Konstitusi di mata Aristoteles

Sabtu, 11 Juli 2009


Pendahuluan

Konstitusi, merupakan hal yang sangat penting bagi ruang lingkup suatu negara. Karena konstitusilah yang memberikan aturan-aturan dalam ruang lingkup negara tersebut. Tanpa adanya dari konstitusi maka segala sesuatu bentuk aturan-aturan yang ada dalam suatu negara tidak dapat terealisasi, sehingga akan berdampak buruk bagi suatu negara tersebut. Aristoteles telah menekankan bahwa “warga negara yang baik harus dapat mengetahui dan mempunyai kemampuan baik diatur oleh peraturan-peraturan konstitusi maupun mengatur jalannya sistem konstitusi. Hal inilah yang merupakan keluhuran budi dari warga negara serta mempunyai pengetahuan tentang aturan pada orang-orang merdeka dari kedua sudut pandang.”
Dalam makalah ini, penulis akan memberikan sejumlah keterangan-keterangan tentang konstitusi serta dampak yang terkait untuk negara yang melaksanakannya. Dan juga akan diangkat pula pendapat dari seorang tokoh filosof terkenal yaitu Aristoteles.
Bagaimana beliau menanggapi sebuah konstitusi bagi suatu negara pada konsep kewarganegaraan. Serta pembagian yang telah dibuat oleh Aristoteles tentang konstitusi yang berdasarkan pemikirannya. Dan juga akan dibahas pula bagaimana konstitusi yang selama ini berjalan di Indonesia.



Konsepsi Negara Hukum
Teorisasi tentang konsep negara hukum yang ada pada masa sekarang ini berasal dari para filosof besar Yunani kuno seperti Plato yang merupakan tokoh idealisme dan muridnya yaitu Arsitoteles yang merupakan tokoh realisme. Menurut Plato yang bersumber pada bukunya yang berjudul “Politikos”, beliau membagi konsep pemerintahan bagi suatu negara itu ada dua. Yaitu pemerintahan negara yang berdasarkan pada pemberlakuan hukum dan pemerintahan negara yang tidak berdasarkan pada pemberlakuan hukum. Yang dimaksud dari Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 SM) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Mengapa Aristoteles menjadikan sifat keadilan sebagai hal yang penting pada teori tersebut ? Beliau berargumen bahwa keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya. Sedangkan penulis berargumen bahwa keadilan merupakan sesuatu yang harus ditegakkan di dalam segala aspek. Layaknya sebuah kemudi pada kendaraan. Jika tidak ada keadilan pada suatu negara maka tak ayal lagi bahwa negara itu akan mengalami kekacauan, karena masalah demi masalah akan timbul dan siap-siap pula negara tersebut akan mengalami kehancuran. Jadi beliau menjadikan konsep keadilan sebagai landasan pemikiran kenegaraannya.
Makna keadilan sendiri yang dimaksud oleh seorang yang realis ini adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Yakni hukum di suatu negara itu harus berlaku kepada siapa saja, seorang yang bersalah tetap bersalah walaupun dia kaya atau pejabat negara. Oleh karena itu demi tercapainya kesejahteraan dalam suatu negara, beliau menggunakan konsep keadilan sebagai asas kenegaraannya.
Pandangan Aristoteles Tentang Konstitusi
Aristoteles mempunyai pandangan bahwa konstitusi merupakan penyelesaian yang terbaik pada satu kasus yang bersifat ideal dan juga merupakan penyesuaian terhadap hukum yang terbaik pada setiap kota pada dewasa ini. Aristoteles membagi konstitusi menjadi dua bagian, yaitu right constitution dan wrong constitution.
Konstitusi yang digunakan untuk kepentingan bersama maka disebut dengan right constitution atau konstitusi yang benar. Sedangkan wrong constitution adalah konstitusi yang digunakan hanya untuk kepentingan sepihak seperti yang terjadi di Indonesia.
Penulis berpendapat jelaslah bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi wrong constitution dikarenakan hanya pejabat dan rakyat kalangan atas saja yang diutamakan, sehingga tidak kesemuanya dari rakyat Indonesia telah mendapatkan perlindungan dari konstitusi dan juga tidak mendapat kebebasan dalam berpolitik karena telah keluar jalur dari prinsip konstitusi Aristoteles yang berbunyi "political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled”, maksudnya ketentuan politis berdasarkan dari sifat alami spesifiknya, diatur demi kepentingan yang sebenarnya. Secara garis besar, keadilan dalam konstitusi Indonesia sangatlah diperlukan, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles pada paragraf atas bahwa keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup bagi warga negaranya.
Pembagian Konstitusi
Berbicara tentang pembagian konstitusi, Aristoteles membaginya menjadi bentuk, yaitu Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, Politeia dan Tirani. Kesemuanya mempunyai pola pengaturannya tersendiri.
Yang pertama ialah demokrasi, yang dimaksud demokrasi adalah satu status konstitusi yang mana seorang manusia itu terlahir bebas. Dan bebas pula dalam memperjuangkan kedaulatannya yang hal tersebut murni adalah hak asasi manusia, seperti negara Indonesia.
Yang kedua adalah oligarki, yang dimaksud dengan oligarki adalah satu status konstitusi di mana ada banyak orang yang memimpin di dalamnya, seperti contoh selain presiden juga terdapat pula senat yang juga berhak memimpin negara. Selain itu hanya orang-orang yang kaya dan orang-orang yang berkuasa saja yang berhak menentukan dan memperjuangkan kedaulatan. Sedangkan orang-orang yang miskin tidaklah berhak untuk menentukan suatu kedaulatan.
Yang ketiga yaitu aristokrasi, yang dimaksud dengan sistem konstitusi aristokrasi adalah bentuk kepemimpinan yang diatur oleh seorang bangsawan saja. Atau dikatakan lebih berhak seorang bangsawan yang menjadi pemimpin daripada seorang rakyat jelata biasa.
Yang keempat adalah tirani, yang dimaksud dengan sistem konstitusi tirani adalah bentuk dari suatu kepemimpinan yang diatur oleh seorang raja yang bisa saja bertindak tidak adil karena suatu sebab. Untuk selengkapnya penulis akan menjelaskan penjelasan dari konstitusi tirani ini di bawah.
Yang kelima adalah politeia, jika kita melihat pada demokrasi, demokrasi tidaklah berbeda jauh dengan sistem konstitusi politeia. Hanya saja sistem politeia memiliki syarat yang selayaknya syarat tersebut dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu yang berkompetensi dalam mengatur negara. Bukan seperti demokrasi yang hanya bersandarkan pada suara terbanyak para pemilih saja.
Masing-masing dari kelima sistem tersebut akan sedikit dibahas dalam tulisan ini, karena mengingat pentingnya suatu penjelasan dari sistem-sistem diatas.
Sistem Demokrasi
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sistem demokrasi membebaskan kehendak manusia dalam berdaulat. Aristoteles menyatakan pendapatnya bahwa sistem demokrasi terbagi dalam lima penggolongan.
1. semua orang sama di mata hukum, tanpa adanya pembedaan kekayaan dan martabat antara si miskin dan si kaya.
2. Seseorang minimal harus mempunyai kualifikasi kebijakan untuk menggenggam perkantoran umum.
3. Hanya orang ningrat atau bangsawan saja yang mungkin dapat menggenggam perkantoran umum, akan tetapi pihak hukumlah yang tetap menentukan kedaulatan.
4. Semua orang tanpa adanya pembedaan dapat menggenggam perkantoran umum, akan tetapi pihak hukum juga yang selayaknya menentukan kedaulatan.
5. Semua orang dapat menggenggam perkantoran umum, dan masyarakat lebih berhak daripada pihak hukum dalam menentukan kedaulatan.
Seperti itulah Aristoteles menggolongkan macam-macam demokrasi. Penulis menanggapi bahwa golongan pertama merupakan sisi positif dari adanya sistem demokrasi. Akan tetapi karena kesamaan derajat dalam segala aspek yang ada di dalam demokrasi itulah yang menyebabkan hal tersebut menjadi titik balik yang melemahkan dari sistem ini.
Contoh saja jikalau ada jajak pendapat dalam suatu lingkungan yang mana terdapat tiga orang professor dan seorang sepuluh orang buruh, kelompok professor menyatakan pendapat A lebih baik dari pendapat B. maka secara otomatis pihak buruhlah yang akan memenangkan jajak pendapat tersebut. Padahal tingkat kompetensi professor jauh lebih unggul dari pada buruh. Jadi sudah selayaknya adanya pertimbangan dalam mengambil keputusan. Tidaklah harus sama dalam segala aspek.
Sistem Oligarki
Jika kita melihat pada sistem oligarki, maka kita akan menemukan ketimpangan yang sangat besar antara orang bangsawan atau yang kaya dengan kaum buruh atau yang miskin. Dalam pandangan Aristoteles, oligarki dibagi menjadi empat bagian.
1. Adanya pembatasan kelayakan untuk menggenggam perkantoran umum.
2. Adanya kelayakan yang tinggi untuk menggenggam perkantoran umum dan pejabat yang sedang menjabat dapat memilih pejabat yang baru.
3. Pejabat perkantoran umum diwariskan secara turun-temurun.
4. Sistem penjabatan perkantoran umum adalah secara dinasti atau turun-temurun dan pejabat lebih berhak menentukan kedaulatan daripada pihak hukum.
Pandangan penulis tentang sistem konstitusi oligarki adalah sistem ini sangatlah egois, yang mana pihak yang atas lebih diuntungkan sehingga pihak bawah tetap dirugikan dan tidak mendapatkan perbaikan. Oligarki secara tidak langsung telah menciptakan kesenjangan sosial bagi rakyatnya dan justru akan semakin membuat kacau jalannya aturan suatu negara.
Selain itu juga tidak adanya kualifikasi yang baik dalam memilih pejabat perkantoran umum karena menggunakan sistem dinasti. Dan pejabat tersebut memiliki mandat yang sangat tinggi yaitu berhak menentukan segala kedaulatan yang sebenarnya hal tersebut susah sekali diwujudkan oleh satu orang saja.
Sistem Aristokrasi
Sistem aristokrasi tidak jauh berbeda dengan sistem oligarki karena sistem ini memposisikan kaum bangsawan sebagai kelompok yang memperoleh keistimewaan dibanding kaum buruh dan rakyat jelata. Penulis mempunyai pendapat bahwa memang seorang bangsawan rata-rata dalam kehidupannya yang akan mendatang akan terarah kedalam keidealan seorang manusia, yaitu yang mempunyai intelijensi yang tinggi, berkehidupan yang cukup dan mendapat penghormatan dari semua orang. Akan tetapi tidak selamanya seorang bangsawan mempunyai intelijensi yang lebih daripada kaum rakyat jelata.
Seorang rakyat jelata dapat menjadi manusia yang ideal jika adanya usaha. Toh tidak sedikit tokoh-tokoh manusia ideal dunia yang berasal dari rakyat jelata yang mempunyai keturunan yang tidak jelas. Sebaliknya jika seorang bangsawan tidak memanfaatkan kemujuran hidupnya maka ia tidak akan menjadi seorang yang ideal.
Oleh karena itu, kelayakan pemegang perkantoran umum tidak seharusnya dimandatkan hanya kepada bangsawan saja. Harus ada kualifikasi intelijensi yang sebenarnya hal itu merupakan hal yang terpenting bagi seorang pemegang kuasa.
Sistem Tirani
Tirani merupakan sistem konstitusi yang jauh dari keidealan. Tirani merupakan arah negatif dari bentuk pemerintahan monarki. Dalam menanggapi sistem ini, Aristoteles mencirikan bentuk dari konstitusi tirani kedalam dua jenis:
1. Tirani bersikap seperti sistem orang Barbar yang suatu ketika berada di Yunani.
2. Lalim dan sepenuhnya berlebihan serta tidak mau berdiskusi dengan rakyat dalam menarik aturan.
Kembali penulis memberikan tanggapannya, bahwa tirani merupakan sistem yang harus dihindari bagi seorang penguasa, karena jalannya tirani berdasarkan dari keputusan yang sepihak tanpa adanya pemerhatian terhadap rakyatnya, keputusannya absolut tidak dapat diganggu gugat.
Bahkan dari perkataan Aristoteles juga dijelaskan bahwa sistem tirani bersikap seperti orang-orang Barbar. Kita tahu bahwa orang-orang Barbar merupakan komunitas yang dikecam jelek dan bodoh, serta dalam segala sesuatu bentuk permasalahan, mereka rata-rata menggunakan jalan kekerasan sebagai penyelesainya. Oleh karena itu, penulis menegaskan bahwa tirani tidaklah pantas ditegakkan dalam suatu negara, karena sistem ini merupakan sistem yang jauh sekali dari keidealan.
Sistem Politeia
Membahas tentang sistem politeia, Aristoteles berpendapat bahwa politeia adalah suatu sistem yang merupakan hasil percampuran antara demokrasi dan oligarki. Yang bermanfaat bagi kedua belah pihak, yaitu antara rakyat jelata dan kaum bangsawan atau orang kaya. Menurutnya pula, politeia dapat mencampur demokrasi dan oligarki dengan salah satu tiga cara di bawah ini:
1. Satu kombinasi diantara keduanya (demokrasi dan oligarki).
2. Satu arti diantara keduanya (demokrasi dan oligarki).
3. Satu campuran unsur yang diambil dari masing-masing. Dalam pemerintahan konstitusional yang sehat, ini adalah penting yaitu semua orang menjadi berguna bagi konstitusi yang berjalan dalam negara tersebut
Penulis menanggapi sistem politeia, bahwa sistem ini merupakan sistem yang paling baik atau yang paling ideal diantara semuanya. Yang mana adanya dua prinsip yaitu demokrasi dan oligarki, yang masing-masing memiliki cara tersendiri kini digabungkan menjadi satu.
Demokrasi, sistemnya menyamaratakan semua rakyat dalam segala hal, baik yang kaya dan miskin. Sehingga dipastikan tidak adanya diskriminasi bagi rakyatnya. Sedangkan untuk oligarki, sistem ini menyediakan beberapa kelayakan kualifikasi untuk menjadi pemegang kantor umum.
Jika keduanya digabungkan, maka akan terciptanya formula ampuh yang benar-benar dapat menjadi sistem konstitusi yang bijaksana untuk rakyatnya. Politeia akan mempunyai aturan bahwa semua rakyatnya akan mendapatkan perlindungan hukum tanpa terkecuali dan serta tanpa memandang status kekayaannya (hal tersebut hanya dalam hal perlindungan hukum), dan dalam masalah kelayakan pemegang perkantoran umum, hal tersebut diukur dari kelayakan inidividu tersebut, seperti adanya kelayakan intelijensi dan pengalaman menjadi pemimpin.
Bagi penulis, sistem politeia merupakan sistem yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat. Karena adil untuk rakyatnya dan menghindari adanya kesenjangan sosial serta benar-benar mengkarantina calon pemegang perkantoran umum.
Sampai saat ini, sepertinya belum ada negara yang melaksanakan sistem konstitusi tersebut. Belum ada yang menggabungkan antara demokrasi dan oligarki. Kita lihat negara kita Indonesia, negara kita menganut demokrasi bagi setiap rakyatnya. Memanglah sistem ini bagus, tapi tetap saja masih mempunyai kekurangan. Yaitu terletak pada kesamarataan rakyatnya tanpa memperhatikan aspek nilai yang diangkat. Menurutnya, inilah yang paling adil bagi rakyatnya, akan tetapi apakah adil harus harus selalu sama ? Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan bukanlah menyamakan segala sesuatu. Alhasil penulis tidak akan membahas masalah keadilan begitu mendalam, yang penting kita sudah mendapatkan garis besarnya, bahwa demokrasi masih mempunyai kekurangan.
Pindah ke sistem oligarki. Banyak sekali negara-negara didunia ini yang menganut sistem oligarki, seperti contoh yaitu Saùdi Arabia. Berdasarkan negaranya yang berbentuk monarki dan sistem konstitusi yang dianutnya, Saùdi Arabia mengangkat pemimpin atau rajanya secara turun temurun yaitu yang hanya bergaris keturunan Al-Saùd saja, tanpa adanya persyaratan lain. Hal ini merupakan kekurangan dari sistem yang dianutnya yaitu hanya berpatok pada keluarga Al-Saùd saja.
Saùdi Arabia mampublikasikan kepada dunia bahwa mereka adalah negara Islâm. Lalu apakah Islâm mengajarkan seperti itu dalam menentukan pemimpin ? Padahal Islâm tidak pernah semata-mata mengajarkan hal tersebut dan sangat menentang keras adanya kesenjangan sosial.
Penulis juga berpendapat bahwa Saùdi Arabia merupakan negara yang ter-egois didunia. Karena mereka meng-atasnamakan suatu negara dengan nama keluarga, yaitu Al-Saùd. Yang pasti bila oligarki berdiri sendiri tanpa adanya penggabungan dengan demokrasi dan menjadi politeia, maka sistem ini akan menjadi sistem yang sepenuhnya merugikan rakyatnya.

REFERENSI
http://hukumtatanegaraindonesia.blogspot.com
Aristotle, “Politics, Emph. Book IV.” www.sparknotes.com

print this page Print this page

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers