Imam Khomeinî dan Wilâyah Al-Faqîh

Kamis, 09 Juli 2009



Pendahuluan

Selama ini, banyak berbagai macam tokoh memberikan gagasan tentang teori kepemimpinannya. Ada yang memberikan gagasan tentang demokrasi yang dipandang sebagai contoh bentuk sistem kepemimpinan yang ideal dengan kedaulatan rakyatnya, karena kesemuanya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ada juga yang memberikan tentang monarki, baik itu yang bersifat absolut atau konstitusi yang dirasa memiliki keunggulan tersendiri. Ada juga teo-demokrasi yang dianut oleh system pemerintahan wilâyah al-faqîh yang mengubah tatanan hidup masyarakat Iran yang awalnya kebarat-baratan menjadi islami, yang digerakkan oleh Imam Khomeini. Bagaimana konsep pemerintahan Islam menurut beliau? Begitu juga tentang bahasan Wilâyah Al-Faqîh, seperti apakah konsep wilâyah al-faqîh? Apa yang melatar belakanginya? Bagaimana pula perbedaan yang melatar belakangi antara Imam Khomeinî dan ‘Alî Syariatî? Makalah ini akan memberikan sedikit gambarannya.

Sekilas Tentang Biografi Imam Khomeini

Namanya adalah Ayatullah Sayyid Rûhullah Al-Mûsawî, beliau lahir di Khomein yang merupakan sebuah kampung kecil di Iran Tengah pada tanggal 24 oktober 1902. Keluarganya adalah keluarga Sayyid Mûsawî, yakni keturunan Nabi yang berasal dari jalur Imam Mûsa Al-Kadzim yang berasal dari Naisabûr, sebuah kota di wilayah timur laut Iran. Ayahnya bernama Sayyid Musthafâ.


Ketika Imam masih berusia sembulan bulan, ayahnya dibunuh karena menentang Dinasti Qajar.

Semasa kecil, Imam Khomeinî mulai belajar bahasa arab, syair Persia dan kaligrafi. Menjelang dewasa pada usia 15 tahun, beliau mulai belajar agama dengan lebih serius. Di usia 17 tahun, Imam pergi ke Arak, sebuah kota dekat Isfahan guna belajar dari Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, yang merupakan seorang ulama terkenal yang meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini, kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menentang pemerintahan Inggris.

Setelah runtuhnya dinasti Usmanî, Syekh Haeri enggan tinggal di kota-kota yang ada di bawah mandate Inggris. Ia kemudian pindah ke Qom dan diikuti lima bulan setelahnya oleh Imam Khomeini. Di tempat yang baru ini, Imam belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya Syekh Muhammad Reza Masjed Syahi. Selama belajar di Qom, Imam Khomeini menyelesaikan studi fiqh dan ushul fiqh dengan seorang guru dari Kasyan yang bernama Ayatullah Alio Yasrebi.

Di awal tahun 1930-an, beliau diangkat menjadi seorang mujtahid dan menerima ijazah untuk meyampaikan hadîts dari empat gurunya, yakni Syekh Muhsin Amin Ameli, Syekh Abbâs Al-Qummi, Abu Al-Qâsim Dehkordi Isfahâni dan Muhammad Reza Masjed Syahi. Imam Khomeinî wafat pada tanggal 3 Juni 1989. Dengan menyelesaikan tugas mulianya dengan merombak system pemerintah Syah Iran yang tiran menjadi system pemerintahan Islam yang sarat akan kebenaran, keadilan tanpa menumpahkan darah setetespun. Serta juga memberikan sesuatu keyakinan pada kaum muslim di seluruh dunia bahwa Islam-lah yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran.

Pemerintahan Di mata Beliau

Pasca wafat Rasulullah saww, tidak ada satu orang muslim pun yang menolak akan kebutuhan suatu pemerintahan yang mempunyai wewenang mengatur masyarakat. Tak ada satu dari sahabat pun yang mengatakan tidak butuhnya akan bentuk kepemimpinan. Semua di antara mereka sepakat atas suara bulat bahwa perlunya diadakan pembentukan kepemimpinan guna memerintah layaknya Rasul saww. keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan maka diperlukannya kekuasaan eksekutif yang dijalankan oleh seorang eksekutor/pengambil keputusan atas suatu masalah.

Sedangkan pemerintahan yang berlaku pada masa Rasul, beliau sendiri yang menjadi badan eksekutif dan administratif. Beliau yang menegakkan aturan-aturannya dan fungsi administrasinya dalam masyarakat. Beliau mengutus orang-orang pilihannya guna menjadi gubernur di daerah-daerah yang berbeda, membentuk badan kehakiman, mengirim wakil ke berbagai Negara asing dan memimpin pertempuran. Singkatnya, beliau menjalankan seluruh fungsi pemerintahan.

Lawan dari pemerintahan Islam adalah pemerintahan non-Islami yang menolak terhadap petunjuk Allah atau kufr, yang pemimpin pemerintahnya adalah thaghut yang mengklaim hak prerogatif Allah atas dirinya. Maka jika kita dihadapkan atas dua bentuk pemerintahan ini, kita harus memilih salah satunya dan membuang salah satunya. Tugas kita sebagai kaum muslim adalah membuang dan menghapus segala pengaruh system kufr yang sarat akan kerusakan dan kezaliman dari masyarakat dengan kembali menegakkan bentuk bawaan Islam yang ideal.

Bentuk Pemerintahan Islam

Tentunya dapat kita ketahui bahwa system pemerintahan Islam berbeda dengan pemerintahan sekarang yang bersifat cenderung menyejahterakan kaum borjuis dan mengabaikan kaum proletar, sehingga menimbulkan dampak sewenang-wenang atas kehidupan bermasyarakat.

System pemerintahan Islam dalam kepemimpinannya tidaklah bersifat demokrasi yang berdasarkan persetujuan yang disahkan atas suatu hukum melalui suara mayoritas. Sehingga suara terbanyak itu dapat mengendalikan hasil dan menguasai semuanya. Akan tetapi pemimpin yang dimaksud di dalam pemerintahan Islam adalah suatu subyek dari kondisi-kondisi atau hukum-hukum tertentu yang berlaku di dalam kegiatan memerintah dan mengatur Negara, yang dijalankan oleh pemimpin tersebut yaitu kondisi-kondisi atau hukum-hukum yang telah dinyatakan oleh Al-Qur’ân dan Al-Sunnah Nabi saww. Hukum-hukum tersebut harus diperhatikan dan dipraktekkan. Karenanya pemerintahan Islam dapat didefinisikan yakni pemerintahan yang berdasarkan hukum-hukum Ilahî atas manusia.

Wilâyah Al-Faqîh

Januari tahun 1979, ketika masih di pengasingan Neauphlele-Chateau, yaitu sebuah desa kecil 30 km dari Paris, Imam Khomeini ketika ditanya tentang bentuk negara Islam apa yang dicita-citakan, beliau menjawab,”Seperti 10 tahun pemerintahan Rasulullah saww dan 5 tahun pemerintahan Imam ‘Alî ibn Abî Thâlib. Maka pemahaman tentang pemerintahan kedua pemimpin bijak tersebut, dituangkan olehnya ke dalam suatu bentuk pemerintahan yang dinamakan Wilâyah Al-Faqîh.

Setelah diterimanya Konstitusi Iran melalui referendum tanggal 2 dan 3 Desember 1979, Iran melangkah ke arah normalisasi kehidupan politik. Konstitusi yang terdiri dari 175 artikel ini dibuat berdasarkan hukum Islam, yang ditafsirkan oleh sebuah Dewan Ahli yang telah disetujui oleh Imam Khomeinî. Ada lima lembaga penting di dalamnya: Faqîh, Presiden, Perdana Menteri, Parlemen dan Dewan Pelindung Konstitusi.

Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih (saat ini dijabat oleh Imam ‘Alî Khomene’î), yang dipilih oleh Dewan Ahli dengan kualifikasi tertentu. Seandainya tidak ada yang memenuhi syarat, maka wewenang faqih akan dipegang oleh sebuah dewan yang beranggotakan 3 sampai 5 orang fuqahâ’.

Berikut adalah wewenang faqih:

1. Mengangkat Ketua Pengadilan Tertinggi Iran

2. Mengangkat dan memberhentikan seluruh Pimpinan Angkatan Bersenjata Iran

3. Mengangkat dan memberhentikan Pimpinan Pengawal Revolusi (Pasdaran)

4. Mengangkat anggota Dewan Pelindung Konstitusi

5. Membentuk Dewan Pertahan Nasional, yang anggotanya terdiri dari Presiden, Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, KSAB, Kepala Pasdaran dan dua orang penasehat yang diangkat oleh faqih

Pemegang kekuasaan terbesar kdua adalah presiden, yang dipilih setiap empat tahun. Tugas-tugas pokoknya antara lain menjalankan konstitusi negara, menjadi kepala pemerintahan, serta mengkoordinasikan ketiga lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintah Iran dalam hubungan dengan dunia Internasional. Ia yang menandatangani seluruh perjanjian, dan berhak mengangkat Perdana Menteri setelah parlemen memberikan persetujuannya.

Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang, yang dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Parlemen bertugas mengawasi, mengontrol dan membahas seluruh kebijakan pemerintah. Seluruh keputusan dan perjanjian yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen.

Selain parlemen, ada sebuah badan yang disebut dengan Dewan Pelindung Konstitusi yang beranggotakan 12 orang. 6 anggota lainnya adalah para ahli hukum Islam/fuqahâ’, dan 6 anggota lainnya adalah ahli hukum umum yang diusulkan oleh Dewan Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui oleh parlemen. Tanpa persetujuan Dewan Pelindung Konstitusi, seluruh kegiatan parlemen tidak sah. Tugas utama dewan ini adalah melindungi Islam dan Konstitusi Negara Islam Iran. Dewan ini memiliki kekuasaan untuk menafsirkan konstitusi Iran dan bertugas melaksanakan referendum, pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen.

Antara Imam Khomeinî dan ‘Alî Syari’atî

Pada masa rezim Syah Reza Pahlevi, semua masyarakat Iran ditindas, diperlakukan semena-mena dan direndahkan. Sehingga muncullah tokoh-tokoh reformis yang menginginkan agar Negara Iran tidak dikepalai oleh pemerintahan yang diktatoris seperti Syah Iran dan membebaskan bangsa yang selama ini tertindas dan haknya terampas. Dengan kata lain pelepasan diri atas pemerintahan Syah Iran harus dilakukan. Seperti yang telah digembar-gemborkan oleh Imam Khomeinî dan ‘Ali Syari’atî. Akan tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan cara pandang.

Imam Khomeinî memiliki pola pandang bahwa hanya faqih-lah yang pantas menjadi pemimpin. Pendapat seperti ini tentunya didapat dari berbagai macam telaah dari berbagai nash. Berkata Amîr Al-Mu’minîn ‘Alî ibn Abî Thâlib,”Rasul bersabda” : “Semoga Allah merahmati para Khalifahku (diriwayatkan beliau mengatakannya hingga tiga kali).” Kemudian seorang bertanya,”Siapakah khalifah anda?”, “mereka adalah yang datang setelahku, yang meriwayatkan hadîts-ku dan sunnah-ku dan yang mengajarkannya kepada manusia setelahku.”

Menjadi khalifah berarti meneruskan seluruh fungsi kenabian. “Ungkapan mereka adalah yang datang setelahku….”, bukanlah sesuatu yang belum pernah diketahui, karena konsep khilafah telah diketahui sejak awal munculnya Islam. Hal ini terbukti bahwa yang dipertanyakan adalah siapa yang beliau saww maksudkan. Maka Rasul saww menjelaskan kriterianya.

Riwayat lain yang berasal dari Jamî’Al-Akhbâr, meyebutkan bahwa Rasûl saww bersabda,”Aku akan berbagga pada ulama umatku di hari kiamat dan ulama umatku sebagaimana para nabi sebelumku.” Dan juga dalam kitab Mustadrâk Al-Wasâil yang menerangkan bahwa ulama adalah Hukâm/hakim bagi manusia.

Berdasarkan Surah Al-Ma’idah ayat 63 juga diilustrasikan bagaimana pentingnya para ulama untuk membimbing masyarakat:

Mengapa ulama mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.

Intinya, dari berbagai nash di atas, Ayatullah Khomeinî memaknainya bahwa posisi seorang ulama bertempat pada posisi sentral dan sungguh mempengaruhi keadaan masyarakat sekitarnya. Seorang ulama mempunyai tanggung jawab yang besar atas kredibilitas masyarakatnya. Hal ini dirasa juga sejalan dengan prinsip “Kota Utama”-nya Al-Farabi yang menisbatkan bahwa kota utama adalah kota yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan,ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan, dan ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan, maka dapat kita pahami bahwa ulama-lah yang memiliki kriteria itu semua. Oleh karena itu Rasulullah saww dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa,”seorang ulama adalah pewaris Rasûl.” Yakni mewarisi tugas untuk memelihara umat.

Berbeda dengan Ayatullah Khomeinî, ‘Alî Syari’atî yang merupakan tokoh reformis yang sarat dengan ide-ide revolusionernya yang ingin melepaskan rakyat Iran dari belenggu Eropa, tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para ulama. Bagi Syariatî, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik, berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni dibandingkan seorang ahli hukum atau filosof Tentang Syiah, dalam pandangan Syariatî, pada mulanya merupakan keyakinan yang revolusioner, namun kemudian kaum kelas atas dan ulama telah melembagakannya dan mengubahnya menjadi dogma yang kaku dan sebagai suatu teks skriptual yang mati. Padahal bagi Syariatî, “setiap bulan adalah Muharram, setiap hari adalah Asyurâ’, dan setiap tempat adalah Karbalâ’. Revolusi universal dan kemenangan merupakan akhir dari gerakan pencari keadilan yang memberontak terhadap penindasan.

REFERENSI

Khomeini, Imam, Sistem Pemerintahan Islam, Penerj Muhammad Anis Maulachela, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.

Ridwan, M. Deden, Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, Jakarta: Lentera, 1999.


print this page Print this page

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers