berasal dari hawa nafsunya, akan tetapi itu adalah wahyu.
Lantas membahas tentang Ulil Amri dalam ayat tersebut, jika seorang pemimpin tersebut hanya seorang manusia biasa yang tidak terbebas dari dosa, tidak mewarisi ilmu Rasul pun juga mempunyai kelalaian, ketika ia melakukan kesalahan/dosa baik sengaja maupun tidak sengaja, maka dalam ayat itu kita sebagai pengikut diwajibkan untuk mematuhi segala aturan dan perintahnya, apakah kita tetap harus mengikutinya? Sedangkan itu semua bertentangan dengan fitrah kita yang cinta akan kebaikan. Maka secara tidak langsung Allah telah menyuruh kita untuk melakukan dosa. Maka hal ini sungguh mustahil dan jauh dari kebenaran akan dzat-Nya. Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan semacam ini maka kita harus meyakini bahwa tidak mungkin seorang pemimpin yang harus ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya hanyalah seorang manusia biasa yang lalai tanpa begitu mengetahui ajaran Rasulnya. Terutama seorang pemimpin umat yang harus menjadi percontohan bagi semua umatnya. Ia juga mempunyai amanat untuk mengarahkan umatnya kepada ketaatan dan menjauhkan mereka dari kemaksiatan. Maka hanya Ishmah-lah yang dapat memberikan garansi atas semua itu.
Merujuk pada ayat At-Tathîr seperti yang telah dituliskan di atas, letak kema’shuman para imam Ahlulbait sudah terlihat dengan jelas, dan kema’shuman itu dijadikan nilai lebih tersendiri dan kelayakan mereka sebagai pengganti Rasulullah saww. Karena kalau seorang pemimpin yang ditugaskan untuk tetap memurnikan dan mengajarkan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saww tidaklah ma’shum/terjaga dari dosa maka kehancuran umat tak ayal lagi akan terjadi. Sebab bekal kema’shuman itulah yang akan menjaga dan mengcover agama Allah ini tetap terarah dan benar layaknya ishmah yang dimiliki Rasulullah saww. Maka segala perintah dan perbuatan seorang Imam harus ditaati oleh pengikutnya.
Dengan ini, kesimpulannya kebutuhan kita terhadap seorang imam amatlah sangat penting.
Imamah Dalam Pandangan Dalil Naqli
Al-Qur’ân dan Al-Sunnah pun juga secara eksklusif dalam beberapa kesempatan telah banyak menyinggung konsep imamah. Ini berarti mengindikasikan adanya pengkultusan tersendiri oleh Al-Qur’ân dan Al-Sunnah terhadap imamah. Beberapa golongan ada yang menafikannya dan ada pula yang mendukungnya. Semua itu dapat kita pahami sendiri, berdasarkan sikap obyektif, hati yang bersih dan rasa ingin tahu yang tidak menitik beratkan sikap fanatis buta melainkan hanya untuk mencari kebenaran, yang sesungguhnya semua itu dapat mengantarkan kita kepada pemahaman yang sempurna dan juga tidak lupa untuk merenungkan semuanya dengan sebaik-baiknya.
Dalil Surat Al-Baqarah: 124
واذ ابتلى ابراهيم ربه بكلمت فأتمهن قال اني جاعلك للناس اماما قال ومن ذريتي قال لا ينال عهدى الظالمين
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
Ayat disini menunjukkan bahwa pemimpin yang diinginkan Allah dalam memimpin umat manusia adalah seorang yang jauh dari sikap dhalim, karena dapat kita bayangkan bagaimana jika seorang pemimpin dhalim tersebut memimpin kepunyaan Allah yaitu dunia dan isinya, maka tanpa pikir panjang kehancuran akan alam dan isinya akan langsung dikehendaki oleh Allah dengan cepat.
Melihat kata dhalim tersebut, masyarakat secara umum kurang tepat dalam menginterpretasikannya. Mereka mengartikan “dhalim” hanyalah manifestasi dari kekejaman dan kejahatan belaka. “Jika ada kalimat,”seorang raja itu dhalim”, maka dalam pikiran masyarakat kita pasti telah membayangkan bahwa raja tersebut kejam dan semena-mena dan menyiksa orang-orang yang tidak taat kepadanya. Lalu bagaimana jika ada istilah “pendhaliman terhadap diri sendiri”? Apakah mereka menyiksa dan semena-mena terhadap diri mereka sendiri? Jawabannya tidak! Yang dimaksud dengan istilah itu adalah seseorang yang memaksa dirinya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya sekalipun ia tak mampu, sehingga ia rela melakukannya tanpa memandang sisi halal haramnya.
Maka pengkultusan arti dhalim yang seperti itu haruslah kita hapus, karena arti dhalim yang merujuk pada paradigma seperti itu hanya akan memberikan kesempitan kita dalam berfikir. Lain halnya jika kita mengartikan kata dhalim tersebut adalah “menempatkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.” Maka bukan hanya kekejaman dan tindak semena-mena saja yang akan masuk dalam definisi dhalim, melainkan segala aspek-aspek yang bersifat jauh dari kebaikan akan tergolong juga di dalamnya.
Contohnya yang telah diberikan oleh Imam Ja’far Shadiq yang tertulis di dalam tulisan ini pada bahasan keilmuan para Imam, yaitu tentang kriteria seorang hakim. Hakim yang mengadili dengan cara yang dhalim atau tidak adil akan masuk neraka. Contoh yang lain adalah yang terjadi pada masyarakat kita yaitu budaya merokok. Maka kita dapat katakan bahwa seseorang yang merokok telah berbuat dhalim pada dirinya sendiri. Juga contoh dari selain itu yaitu tindakan aparat yang merajalela di Negara kita yang tercinta ini, mereka berusaha mencari-cari kesalahan para pengguna jalan demi mendapatkan secarik uang, maka apa yang telah dilakukan aparat kita ini termasuk dalam tindakan dhalim.
Ini sedikitnya telah membuktikan bahwa makna dhalim tidak hanya berorientasi pada kekejaman yang bersifat fisik saja. Melainkan ketidak adilan yang dilakukan oleh seorang hakim, mengedepankan hawa nafsu yang dilakukan para perokok dan yang kuat menindak yang lemah yang dilakukan oleh polisi di Negara kita, juga termasuk dalam makna kata dhalim.
Jika ada seseorang yang tidak bersarang sikap dhalim di dalam hatinya, maka itulah yang dimaksud dalam ayat ini. Seorang manusia tidak mungkin tidak pernah berbuat dhalim walaupun sepersekian detik. Kalaupun ada, maka manusia yang seperti itu bukanlah manusia biasa dan secara otomatis ini dapat dikatakan ma’shum. Kema’shuman di sini adalah bentuk dari manifestasi ketakwaan yang tertinggi. Kalau dikatakan bahwa sikap takwa adalah melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka sikap ma’shum lebih dari itu, jangankan menjauhi larangan-Nya, berfikir di dalam benak saja terhadap larangan tersebut mustahil akan dilakukan.
Para ahli teologi memberikan pengertian “ishmah” sebagai sesuatu kekuatan daya yang mampu mencegah seorang manusia terjerumus ke dalam perbuatan maksiat dan kesalahan lainnya. Seperti yang dimiliki para Anbiyâ’. Dengan demikian ayat ini menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang dikehendaki Allah untuk menjaga perdamaian di muka bumi ini haruslah ma’shum. Sedangkan ishmah tersendiri adalah anugerah yang diberikan Allah kepada hambanya mulai dari lahir. Karena itu mustahil jika seorang yang pernah berlaku dhalim baik kepada orang lain atau kepada diri sendiri menjadi ma’shum dan sebaliknya seorang yang ma’shum mustahil melakukan perbuatan dhalim dalam berbagai kesempatan apapun, baik sengaja maupun tidak disengaja sekalipun.
Bentuk sistem kepemimpinan yang mengkultuskan akan sandangan gelar ma’shum bagi seorang pemimpin tersebut hanya dapat ditemukan dalam konsep kenabian dan berujung pada Imamah. Dikarenakan beban yang diemban (yaitu menjadi pemimpin di atas bumi Allah) sangatlah berat, dirasa tanpa bekal ishmah mustahil seorang pemimpin tersebut dapat mengendalikan semuanya. Disamping itu, ishmah juga merupakan bentuk penyifatan figur seorang pemimpin yang dijadikan percontohan bagi pengikutnya, bagaikan peribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari.”
Dalil Surat An-Nisâ’: 59
يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الآمر منكم
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”
Seperti yang telah dijelaskan dalam kajian di atas, ayat 59 dari surat An-Nisa ini berisi perintah tentang keharusan kita untuk taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri/pemimpin. Dalam ayat ini posisi Allah, Rasul dan Ulil Amri disejajarkan dalam suatu frase yang mengkodifikasikan kewajiban ketaatan kita kepada mereka. Penulis juga memahami bahwa seorang Ulil Amri yang dimaksud ayat ini haruslah dari orang-orang yang berkepribadian baik, sehingga mereka berpatok pada perintah Allah melewati Rasul-Nya, bisa dikatakan ia menjadi wujud representatif dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga bukan berasal dari manusia awam yang tidak mengetahui hakekat kebenaran. Mengimani Allah dan Rasul-Nya adalah bentuk dari keikhlasannya, berilmu adalah bentuk dari keunggulannya, adil adalah bentuk dari keutamaannya dan bijaksana adalah bentuk dari kharismanya.
Akan tetapi timbul suatu pertanyaan, siapakah Ulil Amri yang dimaksud dalam ayat tersebut?
Logika kita dapat menyatakan bahwa hanya itrah Rasul-lah yang dapat menjabat posisi tersebut. Bukankah mereka adalah tali penghubung antara Tuhan dan makhluknya? Bukankah mereka yang dalam setiap masanya menjadi rujukan bagi setiap kaumnya? Bukankah mereka yang mewarisi ilmu Rasul, sehingga tabir-tabir rahasia tentang keperkasaan Tuhan dan keselarasan alam dapat mereka ungkap? Bukankah mereka yang selalu mempunyai tingkat keimanan tertinggi pada masa zamannya? Bukankah sikap kecintaan terhadap mereka adalah bentuk balas jasa yang kita berikan untuk Rasulullah saww? Dan bukankah mereka yang disterilkan oleh Allah dari segala bentuk kotoran?
Dalam tafsir Nûrul Qur’ân-nya, Allamah Kamal Faqih Imani memaknai kata ulil amri adalah para imam suci yang kepadanya kepemimpinan fisik dan spiritual masyarakat Islam, yang mencakup semua urusan kehidupan telah diberikan dari sisi Allah dan Rasul-Nya saww, dan tidak mencakup siapapun selain mereka. Ulil amri tersebut adalah bentuk dari suksesi pemberjalanan syariat Allah yang diserukan kepada Rasul, yang mana bentuk ilmu yang mereka (para imam) miliki adalah representatif dari ilmu Rasulullah saww. Maka secara otomatis ketaatan terhadapnya adalah suatu keharusan. Karena mereka adalah agen-agen Allah yang sudah dikemas dalam keadaan baik guna menuntun manusia kepada jalan yang lurus.
Apakah pantas gelar dari ulil amri tersebut merupakan pemaknaan dari para khalifah? Sedangkan kita lihat bahwa kekejaman yang merajalela yang dilakukan khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas adalah bentuk kekeliruan yang mana fitrah kita pun menolaknya? Apakah pantas gelar ulil amri tersebut disandang oleh para khalifah? Sedangkan mereka hanya bertugas sebagai pemimpin Negara dan memeasrahkan segala urusan tentang syariat kepada yang lebih mengetahui? Apakah pantas gelar ulil amri tersebut dikultuskan kepada para khalifah? Sedangkan fakta sudah membeberkan bahwa khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas hanya giat menumpuk harta? Berdasarkan fakta maupun teori, jabatan khilafah tidaklah mampu untuk mendapatkan gelar ulil amri, dan selayaknya kita harus merenungkan kesemuanya. Kalau ada segelintir orang yang berusaha menafikan Ahlulbait dalam ayat ini maka ketahuilah sikap seperti hanyalah sikap fanatis yang tidak mendasar kepada pengetahuan apapun, dan mereka hanyalah seorang nashibi yang akan menjadi kelompok yang merugi dan niscaya akan binasa ditelan masa akibat kefanatikannya.
Dalil Surat Ali ‘Imrân: 103
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكر نعمت الله عليكم اذ كنتم اعداء فالف بين قلوبكم بنعمته اخوانا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara."
Kata واعتصموا dalam ayat tersebut sama statusnya dengan kata اطيعوا dalam surat An-Nisa ayat 59. Akan tetapi bukan itu yang akan kita kaji melainkan makna dari kata حبل الله yang ada pada ayat di atas.
Ayat ini, secara gamblang telah menunjukkan adanya bentuk ajakan Allah semata kepada manusia untuk manjaga persatuan dengan tali Allah. حبل الله secara arti bahasa adalah tali Allah. Maka akan timbul pertanyaan bagi kita semua, apakah yang dimaksud dengan tali Allah itu? Kalaupun itu bersifat objek, maka siapakah ia? Kalaupun bersifat tindakan maka apakah pekerjaan itu?
Kasus pertanyaan ini terjadi kala setelah Rasulullah saww menerima wahyu ayat itu maka ada dari kalangan sahabat yang menanyakan makna dari kata حبل الله dalam ayat itu. “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dari kata حبل الله dalam ayat tersebut?”Maka Rasulullah saww seraya menjawabnya, حبل الله adalah habl mamdud min al-samawat wa al-ardh (tali penghubung dari antara langit dan bumi), dan sahabat melanjutkan, maka apakah itu wahai Rasulullah? Rasul menjawabnya,”Al-Qur’ân dan Ahlulbaitku.
Objek sekaligus bentuk perlakuan telah terlihat dalam bentuk keduanya. Al-Qur’ân adalah kalamullah yang mana berisi tentang panduan-panduan untuk merengkuh atau mengantarkan kita kepada kebenaran hakiki, dalam bentuk berbagai macam tindakan yang benar, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya. Selain itu Ahlulbait juga merupakan bentuk dari manifestasi Al-Qur’ân atau Al-Qur’ân yang berjalan yang telah merepresentasikan bentuk perbuatan-perbuatan benar itu di dalam dirinya. Gelaran-gelaran untuk mereka yang diberikan para pengikutnya adalah bentuk pengakuan para umat yang telah menyaksikan bahwa mereka adalah manusia yang termulia pada zamannya.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa hablullah itu adalah agama Allah. Dalam menanggapi ayat tersebut, Allamah Kamal Faqih Imani berpendapat,”di kalangan ahli tafsir, pendapat tentang istilah ‘hablullah’ atau ‘tali Allah’ berbeda-beda. Dalam literatur Islam, terdapat berbagai riwayat tentangnya. Akan tetapi tidak ada perbedaan pada makna dasarnya, karena ‘tali Allah’ adalah semua sarana yang berhubungan dengan esensi murni Allah, baik itu berupa Al-Qur’ân, Nabi saww atau keturunannya, Ahlulbait as.
Dalil Surat Al-Ahzab: 33
وقرن فى بيوتكن ولا تبرج الجاهلية الآلى وأقمن الصلاة وءاتين الزكاة وأطعن الله ورسوله انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت و يطهركم تطهيرا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Sebelum membahas tentang esensi yang terpenting dalam ayat ini, yaitu pemahaman Ahlulbait, ada baiknya kita juga memahami maksud kata الرجس/Al-Rijs dalam ayat ini. Ustad M. Quraish Shihab dalam tafsirnya memaknai Kata Al-Rijs pada mulanya berarti kotoran, ini dapat mencakup empat hal. Kekotoran berdasarkan pandangan agama, atau akal, atau tabiat manusia, atau ketiga hal tersebut. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran pada segi syara’, meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan keringat adalah kotoran dalam pandangan tabiat manusia. Sedangkan bangkai adalah kotoran dalam agama, akal dan juga tabiat manusia.
Ayat ini adalah termasuk ayat muhkamat yang mengkultuskan bahwa mereka ahlulbait itu telah ma’shum dalam artian suci dari segala kotoran dan bukan berarti fi’il mudhori’ yang ada pada kata و يطهركم bermakna yang bermula mereka adalah seorang yang kotor kemudian mereka disterilkan dari kotoran, maka ini adalah pemahaman yang salah. Dalam kaidah nahwu, fi’il mudhori’ berkedudukan untuk keadaan sekarang dan lil mustaqbal (untuk keadaan di masa yang akan datang), sehingga kita dapat memahami maksud fi’il mudhori’ pada kata itu berfungsi untuk menegaskan bahwa para Ahlulbait adalah suci sejak ia lahir sampai kapanpun. Para ulama’ dari kalangan Sunni Syi’ah kontroversi membahas ayat ini. Ulama’ Sunni berpendapat bahwa para ahlulbait yang dimaksud dalam ayat ini adalah keluarga dan istri-istri nabi. Sedangkan ulama’ Syi’ah berpendapat bahwa Ahlulbait dalam ayat di atas adalah nabi dan keluarganya. Membahas perdebatan ini, maka penulis akan membawakan sedikit gambaran dengan harapan para pembaca budiman dapat mengetahui makna Ahlulbait. Dalam ilmu nahwu bentuk dhamir كم penggunaannya untuk laki-laki. Akan tetapi bisa juga digunakan oleh komunitas yang di sana terdapat laki-laki dan perempuan. Tapi bukan berarti istri-istri Nabi juga digolongkan di dalamnya. Ini dikarenakan ada beberapa hal yang memberatkannya.
Menurut penulis, Ahlulbait dalam ayat ini adalah Rasulullah sendiri dan keluarga sedarah Rasulullah saww, yakni putrinya Fathimah Az-Zahra, menantu sekaligus sepupunya Ali ibn Abi Thalib, dan kedua cucu beliau Al-Hasan dan Al-Husein. Jikalau istri-istri Nabi dimasukkan dalam ayat ini maka aka ada pertentangan yang mendasar sekali antara ayat lainnya dalam surat yang sama.

يا نساء النبى من يأت منكن بفاحشة مبينة يضاعف لها العذاب ضعفين وكان ذالك على الله يسيرا
“ Hai isteri-isteri nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Ayat ini menegaskan adanya ancaman Allah kepada para istri-istri nabi yang melakukan fâhisyah dengan balasan dosa yang berlebih. Maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa mereka berpotensi untuk berbuat dosa. Seperti yang Al-Qur’ân dan sejarah juga telah mencatatnya tentang perbuatan Ummul Mu’minin ‘A’isyah ra dan Hafshah ra (ada juga riwayat lain bahwa ‘A’isyah bersama Hafshah dan Saudah) dalam kasus azbab nuzul surat At-Tahrim ayat 4.
ان تتوبا الى الله فقد صغت قلوبكما وان تظاهرا عليه فان الله هو مولاه وجبريل وصالح المؤمنين والملائكة بعد ذالك ظهير
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua Telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”
Ayat ini menjelaskan bahwa dua Ummul Mu’minin tersebut telah berbuat salah dan melakukan perbuatan yang telah membuat hati nabi merasa iba, hingga nabi mengambil tindakan yang seharusnya tidak beliau lakukan. Kronologi peristiwa itu seperti berikut.
Pada suatu hari ‘A’isyah ra bersama Hafshah ra mengamat-amati istri Nabi yang baru, yaitu Zaiban binti Jahsyi ra. Kedua-duanya menghitung-hitung waktu berapa menit dan berapa detik Rasulullah saww berada di tempat Zainab. Setelah dirasa terlalu lama ‘A’isyah mencari akal bagaimana cara menjauhkan Rasulullah saww dari Zainab ra. Dalam usaha mencari cara itu, ia bersepakat dengan Hafshah dan Saudah untuk menanyakan sesuatu kepada beliau pada saat giliran masing-masing tiba. Pertanyaan yang akan diajukan kepada beliau adalah sama, yaitu ‘Apakah beliau habis makan maghafir’ (jenis buah manis yang baunya tidak sedap)? Maka ketika tiba giliran ‘A’isyah, beliau ditanya,”Apakah anda habis makan maghafir?” Demikian juga yang ditanyakan oleh Hafshah ra pada saat gilirannya dan juga Saudah. Rasulullah selalu menjawab tidak, karena beliau memang tidak mau makan apa saja yang berbau tidak sedap dan menyengat hidung. Bawang pun beliau tidak suka. Kepada Saudah beliau menjawab,”Zainab memberi minuman madu kepadaku.” Dengan gaya sebagai seseorang yang berpengalaman tinggal di daerah pegunungan Ummu Salamah menanggapi jawaban beliau,”Barangkali lebahnya bergerumut di pohon irfith (jenis pepohonan yang buahnya berbau busuk)!” Rasulullah saww tidak menjawab. Beliau hanya tidak mau lagi minum madu di kediaman Zainab ra. Ketika Saudah mengetahui hal itu ia menyesal, lalu berkata kepada ‘A’isyah dan Hafshah,”Subhanallah! Kita telah membuat beliau tidak mau minum madu.
Melihat semua itu, Rasulullah saww hatinya menjadi gundah, maka pada saat itu juga turunlah firman Allah untuk membesarkan hati beliau.
عسى ربه ان طلقكن أن يبدله ازواجا خيرا منكن مسلمات مؤمنات قانتات تائبات عابدات سئحات ثيبات وأبكارا
“Jika nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”
Maka melihat ringkasan peristiwa ini, kita dapat menggaris bawahi, mungkinkah jika istri-istri Nabi dimasukkan dalam makna kata Ahlulbait yang terjaga dari segala bentuk dosa? Sedangkan mereka telah mendahulukan nafsunya demi mempertahankan egonya. mungkinkah jika istri-istri Nabi dimasukkan dalam makna kata Ahlulbait? Sedangkan mereka telah membuat Rasul mengorbankan hak personal untuk dirinya atas sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah demi menjaga keharmonisan antar istri beliau. mungkinkah jika istri-istri Nabi dimasukkan dalam makna kata Ahlulbait? Sedangkan faktanya mereka tidak terhindar atas kotoran dalam tabiatnya. Hendaknya kita semua memikirkan hal ini. Dan coba kita melihat kepada option kedua, bahwa ayat ini diperuntukkan hanya untuk Nabi dan kelurganya saja yang mulia. Siapa yang tidak kenal akan ke-suritauladan-an keluarga Nabi. Bahkan berbagai macam ayat telah memuji tindakan mereka. Maka hendaknya kita memikirkan kembali atas semua ini dengan tujuan mencari kebenaran semata.
Dalil Surat As-Syurâ’: 23
ذالك الذين يبشر الله عباده الذين ءامنو وعملوا الصالحات قل لأ سئلكم عليه أجرا الا المودة فى القربى
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan atas Al-Qurbâ (Ahlulbait)".
Dalam memahami ayat ini, kiranya banyak para mufassir yang terjebak pada makna القربى yang diartikan kekeluargaan. Huruf في pada kalimat الا مودة في القربي dalam kaidah nahwu berfungsi sebagai sababiyah. Maka kalau kata القربى diartikan sebagai kekeluargaan maka ayat tersebut akan berarti.”katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan kepadaku karena kekeluargaan kita yang dekat”. Ditambah lagi para mufassir agaknya banyak yang mengklaim ayat ini makkiyah. Dengan ini maka kita justru akan menambah kebingungan atasnya. Manalah mungkin Rasulullah saww meminta suatu permohonan kepada khalayak ramai Quraisy sedangkan pada masa itu panji-panji kemusyrikan masih tegak dan keimanan atas Rasulnya masih redup? Bagaimana mungkin seruan Rasul yang dianggap oleh mereka adalah ancaman yang besar sembari itu Rasulullah meminta permohonan kepada mereka untuk mencintainya secara kekeluargaan. Jadi klaim atas القربى yang seperti itu jelas tidak dapat kita tangguhkan.
Pendapat kedua yang dilontarkan oleh para mufassir tentang ayat itu yang lebih masyhur adalah adanya segolongan kaum Anshar yang ingin memberikan sejumlah hartanya sebagai bentuk balas jasa dan kecintaannya kepada Rasulullah saww dan Rasulullah saww memintanya agar mereka mencintainya. Sehingga pendapat ini mengidentifikasikan ayat ini adalah madaniyah. Maka pendapat ini juga tidak bisa dijadikan jaminan karena bukti kecintaan dan balas jasa kaum Anshar yang diberikan oleh Rasulullah sudah dibuktikan atas realita yang ada. Bahwa sekali-kali hanyalah mereka yang menampung Rasul kala beliau dikejar-kejar oleh Quraisy musyrikin Mekkah, menghibahkan harta dan tenaga mereka guna menggalang peperangan dan lainnya. Itu semua sudah terbukti sebelumnya. Maka apalah guna kecintaan yang diminta oleh Rasul sedangkan permintaan itu sudah terealisasi? Jadi pendapat ini juga tidak dapat kita jadikan hujjah.
Pendapat ketiga, yaitu ayat tersebut telah dimansukh dengan surat Saba’: 47
قل ما سألتكم من اجر فهو لكم ان أجري الا على الله وهو على كل شيء شهيد
“Katakanlah: "Upah apapun yang Aku minta kepadamu, Maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Maka yang berpendapat seperti ini sesungguhnya mereka malah menguatkan ayat al-mawaddah. Karena dalam ayat ini telah dikuatkan bahwa keuntungan bentuk pemberjalanan upah yang mereka berikan itu sesungguhnya diperuntukkan untuk mereka sendiri tanpa menguntungkan Rasul sebagai pemerintah. Agaknya dari semua pendapat di atas selalu memberikan kerancuan. Maka tibalah saatnya bagi kita untuk menyimak pendapat yang menyatakan bahwa kecintaan dalam ayat al-mawaddah tersebut diperuntukkan Ahlulbait as.
Pendapat yang ini dikuatkan dengan adanya sabda Rasul yang dibawakan Muhibbudin At-Thabari sebagai berikut.
ان الله جعل أجري عليكم المودة في أهل بيتي و اني سا ئلكم عنهم غدا
“Sesungguhnya Allah menjadikan upahku atas kelian adalah kecintaan kepada Ahlulbaitku, dan aku kelak benar-benar akan meminta pertanggungjawaban kalian tentang mereka.”
Pendapat ini begitu kuat dan tidak dapat dilemahkan dalam sudut pandang manapun. Contoh, jika ayat al-mawaddah kita lihat pada sudut pandang ilmu nahwu tentang huruf في yang berkedudukan sababiyah.”Katakanlah aku tidak meminta upah apapun kecuali kecintaan kepada keluarga dekatku.”
Lalu jika pendapat ini dikatakan bertentangan dengan keadaan pada realita yang terjadi pada masa itu, di mana cucu Rasul Al-Hasan dan Al-Husein belum lahir maka ketahuilah bahwa pada hakekatnya bentuk pemberitaan yang seperti ini juga telah dilakukan oleh Allah kepada Nabi-Nabi terdahulu bahwa akan datang seorang Nabi yang akan memberikan kedamaian terhadap dunia yaitu Rasulullah itu sendiri, penyampaian Nabi kepada para sahabat bahwa sepeninggalnya akan ada 12 orang khalifah yang memimpin beserta nama-namanya, adanya sekelompok kaum bughât yang bernama Khawarij yang akan memerangi ‘Ali. Tidak menutup kemungkinan bahwa ayat ini adalah isyarat Allah kepada manusia yang disampaikan kepada Rasulullah bahwa sepeninggalnya nanti, umat Muhammad akan membunuh Muhammad, maka dalam setiap kesempatan beliau tak jemu mengingatkan umatnya akan perlakuannya terhadap keluarganya.
Makna kata المودة bukan hanya mengisyaratkan kecintaan belaka, dan inilah yang menjadi pembeda antara المودة dengan المحبة. Jika المحبة berarti kecintaan maka المودة berarti kecintaan dan mengikuti segala apa-apa yang diperintahkan olehnya. Jadi dalam ayat ini, kita diisyaratkan tidak hanya sekedar untuk mencintai mereka saja, tetapi juga mengikuti mereka.
Dalil Surat Ar-Ra’d: 7
انما انت منذر ولكل قوم هاد
"Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.”
Ayat ini memberikan gambaran bahwa tiap-tiap masa, tiap-tiap zaman dan tiap-tiap kaum akan ada pembimbing yang akan menuntun manusia kepada jalan yang benar. Jika pembimbing umat itu dinisbatkan kepada para ulama’, maka akan timbul beberapa pertanyaan,
1. Berapa banyak para ulama’ yang berijtihad salah? Sehingga ia harus merubah dan merubahnya kembali, sehingga statement yang ia berikan berubah-ubah dan tidak memberikan jawaban yang mutlak.
2. Pertanyaan kedua, apakah seorang ulama’ mewarisi pengetahuan Rasul? Sehingga ia mampu memecahkan segala bentuk permasalahan yang ada, sedangkan fakta menyajikan bahwa terkadang seorang ulama’ tidak dapat memberi keputusan tetap dan melakukan banyak perdebatan tanpa hasil yang jelas.
3. Pertanyaan ketiga, jika yang dimaksud pembimbing itu ulama’, maka apakah ini tidak hanya akan memberikan dampak kefanatikan kepada yang dibimbing? Perkataan ulama’ Syi’ah hanya akan didengar oleh orang-orang yang bermadzhab syi’ah saja, sebaliknya juga terjadi seperti itu atas pihak Ahlussunnah. Maka perkataan ulama’ tersebut tidak mencakup secara universal dan pengkotak-kotakan akan terjadi, sehingga seorang ulama’ identik sebagai pembimbing kelompok madzhab, bukan pembimbing umat. Sedangkan yang diberitakan pada ayat tersebut adalah pembimbing suatu kaum pada zamannya.
Maka, melihat macam-macam studi kasus di atas kita tidak dapat menjadikan ulama’ sebagai pembimbing yang paten.
Di sini, penulis akan menawarkan sebuah formula yang mana menisbatkan pembimbing tersebut kepada para imam. Terbukti bahwa perkataan seorang imam dapat dijadikan pegangan dalam setiap zaman. Warisan ilmu Rasul yang mereka miliki juga menjadikan nilai lebih tersendiri atas berbagai macam hal, dan telah dibuktikan secara gamblang baik dalam menjadi rujukan hukum, suritauladan yang baik dalam bersosialisasi yang ditiru oleh para pengikutnya dan juga penafsir handal Al-Qur’ân, sehingga baik makna yang tersirat maupun makna yang tersurat akan terungkap atas penafsirannya. Selain semua keunggulan di atas, keberadaan mereka juga tetap eksis sampai pada masa hancurnya dunia dan tersingkaplah yang baik dan yang buruk. Bukankah pembimbing yang seperti itu yang dapat dijadikan acuan bagi kaumnya?
Maka kepada pilihan mana kita meyakini kelayakannya, itu kita kembalikan kepada diri masing-masing.

Keilmuan para Imam
Keilmuan Imam ‘Ali as
Selain itu, seorang Imam juga harus mewarisi keilmuan Rasulullah saww mengingat ia adalah pengganti Rasulullah sebagai rujukan fatwa-fatwa syar’i. Tanpa bekal keilmuan yang matang maka mustahil seorang imam tersebut dapat menjelaskan hakikat dalil-dalil yang telah disampaikan oleh Rasulullah saww. Jika kita lihat dalam kitab-kitab hadîts, belum pernah Rasulullah memuji keilmuan para sahabatnya selain Imam ‘Ali as, berikut adalah kutipan teks-teksnya:
أنا مدينة العلم و علي بابها فمن أراد العلم فليأتها من بابها
“Aku adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya. Maka barang siapa menginginkan ilmu, hendaknya mendatangi lewat pintunya.”
Hadîts masyhur ini diriwayatkan oleh ratusan muhaddîtsîn. Beberapa muhaddîtsîn mangklasifikasikan hadîts ini mutawatir, ada yang mengakuinya sebagai hadîts ini shahih dan ada juga yang mengakuinya hadîts ini hasan.
Kehebatan ilmu Ahlulbait sudah bukan lagi merupakan hal yang rahasia lagi, semua kalangan sahabat tetap menjadikannya rujukan, sekalipun mereka tidak mempunyai mandat sebagai penjelas dalil-dalil Al-Qur’ân maupun Hadîts oleh para khalifah. Karena mereka mengetahui bahwa mereka dididik dalam madrasah nubuwwah. Sehingga mereka mengetahui apa-apa yang sahabat lain tidak mengetahuinya. Ada satu riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah pada hari pertempuran di Thaif memanggil ‘Ali, lalu mereka menjauhi keramaian dan menyendiri untuk berbicara empat mata. Maka para sahabat merasa bahwa waktu yang mereka habiskan terlalu lama dan berkata: “Terlalu lama ia berbicara sendirian dangan putra pamannya.” Melihat perkataan itu, maka Rasulullah saww bersabda:
ما انتجيته ولكن الله نجاه
“Bukan aku yang berbicara dengannya, akan tetapi Allah-lah yang berbicara dengannya.”
Berikut ini akan diberikan beberapa contoh riwayat tentang anugerah keilmuan Imam ‘Ali yang begitu dikagumi dan sudah pasti tidak ada sahabat lainnya yang memiliknya.
Ada suatu riwayat Ketika ‘Ali menaiki mimbar, Dzi’lab yaitu seorang yang fasih lidahnya, orator ulung dan pemberani bangun sembari berkata,” Putera Abu Thalib telah naik keatas mimbar. Maka aku akan permalukan ia di depan kalian semua dengan pertanyaanku ini.
Dzi’lab bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin! Apakah anda melihat Tuhanmu?”
Imam ‘Ali berkata,”Celakalah kamu wahai Dzi’lab! Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat!”
Lalu Dzi’lab melanjutkannya,”Bagaimana anda melihat-Nya?”
Imam ‘Ali menjawab,”Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata penglihatan indrawi, namun Dia dapat dilihat dengan mata hati yang sarat dengan hakikat-hakikat iman. Wahai Dzi’lab, sesungguhnya Tuhanku tidak disifati dengan jauh, gerakan, diam, berdiri tegak, datang dan pergi. Dia berada di dalam segala sesuatu tetapi tanpa bercampur. Dia di luar segala sesuatu tapi tanpa berjauhan. Dia di atas segala sesuatu dan tidak sesuatu pun di atas-Nya. Dia di depan segala sesuatu tetapi tidak dikatakan bahwa Dia berada di depan. Dia di dalam segala sesuatu tetapi tidak seperti sesuatu di dalam sesuatu. Dia di luar segala sesuatu tapi tidak seperti di luar sesuatu.”
Kemudian Dzi’lab terkagum-kagum dan berkata,”Demi Allah aku tidak pernah mendengar jawaban seperti ini. Demi Allah aku tidak akan mengulanginya.”
Riwayat yang lain juga akan saya bawakan yaitu tentang pertanyaan para pendeta Yahudi kepada Khalifah Umar. Pendeta Yahudi itu berjumlah tiga orang, lalu datang menemui Khalifah ‘Umar seraya berkata,”Wahai Umar, anda adalah pemimpin setelah Muhammad dan anda adalah sahabatnya, kami ingin bertanya kepadamu tentang beberapa hal, kalau anda dapat memberitahukannya kepada kami maka kami yakin bahwa Islam itu benar dan Muhammad adalah seorang Nabi. Tetapi jika tidak, kami yakin bahwa Islam itu salah dan Muhammad bukanlah seorang Nabi.”
Lalu Umar berkata,”Bertanyalah sesuka kalian!”
Mereka berkata,”Beritahukan kepada kami tentang penutup pintu langit dan kunci pintu langit! Beritahukan pada kami kuburan yang membawa pergi penghuninya! Beritahukan kepada kami tentang sesuatu yang mengingatkan kaumnya, tetapi ia bukan dari kalangan jin atau manusia! Beritahukan juga kepada kamitentang lima makhluk yang berjalan di muka bumi ini dan mereka teidak diciptakan melalui rahim! Apa yang dikatakan ayam jago saat berkokok? Apa yang dikatakan kuda saat meringkik? Apa yang dikatakan katak saat bersuara? Dan apa yang dikatakan burung saat berkicau?”
Lalu atas ketidaktahuannya, dengan berat hati ‘Umar berkata,”Tidak ada salahnya bagi ‘Umar untuk mengatakan tidak tahu atas apa yang tidak ia ketahui.”
Maka para pendeta itu bangkit dan berkata,”Kami bersaksi bahwa Muhammad itu bukanlah Nabi dan Islam itu agama sesat.”
Melihat hinaan itu, Salman al-Farisî berkata kepada mereka tunggu sebentar, lalu ia pergi kepada Imam ‘Ali dan menceritakan semuanya. Lalu Imam ‘Ali berangkat menemui mereka. ‘Ali memanggil orang-orang Yahudi itu dan berkata,”Bertanyalah sesuka kalian! Sesungguhnya Nabi telah mengajariku seribu pintu ilmu, kemudian dari setiap pintu bercabang seribu pintu lagi. Jika aku dapat menjawab nya maka kalian harus masuk agama kami dan beriman.”
Mereka menjawab,”Ya!”
‘Ali berkata,”Bertanyalah satu-satu!”
Mereka berkata,”Beritahukan kepada kami tentang penutup langit, apakah itu?”
‘Ali menjawab,”Penutup langit adalah menyekutukan Allah, karena jika seorang hamba menyekutukan Allah maka amalnya tidak akan naik atau diterima.”
Mereka melanjutkannya,”Beritahukan kami tentang kunci langit, apakah itu?”
‘Ali menjawab,”Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”
Mereka bertanya lagi,”Beritahukan kami tentang kuburan yang membawa pergi penghuninya!”
‘Ali menjawab,”Itu adalah ikan yang menelan Yunus ibn Matta dan membawanya ke tujuh lautan.”
Tak puas dengan itu mereka bertanya lagi,”Beritahukan kepada kami tentang makhluk yang mengingatkan kaumnya tapi bukan dari kalangan jin atau manusia!”
‘Ali menjawab,”Dia adalah semut sulaiman ibn Daud, lalu Imam ‘Ali mengeluarkan sebauh ayat yang menerangkan atas hal tersebut.
حتى اذا اتوا على واد النمل قالت نملة يأيها النمل ادخلوا مساكنكم لا يحتمنكم سليمان وجنوده وهم لا يشعرون
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari."
Kembali para Yahudi itu bertanya,” Beritahukan kepada kami tentang lima makhluk yang berjalan di muka bumi ininamun mereka tidak diciptakan melalui rahim!”
‘Ali menjawab,”Mereka adalah Adam, Hawa, unta Nabi Shaleh, kambing Nabi Ibrahim dan ular Nabi Musa yang berasal dari tongkatnya.”
Bertanya lagi mereka,”Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan kepada kami apa yang dikatakan ayam jago saat berkokok?”
‘Ali menjawab,”Ingatlah Allah wahai orang-orang yang lalai!”
Para pendeta bertanya,”Beritahukan kami apa yang dikatakan kuda saat meringkik?”
‘Ali menjawab,”Ketika kaum kaum mu’minin berangkat jihad melawan orang-orang kafir maka kuda berkata,”Ya Allah, tolonglah kamu mu’minin atas kaum musyrikin.”
Yahudi bertanya,”Beritahukan kami apa yang dikatakan katak saat bersuara?”
‘Ali menjawab,”Maha suci Tuhanku yang disembah dalam kegelapan laut.”
Pertanyaan terakhir yang dilontarkan para pendeta,”Beritahukan kami apa yang dikatakan burung di saat berkicau!”
‘Ali menjawab,”Ya Allah laknatlah pembenci Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Maka dua dari tiga orang Yahudi itu menyatakan dirinya,”Kami bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.”
Bukti terakhir yang akan dikemukakan oleh penulis tentang penjelasan keilmuan Imam ‘Ali merujuk pada kitab Nahjul Balaghah. Adalah tentang penciptaan Allah SWT terhadap kelelawar, yang meliputi kesempurnaan akan kekurangannya. Seperti yang akan dijelaskan di bawah ini:
Suatu contoh dari hasil perbuatan-Nya yang halus, penciptaan yang menakjubkan dan kebijaksanaan yang dalam yang telah Ia tunjukkan kepada kita terdapat pada kelelawar ini, yang tersembunyi di siang hari walaupun siang membukakan segala sesuatu lainnya, dan bergerak di amalm hari walaupun malam menutup segala makhluk hidup lainnya, dan betapa mata mereka silau dan tak dapat memanfaatkan cahaya matahari agar beroleh petunjuk dalam gerakan mereka dan agar mencapai tempat-tempat mereka yang diketahui melalui arahan yang diberikan oleh matahari.
Allah mencegah mereka bergerak dalam terang matahari dan membataskan mereka pada tempat-tempat persembunyiannya ketimbang keluar pada waktu bersinarnya (matahari). Akbatnya, mereka menutup kelopak matanya di siang hari dan memperlakukan malam sebagai lampu dan pergi dengan bantuannya mencari rezeki. Kegelapan tidak mengganggu penglihatan mereka, tidak pula kekelaman gelap malam mencegah mereka bergerak. Segera setelah matahari menyingkirkan tabirnya dan cahaya pagi muncul, dan sinar cahaya mencapai kadal-kadal dalam liangnya, kelelawar menutupkan kelopak matanya dan hidup dengan apa yang telah mereka kumpulkan dalam kegelapan malam. Maha suci Dia (Allah) yang telah membuat malam sebagai siang bagi mereka untuk mencari rezeki dan membuat siang untuk istirahat dan menginap.
Ia telah memberikan kepada mereka sayap dari daging yang dengan itu, pada saat perlu, mereka bangkit untuk terbang. (Sayap-sayap) itu Nampak sebagai ujung-ujung telinga tanpa bulu atau tulang. Tentu anda dapat melihat pembuluh-pembuluh darahnya dengan sangat jelas. Mereka mempunyai sayap yang tidak terlalu tipis sampai mungkin terlipat ketika terbang, tidak pula terlalu tebal sampai ternyata berat. Ketika mereka terbang, anak-anak bayi mereka berpegang pada pada mereka dan mencari perlindungan kepada mereka, turun apabila mereka turun dan bangkit apabila mereka bangkit. Anak-anak muda itu tidak meninggalkan mereka hingga anggota badannya menjadi kuat, (hingga) sayapnya dapat menopangnya untuk membubung dan mulai mengenali tempat-tempat kehidupan dan kepentingannya. Maha sucilah Dia yang menciptakan segala sesuatu tanpa suatu contoh sebelumnya oleh seseorang lain.
Keilmuan Imam Hasan ibn ‘Ali Al-Mujtaba as
Imam Hasan adalah Imam yang ke-2 dalam jajaran konsep Imamah madzhab Syi’ah Imamiyah. Ia adalah anak tertua dari pasangan ‘Ali ibn Abi Thalib as dan putri tunggal tercinta Rasulullah saww yaitu Fathimah az-Zahra as. Banyak diantaranya kata-kata mutiara beliau yang harus kita jadikan sebagai hujjah. Salah satunya tentang penyifatan karakter yang baik sebagai berikut:
“Dia adalah orang yang agung dimataku, dan pangkal kekagumanku padanya adalah saat menganggap dunia ini kecil di hadapannya. Dia terlepas dari kungkungan (tidak berhubungan) dengan kebodohan dan tidak mengulurkan tangannya kecuali kepada apa yang ia percayai akan memberikan suatu manfaat. Dia tidak suka mengeluh, tidak cepat marah dan tidak mudah murung. Dia lebih suka jadi pendiam namun jika berbicara akan membungkam pembicara lain. Dia seakan lemah dan tidak berdaya, namun dalam kesungguhan dia laksana singa yang akan menerkam. Bila duduk dengan para ulama dia lebih suka mendengarkan daripada ikut berbicara. Dan jika dia kalah dalam dialognya, dia menang dalam diamnya. Dia tidak berkata tentang apa yang tidak dilakukannya atau berbuat sesuatu yang tidak diucapkannya. Dan apabila disodorkan masalah yang belum diketahui mana yang lebih dekat dari keridhoan Tuhannya, maka segera dia melihat mana yang lebih dekat kepada hawa nafsunya lalu ditinggalkannya. Dan dia tidak pernah mencela seseorang yang menyadari tingkah lakunya.”
“Ketahuilah bahwa siapa yang bertaqwa kepada Allah maka ia akan menjadikan baginya jalan keluar dari fitnah, akan meluruskan setiap perkaranya, akan menyiapkan baginya jalan kebaikan, akan menguatkan hujjahnya ats lawan-lawannya, memutihkan wajahnya, dan menuruti keinginannya bersama orang-orang yang telah Allah berikan nikmat atas mereka seperti para Nabi, para siddiqîn dan apar syuhadâ’ shalihîn.”
Keilmuan Imam Husein ibn‘Ali As-Syahid as
Imam Husein ibn ‘Ali adalah adik dari Imam Hasan ibn ‘Ali, yang meninggal dibantai di Padang Karbala’ oleh tentara Yazid ibn Mu’awiyah. Dari keturunannyalah ke sembilan a’immah lahir. Mulai dari Imam ‘Ali ibn Husein sampai dengan harapan seluruh umat yaitu Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Berikut adalah kata-kata bijaknya yang sarat akan ilmu:
“Segolongan manusia menyembah Allah karena ingin keuntungan, maka itu adalah ibadahnya seorang pedagang. Ada juga segolongan manusia menyembah Allah karena rasa takut kepadanya maka itu ibadahnya kaum budak. Segolongan menyembah Allah karena karena bersyukur atas nikmat-Nya, maka itulah penyembahan orang yang merdeka. Itulah sebaik-baiknya ibadah.”
Seseorang mendatangi Imam Husein dan dan berkata:”Aku seorang laki-laki yang selalu berbuat dosa dan aku tidak sanggup untuk tidak berbuat dosa. Karena itu nasehatilah diriku agar menjadi orang yang sadar.” Imam Husein berkata,”kerjakanlah lima perkara, yang dengannya kamu boleh bermaksiat sesukamu.
1. Janganlah memakan dari rezeki Allah, lalu bermaksiatlah sesuka hatimu
2. Keluarlah dari kepemimpinan Allah, lalu bermaksiatlah semaumu
3. Carilah tempat yang Allah tidak melihat perbuatanmu, lalu bermaksiatlah semaumu
4. Apabila datang Malaikat Maut untuk mencabut rohmu maka tolak dan usirlah dia dari dekatmu, lalu bermaksiatlah semaumu
5. Jika Malaikat Malik datang untuk memasukkanmu ke neraka maka jangan mau masuk neraka lalu bermaksiatlah semaumu.
Keilmuan Imam ‘Ali ibn Husein As-Sajjad as
Imam ‘Ali as-Sajjad atau lebih dikenal dengan nama Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin adalah anak dari Imam Husein ibn ‘Ali dengan istrinya yang berdarah Persia yang bernama Syahar Banu atau Syahzanan. Imam ‘Ali ibn Husein adalah golongan dari sahabat kecil/Al-Shahabah al-Sughra yang dikenal akan kehusyu’annya dalam beribadah. Sehingga ia diberi gelar As-Sajjad/orang yang ahli bersujud. Keutamaan ilmunya sudah tidak diragukan lagi, oleh beberapa tabi’in Imam ‘Ali ibn Husein dijadikan sebagai sumber rujukan dalam hal hukum. Berikut adalah kata-kata mutiaranya:
“Orang mu’min amalnya akan disertai kesabaran, duduknya ingin menimba ilmu, diamnya demi keselamatan, akan merahasiakan apa yang diamanatkan kepadanya sekalipun kepada teman dekatnya. Tidak akan menyembunyikan kesaksian bagi orang yang jauh, tidak berbuat kebenaran karena riya’ dan tidak meninggalkannya karena malu, jika dipuji ia takut dari pujian dan segera memohon ampun kehadirat Allah terhadap apa-apa yang tidak mereka ketahui (tentang kepribadiannya). Juga tidak melayani perbuatan bodoh yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh.”
“Hak ibumu hendaknya kau ketahui, dia mengandung dan memberimu sari makanan ketika tak seorangpun melakukannya. Menjagamu dengan pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya serta seluruh anggota badannya dengan perasaan kasih sayang. Dia menanggung sakit, derita dan kesusahan saat mengandungmu. Sehingga lahirlah kamu kedunia ini. Rela kamu kenyang ketika dia lapar, memberimu pakaian walau dirinya tidak berpakaian, menegukkan minuman untukmu sementara dia kehausan, menaungimu walau dirinya tidak ternaungi apapun, memberikan kenikmatan bagimu dengan penderitaan baginya, menidurkanmu dalam pangkuannya sementara semalam penuh matanya tidak terpejamkan. Perutnya jadi wadah untukmu, pangkuannya menjadikan tempat berlindungmu, air susnya jadi minuman untukmu dan dirinya jadi pelindungmu. Tegar di tengah panas atau dinginnya dunia demi dirimu. Maka bersyukurlah kepadanya sesuai dengan kebaikannya kepadamu. Namun kau takkan mampu mensyukurinya kecuali dengan pertolongan dan karunia Allah SWT.”
Keilmuan Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Baqir as
Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Baqir adalah imam ke-5 dari jajaran para pemuka Imam madzhab ja’fariyah yang mana nasabnya sekaligus bertemu antara Imam Hasan ibn ‘Ali dan Imam Husein ibn ‘Ali, sehingga itu menisbatkan dirinya adalah orang pertama yang bernasab kepada neneknya Fathimah az-Zahra. Sehingga ia mendapat gelar al-Hasyimiyun bainal Hasyimiyain yang berarti seorang Bani Hasyim diantara (bernasab) dari dua Bani Hasyim. Berikut adalah untaian perkataannya yang kaya akan ilmu, yang hendaknya kita jadikan sebagai hujjah:
Dari Sulaiman ibn Khalid dari Abi Ja’far as. Ia berkata:
“Maukah kamu akau beritahu tentang pokok-pokok Islam, cabang dan puncaknya?” Aku berkata,”tentu!” Lalu Imam menjawab,”Pokoknya adalah shalat, cabangnya adalah zakat dan puncaknya adalah jihad. Lalu beliau melanjutkan,”Apakah kamu ingin kuberitahukan juga tentang pintu-pintu kebaikan? Aku menjawab,”Ya beritahukanlah!” Imam berkata,”Puasa merupakan perisai dari api neraka, sedekah menghapus dosa dan shalatnya seorang di malam hari untuk berdzikir.
“Seorang mu’min adalah: bila rela, maka relanya tidak mengantarkannya kepada dosa dan kebathilan. Bila marah maka kemarahannya tidak sampai mengeluarkannya dari berucap kebenaran. Apabila berkuasa tidak sampai melampaui batas yang bias menyebabkan tidak berjalan di jalan kebenaran.”
“Tiga hal yang pelakunya tidak akan mati sebelum merasakan akibatnya, yaitu: sikap melampaui batas, memutus tali silaturahmi dan sumpah palsu menentang Allah. Sesungguhnya ketaatan yang paling cepat pahalanya adalah menyambung tali persaudaraan. Suatu kaum yang berbuat kejahatan tapi mereka menyambung tali silaturahmi maka akan dilipat gandakan hartanya. Sesungguhnya sumpah palsu dan memututs tali silaturahmi akan menjadikan keluarga hancur.”
Keilmuan Imam Ja’far ibn Muhammad As-Shadiq as
Nama Imam Ja’far sudah tentu dikenal oleh banyak dari kalangan ulama, baik Sunni maupun Syi’ah. Bisa dikata beliau adalah bapak dari para ulama madzhab, ilmu yang diperoleh oleh 4 Imam Madzhab Ahlussunnah berasal dari beliau, terutama Nu’man ibn Tsabit/Imam Abu Hanifah dan malik ibn Anas/Imam Malik, karena mereka berdua mendapatkan didikan langsung dari Imam Ja’far. Imam Abu Hanifah pernah memujinya dikarenakan tingkat keilmuannya yang begitu tinggi.”Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih ahli dalam urusan agama selain Ja’far ibn Muhammad.” Demikian pula Imam Malik pernah berkata,”Sungguh mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar dan tidak pernah terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdhal dari Ja’far ibn Muhammad, dari segi ilmu, ibadah dan wara.” Berikut adalah kata-kata bijaknya:
“Macam-Macam hakim ada empat, ketiganya ada di neraka sedangkan yang satu ada di surga. Yang mengadili dengan dhalim (tidak adil), ia masuk neraka. Yang mengadili dengan dhalim tanpa pengetahuan ia juga berada di neraka. Yang benar dalam mengadili, namun tidak tahu akan kebenarannya juga di neraka. Sedang yang masuk surge yaitu yang mengadili dengan kebenaran dan ia tahu tentang kebenaran itu.”
“kebiasaan orang yang bodoh adalah menjawab sebelum mendengar, berdebat sebelum memahami permasalahan dan menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya.”
“Jangalah sombong di kala kaya dan janganlah cemas saat fakir serta jangan keras hati sehingga manusia enggan mendekatimu. Juga jangan menjadi orang yang lemah agar tidak diremehkan oleh orang yang mengenalmu dan jangan suka melihat siapa yang di atasmu atau mencela orang yang berada di bawahmu. Jangan merebut sesuatu dsri pemiliknya dan jangan mengikuti orang yang dungu. Serta jangan mau hidup dalam kehinaan di hadapan siapapun. Jangan bersandar kepada bantuan seseorang dan renungkanlah setiap segala sesuatu hinga kau mengetahui dengan baik, sebelum dirimu terperosok dan menyesal. Jadikanlah hatimu teman dekat yang bersekutu denganmu. Dan jadikanlah amalanmu laksana ayahmu yang selalu kau ikuti. Jadikanlah nafsumu sebagai musuh yang harus kau perangi dan barang pinjaman yang harus kau kembalikan. Karena itu jadilah dokter untuk dirimu sendiri dan ketahuilah tanda-tanda kesehatan yang diterangkan padamu serta macam-macam penyakit dan obatnya. Maka lihatlah apa yang kau perbuat untuk dirimu.”
Keilmuan Imam Musa ibn Ja’far Al-Kadzim as
Sekali lagi, adanya seorang Bani Hasyim yang berdarah bangsa lain selain Imam ‘Ali ibn Husein, yaitu Imam Musa ibn Ja’far yang ibunya bernama Hamidah yang berdarah Andalusia/Spanyol. Keutamaannya sudah tidak diragukan lagi, dalam suatu riwayat di usianya yang menginjak usia 5 tahun beliau sudah mampu menjawab pertanyaan Imam Abu Hanifah yang akan dicantumkan di bawah ini:
Pada waktu Imam Abu Hanifah datang ke kediaman Imam Ja’far untuk bertanya akan suatu hal. Kana tetapi Imam Abu Hanifah mendapati beliau sedang beristirahat, maka ia segera menanyakan kepada anaknya yaitu Imam Musa yang pada saat itu masih berusia 5 tahun.
Imam Abu Hanifah berkata,”Bagaimana pendapat anda tentang perbuatan-perbuatan seorang manusia? Apakah dia melakukan sendiri atau Allah yang menjadikan dia berbuat seperti itu?” Lalu Imam menjawab,”Wahai Abu Hanifah, perbuatan-perbuatan seorang manusia dilahirkan atas tiga kemungkinan. Pertama, Allah sendiri yang melakukan sementara manusia benar-benar tak berdaya. Kedua, Allah dan manusia sam-sama berperan tas perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri yang melakukannya. Maka, jika asumsi pertama yang dianggap benar maka dengan jelas membuktikan bahwa Allah telah bersikap tidak adil terhadap hambanya. Karena bagaimana mungkin seorang manusia tersebut menanggung segala dosa yang tidak ia lakukan? Dan jika asumsi kedua yang dianut, maka itu juga sama saja telah membuktikan ketidak-adilan Allah karena Ia telah menghukum manusia sedang di sisi lain ia menjadi sekutunya. Asumsi yang ketiga, yakni bahwa manusia sepenuhnya yang menanggung perbuatannya sendiri.”
“Aku mendapati ilmu manusia dalam empat perkara, pertama hendaknya dia mengenal Tuhannya. Yang kedua hendaknya memahami apa yang sudah Allah berikan dan limpahkan kepadanya. Yang ketiga mengetahui apa yang dituntut Tuhanmu atas dirimu dan yang keempat hendaknya kau mengetahui dan mengerti tentang apa yang membuatmu keluar dari agamamu.”
“Wahai Hisyam (salah seorang nama khalifah dari Bani ‘Umayyah), sesungguhnya Luqman pernah berkata kepada anaknya, merendahlah di hadapan kebenaran, agar engkau menjadi manusia yang paling berakal. Wahai anakku! Sesungguhnya dunia itu laksana laut yang dalam dan sudah banyak yang tenggelam di dalamnya. Maka jadikanlah takwa kepada Allah sebagai perahumu. Iman sebagai isinya serta tawakkal sebagai bahan bakarnya. Kendalilnya adalah akal sedang petunjuknya adalah ilmu dan pengemudinya adalah kesabaran.”
Keilmuan Imam ‘Ali ibn Musa Ar-Ridho as
Imam ‘Ali ibn Musa adalah imam yang kedelapan. Imam ‘Ali ibn Musa mendapatkan bimbingan dari ayahandanya selama 30 tahun. Sehingga ia mendapatkan wawasan pengetahuan yang luas. Pasca ayahnya wafat diracun oleh khalifah Al-Ma’mun, ia menjadi mursyid menggantikan ayahnya dan bertanggung jawab atas umat dan menanggung beban imamah yang diembannya. Berikut adalah perkataannya yang niscaya akan memberikan pengetahuan kepada kita:
“Belum sempurna akal seorang muslim hingga ia memiliki sepuluh karakter di dalamnya (yaitu): Kebaikan bisa diharapkan darinya.tidak berbuat kejahatan. Dia menganggap besar perbuatan baik seseorang (sekalipun sedikit). Menganggap kecil perbuatannya sekalipun nyatanya banyak. Tidak bosan dimintai bantuan. Tidak henti-hentinyamencari ilmu selama ia hidup. Dia memilih kemiskinan ketimbang kekayaan demi ridho Allah. Hina dalam menuju ridho Allah lebih disukainya ketimbang kemuliaan di jalan musuh Allah. Dia lebih suka tidak dikenal ketimbang mencari popularitas, dan yang kesepuluh tahukah kamu apa karakter yang kesepuluh?” Lalu beliau ditanya,”Apakah yang kesepuluh itu?” beliau menjawab,”Yaitu ia tidak berjumpa dengan orang lain kecuali ia menganggap bahwa orang lain itu lebih baik dan lebih takwa dari dirinya.”
“Rasa bangga diri (ujub) bertingkat-tingkat, yaitu: ketika seorang hamba menyangka bagus perbuatan jeleknya lalu dia mengaguminya dan menyangka telah berbuat baik. Selain itu, yaitu ketika seorang hamba beriman kepada Tuhannya lalu menganggap telah menanam jasa kepada Allah. Padahal Allah-lah yang telah berjasa atasnya.”
“Tujuha perkara yang jika tidak disertai dengan tujuh perkara lainnya maka merupakan kehinaan, (yaitu): yang beristighfar dengan lisan namunhatinya tidak menyesal maka dia telah menghina dirinya. Yang meminta kesuksesan dari Allah namun tidak berusaha untuk mendapatkannya maka dia telah menghina dirinya. Yang memohon penjagaan namun tidak berhati-hati, maka dia telah menghina dirinya. Yang memohon surge namun tidak bersabar atas musibah yang menimpanya, maka dia telah menghina dirinya. Yang berlindung dengan Allah dari api neraka namun enggan melawan hawa nafsunya, maka dia telah menghina dirinya. Yang selalu menyebut nama Allah namun tidak bergegas menuju panggilan-Nya maka dia telah menghina dirinya.
Keilmuan Imam Muhammad ibn ‘Ali Al-Jawad as
Imam yang akan kita bicarakan kali ini adalah Imam Muhammad ibn ‘Ali. Meskipun hanya 4 tahun ia dididik oleh ayahnya, meskipun begitu, keilmuannya telah mengungguli ulama lain dan memiliki pengaruh yang sangat besar di tengah masyarakat. Memang sudah selayaknya kita tidak meragukan lagi keilmuan Ahlulbait nabi. Ia hidup pada masa peralihan pimpinan khalifah Al-Ma’mun kepada khalifah Al-Mu’tasim. Ia wafat di usia yang masih sangat muda, yaitu menginjak umur 25 tahun. Ia wafat diracun oleh istrinya sendiri yang bernama Ummu Fadhl, anak dari khalifah Al-Ma’mun. meskipun begitu, banyak perkataan beliau yang patut dijadikan teladan sepanjang masa, seperti yang tertulis di bawah ini:
“Mengakhirkan taubat termasuk tipu daya setan. Menunda-nunda (pekerjaan baik) adalah kebingungan. Menjadikan (takdir) Allah sebagai alasan (atas pelanggaran-pelanggaran yang dibuatnya) adalah kebinasaan.”
“Menjaga harga diri (dari meminta-minta) merupakan hiasan kefakiran. Bersyukur adalah hiasan kekayaan. Kesabaran adalah penghibur kala ditimpa musibah. Tawaddhu’ adalah hiasan kebangsawanan. Kefasihan adalah hiasan pembicaraan. Hafalan adalah hiasan periwayatan. Tidak sombong adalah hiasan ilmu. Kebaikan tingkah laku adalah hiasan akal. Wajah yang berseri-seri adalah hiasan kedermawanan. Tidak mengungkit sesuatu kebaikan adalah hiasan perbuatan baik. Khusyu’ adalah hiasan shalat. Menginfakkan sesuatu tanpa merasa berat merupakan hiasan qonaah, dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna merupakan sihiasan sikap wara’.”
“Pelaku kebaikan lebih membutuhkan kebaikan itu daripada penerimanya, karena mereka akan mendapatkan pahala, kebanggan dan rasa senang. Tiadalah seseorang melakukan kebaikan melainkan ia memulai dari dirinya.”
Keilmuan Imam ‘Ali ibn Muhammad Al-Hadi Al-Naqi as
Imam ‘Ali ibn Muhammad adalah imam yang tempat kelahirannya berada di kota datuknya membangun sebuah negara Islam yang sampai sekarang berjalan, yaitu Madinah al-Munawwarah. Seperti biasa, penguasa selalu menjadi penyeruak bagi para imam, maka kini tibalah Khalifah Al-Mutawakkil menjadi hadangan bagi imam ‘Ali ibn Muhammad. Walau hanya sebentar, akan tetapi Al-Mutawakkil telah menorehkan berbagai macam kepedihan kepada imam dan keturunan Bani Hasyim lainnya. Kekejaman ini dihadapi oleh imam dan keluarganya dengan rasa sabar. Hingga kekuasaan berganti ke tangan Al-Mu’taz dan seperti yang telah ditakdirkan Allah seperti para kakeknya yang terdahulu, bahwa tiada lain kematian para imam selain dibunuh atau diracun. Imam ‘Ali ibn Muhammad wafat diracun oleh Al-Mu’taz yang padanya racun tersebut diletakkan di makanannya. Akan tetapi kesyahidan tersebut bukanlah hal yang sia-sia, karena ilmunya yang bak lampu terang benderang itu senantiasa telah disebarkannya semasa ia hidup.
Berikut adalah sebuah syair Imam ‘Ali ibn Muhammad kepada khalifah Al-Mutawakkil:
“Mereka mendirikan rumah di puncak-puncak gunung yang dijaga ketat oleh para serdadunya yang kuat. Namun itu semua sudah tiada berguna lagi. Lalu mereka digiring ke kuburan, dan di sanalah sejelek-jelek tempat baginya. Tiba-tiba seseorang datang dan memanggil-manggil setelah penguburannya. Mana emas-emas serta mahkota-mahkota dan baju-baju indah? Mana wajah yang mendapatkan nikmat sangat banyak?yang dengannya bias mendapatkan sesuatu tanpa kesulitan dan kerepotan. Dengan jelas kuburan itu mengungkap perkabaran keadaan mereka. Itulah wajah-wajah yang kini sedang digerogoti oleh ular-ular yang saling berebutan. Telah lama mereka hidup dan menikmati masa hidupnya. Kini setelah mereka merasakan nikmat itu, mereka jadi santapan ular-ular. Lama mereka bina rumah-rumah megah untuk dihuni, namun rumah-rumah itu telah diwariskan kepada keluarganya, setelah kepindahan dirinya. Telah lama mereka menimbun harta dan hanya menyimpannya. Kini harta itu telah ditinggalkan dan jadi rebutan musuh-musuhnya.”
“Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya. Mana mungkin disifati dzat yang indra tidak dapat melihat-Nya dan angan-angan tidak dapat menggapai-Nya? Sedang lintasan pikiran juga tidak dapat membatasi-Nya. Juga penglihatan tidak akan mampu mencakup-Nya.”
Keilmuan Imam Hasan ibn ‘Ali Al-Askari as
Imam ke-sebelas yang akan kita bicarakan adalah Imam Hasan ibn ‘Ali. Lewat didikan ilmu dari ayahnya yang berujung kepada datuknya Rasulullah saww itu telah membuatnya menjadi orang yang terkemuka di zamannya. Sehingga pengikutnya merasa sedih kehilangan imam kala ia wafat diracun, dikarenakan Al-Qur’ân al-Natiq/Qur’ân yang berjalan telah menghilang di sisi mereka. Berikut adalah beberapa bukti yang akan dituliskan penulis tentang ketinggian ilmu dari Imam Hasan ibn ‘Ali Al-Askari:
“Kecintaan dari dua orang yang berkarakter baik akan berpahala bagi keduanya. Maka kecintaan orang-orang fujjâr (jahat) terhadap yang baik hanyalah keutamaan bagi orang-orang abrâr (baik). Dan kebencian orang-orang fujjâr terhadap orang-orang abrâr merupakan hiasan bagi orang-orang abrâr. Sedang kebencian orang abrâr bagi orang fujjâr merupakan kehinaan bagi mereka.”
“akan datang kepada manusia suatu zaman yang mana wajah mereka dalam keadaan berseri-seri, sementara hati mereka gelap dan ternodai. Yang sunnah sudah dianggap bid’ah, sedangkan yang bid’ah dianggap sunnah. Seorang mu’min yang hidup diantara mereka terhina dan seorang fasik menjadi mulia. Para pemimpin mereka adalah orang-orang bodoh yang berlaku aniaya, sedang ulama’nya dudk di pintu para penguasa dhalim.”
Keilmuan Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi as
Beliau adalah imam terakhir yang diyakini baik oleh Syi’ah maupun Sunni. Ia akan muncul di dekat hari akhir nanti pada saat kebathilan merajalela dan menjadi penumpas segala tindak kebathilan tersebut. Berkat adanya Imam Muhammad ibn Hasan atau panggilnya Imam Mahdi itu, maka bentuk dari kebathilan akan tertolak dan ditolak. Kaum Syi’ah meyakini imam ini ghaib dalam dua pekan, yang pertama ghaib sughra yang terjadi pada tahun 225 H dan berakhir pada tahun 295 H, kurang lebih berlangsung selama 70 tahun. Lalu kembali menjalani ghaib kubra pada tahun 329 H hingga sekarang yang kita semua tidak dapat memprediksi kemunculannya. Semoga kita semua kala ia muncul dapat menjadi pengikut setianya, amin. Berikut adalah beberapa untaian mutiara ilmu yang disampaikannya:
“Aku adalah Mahdi. Aku adalah pemilik zaman ini, dan akulah yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilansebagaimana sebelumnya dipenuhi kedhaliman. Sesungguhnya bumi ini tidak akan pernah kosong dari hujjah kebesaran Allah.”
“Ya Allah! Sampaikanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarganya. Muliakanlah para wali-Mu karena engkaulah dzat yang selalu menepati janji. Serta berilah mereka pertolongan yang diharapkan dari-Mu. Cegahlah dari mereka keinginan jahat dan orang yang membangkang dan berlaku sombong serta menentang-Mu. Mereka menggunakan pemberianmu untuk bermaksiat dan berpaling dari-Mu atas segala pemberian yang engkau berikan. Dengan bantuan-Mu ia berbuat sesuatu untuk menipu-Mu. Engkau lapangkan rasa santun kepadanya, kemudian Kau adzab di suatu saat nanti. Dan Engkau akan mencabut segala pemberian-Mu di saat lalainya. Karena sesungguhnya Engkau telah berfirman dan Maha benar firman-Mu: “Hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya[684], tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir.” Dan firman Allah: “55. Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya.”
“Cara kalian memperoleh manfaat dariku di masa ghaibku adalah seperti pengambilan manfaat dari matahari yang tertutup dari mata kalian oleh awan.”
Itu merupakan contoh dari sekelumit keilmuan dan pengetahuan para imam. Jika kami tuliskan beberapa demi beberapa contoh lain lagi, maka dipastikan halaman tulisan ini akan penuh dengan semua itu, sedang penjelasan yang lebih perlu diutarakan tidak akan mendapat tempat.
Mungkin ada pertanyaan dari para pembaca dengan adanya kesan bimbang terhadap ghaib yang dialami Imam Mahdi. Perlu kita garis bawahi bahwa yang dimaksud dengan pemaknaan ghaib ini selayaknya tidak dikultuskan kepada esensi ghaib layaknya seperti makhluk-makhluk Allah yang ghaib (malaikat dan jin). Sehingga mengesankan bahwa Imam Mahdi terdapat di alam lain. Yang dimaksud ghaib di sini adalah ketidak tampakan. Artinya Imam Mahdi tetap berada di alam manusia dan ia menyaksikan segala tindakan kita, hanya saja kita tidak mengenali sosoknya. Hal ini dikarenakan bentuk pelestarian Allah atas umat manusia yang tidak akan membiarkan mereka hidup tanpa memiliki hujjah.
انما انت منذر ولكل قوم هاد
“Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.”
Para Imam Adalah Bentuk dari Salah Satu Hujjah Allah
Manusia adalah salah satu makhluk yang paling dimuliakan oleh Allâh Swt. Begitu banyak kemuliaan yang diberikan Allâh kepada mereka. Salah satunya adalah hati (qolb) yang dianugerahkan Allâh untuk mereka. Dengan hatinyalah mereka dapat mencapai kesempurnaan dan melampaui kedudukan malaikat yang terkenal akan keta’atannya kepada Allâh, yaitu dengan mengarahkan hatinya hanya untuk ber-tafakkur tentang kekuasaan Allâh, ber-ta‘abbud hanya kepada-Nya yang Esa dan ber-tasyakkur atas semua nikmat yang diberikan oleh-Nya. Akan tetapi hati yang mana didalamnya terdapat rayuan nafsu, dapat juga menjadikan manusia menjadi makhluk yang hina bahkan lebih rendah daripada hewan ternak sekalipun, juga bahkan lebih hina daripada Syaithan yang telah dikutuk oleh Allâh dahulu kala. Tergantung akan kemana mereka akan mengendalikan hatinya, apakah lebih condong kepada yang baik ataukah sebaliknya.
Akan tetapi, Allâh selaku Tuhan yang bersifat adil lagi bijaksana tidak akan membiarkan manusia begitu saja melanglang buana di dalam dunia yang fana ini yang sangat rentan sekali menyesatkan manusia. Salah satu bukti kecintaan Allâh terhadap manusia adalah memberikan kepadanya dua hujjah, yang mana hujjah tersebut dapat membimbing manusia kepada jalan yang benar, mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia akhirat serta merengkuh kenikmatan yang lebih nikmat dari semua nikmat, yaitu keridhâan-Nya.
Dua hujjah tersebut adalah hujjah bathinah dan hujjah zhahirah. Hujjah bathinah adalah modal awal kita untuk memaknai suatu hal. Dengan menggunakan hujjah bathinah, maka manusia bisa menyimpulkan segala sesuatu, mana yang baik dan mana yang buruk. Yang dimaksud dengan hujjah bathinah manusia adalah fithrah. Yang Allâh sengaja sudah menyetting atasnya untuk menerima semua kebaikan yang berujung kepada keuntungan manusia sendiri, dan menolak semua kebathilan yang berujung kepada kesengsaraan yang tragis.
Sedangkan yang kedua adalah hujjah zhahirah. Hujjah zhahirah merupakan bekal banyak yang diberikan oleh Allâh yang Nampak atau nyata pada kita semua. Contoh sekaligus bukti dari adanya hujjah zhahirah yang pertama, yaitu diturunkannya para nabi yang akan memberikan jalan kebenaran dan menjadi pedoman bagi kehidupan manusia. Para nabi tersebut dibekali mu’jizat oleh Allâh yang digunakan untuk meyakinkan umatnya akan bukti/tanda kenabiannya. Akan tetapi bukan itulah inti dari makna kenabian. Inti dari makna tersebut adalah membawa kebenaran yang diperintahkan oleh Allâh. Tegasnya adalah seseorang yang diutus oleh Tuhan yang ditugaskan untuk mengemban risalah ke-Tuhanan yang terkandung kebenaran, dan risalah kebenaran tersebut diperuntukkan bagi umat manusia. Kebenaran yang dibawa oleh Nabi-nabi tersebut adalah kalam-kalam ilahi yang maha benar. Seperti Al-Qur’an yang telah diwariskan oleh Rasulullah Saww untuk kita selaku umatnya.
Bukti hujjah zhahirah kedua adalah Al-Qur’ân. Al-Qur’ân bukanlah kitab yang hanya terdapat banyak sumber-sumber pengetahuan, bukan kitab syariat yang mana terdapat hukum-hukum dan bukan juga kitab dongeng yang terdapat kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu di dalamnya. Al-Quran adalah kitab petunjuk bagi umat manusia yang mengungkap kebenaran hakiki dari Allâh yang mana terdapat pengetahuan, syariat, dan kisah-kisah di dalamnya. Semuanya itu ditunjukkan oleh Allâh untuk menjadi pedoman manusia agar tidak terjerumus ke dalam lembah kenistaan dan kesesatan yang hanya akan membawa kerugian pada hari perhitungan amal di akhir nanti.
Setelah meyakini Al-Quran dan para nabi, maka kita juga harus meyakini hujjah zhahirah lainnya yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah Saww, yaitu para Itrah (Ahlulbayt) nabi as. Dalam hadîts safinah-nya, Rasulullah Saww menerangkan kepada kita bahwa sesungguhnya Ahlulbayt laksana bahtera nabi Nuh, maka barang siapa yang menaikinya maka ia akan selamat dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia akan tenggelam selama-lamanya.
Selain itu, dalam hadîts tsaqalain yang telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Ahlulbait telah digandengkan dengan Al-Qur’ân. Artinya, tidak mungkin apa-apa yang dilakukan oleh Ahlulbayt bertentangan dengan apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’ân. Karena kema‘shuman (kesucian) yang dimiliki melalui izin-Nya lah yang senantiasa selalu menjaga mereka dari segala dosa. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur,ân surah al-Ahzab pada pembahasan di atas.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bentuk dari dua hujjah yang diberikan Allah kepada manusia adalah bentuk kecintaan-Nya terhadap kita semua. Maka bekal oleh-Nya untuk kita dalam bentuk memberikan para Imam setiap zaman adalah bentuk dari rahman rakhîm-Nya.
Wallâh a’lam bi al-shawâb…..
REFERENSI
O Hashem. Saqifah, Awal Perselisihan Umat . Al-Muntazhar. Jakarta. 1994
Prof. Dr. Muhsin Qiraati. Ushuluddin. Cahaya . Jakarta. 2007
Husein Al-Habsyi. Sunnah-Syi’ah Dalam Ukhuwah Islamiyah. Yayasan Al-Kautsar. Malang. 1991
Allamah Kamal Faqih Imani. Tafsir Nûrul Qur'ân Jilid 4. Al-Huda. Jakarta. 2004
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. lentera Hati. Tangerang. 2005
HMH Al-Hamid Al-Husaini, Baitun Nubuwwah. Yayasan Al-Hamidiy. Jakarta. 1993
Ali Umar Al-Habsyi, Tafsir Nûr Tsaqalain. Yayasan Al-Baqir. Bangil. 1994
Muhammad Ridha Al-Hakîmi, Mereka Bertanya Ali Menjawab. Yayasan Al-Jawad. Bandung. 1419 H
Nahjul Balaghah. Khotbah 154
Fatih Guven, 560 Hadis Dari 14 Manusia Suci. Yayasan Al-Baqir. Bangil. 1995










print this page Print this page

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers