Pendahuluan
Dalam bukti perkembangan ilmu pengetahuan, bagai sendok yang selalu bergandengan dengan garpu, konon filsafat juga selalu mempunyai andil dalam memberikan pondasi-pondasi teori pengetahuan, sehingga dikatakan filsafat menjadi topangan suatu pengetahuan tersebut untuk berpijak. Seperti contoh tentang pemahaman tentang diri manusia yang berderivasi ke dalam ilmu-ilmu yang bersifat psikis dan realitas alam sekitar yang terderivasi ke dalam ilmu-ilmu yang bersifat scientist. Kesemuanya mulanya lahir dari teori-teori filsafat. Begitu banyaknya pengaruh filsafat, sampai-sampai segala macam ilmu dapat dipahami dan diurai melalui pembahasan filsafat.
Pengaruh filsafat yang kian jelas dalam ilmu pengetahuan ini tentunya tidak akan akan terjadi jika perkembangan filsafat untuk meluas ke seluruh dunia terhambat atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Filsafat yang pada awalnya lahir di dalam atmosfer kehidupan masyarakat Yunani yang dikembangkan oleh filosof Yunani kuno seperti Socrates, Plato dan muridnya Aristoteles menjadi momok yang sangat jelas bagi masyarakat di sekitarnya seperti kaum sofis dan lainnya dan pada akhirnya ajaran filsafat menang dan berkembang pesat di Yunani.
Hingga pada akhirnya kehebatan filsafat tercium dari belahan dunia sebelah timur khususnya di wilayah kekuasaan Islam. Sehingga penguasa dari Islam khususnya penguasa Bani ‘Abbas mengutus pasukannya ke Yunani untuk mencari manuskrip-manuskrip filsafat untuk dipelajari dan diterjemahkan oleh para intelektual muslim. Upaya tersebut berhasil dan Islam menghasilkan para filosof muslim terkenal serta menjadi pemegang kendali dunia karena ilmu pengetahuannya dan kekuatannya.
Setelah Islam lengser dari kekuasaannya atas dunia, maka barat-lah yang memegang kendali kekuasaan tersebut, tentunya dengan mempelajari filsafat barat juga melahirkan para filosof yang tidak pernah terputus. Kalau dikatakan bahwa filsafat Islam terputus, atau tidak berkembang lagi dengan lahirnya para tokoh perumus teori filsafat pasca wafatnya Mulla Shadra, maka di barat filsafat terus berkembang hingga saat ini. Makalah ini sedikitnya akan membahas tentang pemikiran filsafat ala barat yang dirumuskan oleh para tokohnya seperti Thomas Hobbes, Spinoza dan Leibniz, dengan bahasan tentang substansi. Berangkat dari pernyataan bahwa manusia adalah produk lingkungan, secara tidak langsung kehidupan yang mereka alami sudah pasti mempengaruhi pemikiran mereka, dengan demikian maka makalah ini juga akan sedikit membahas biografi ketiganya.
Kehidupan dan Pemikiran Thomas Hobbes
Thomas Hobbes dilahirkan di Inggris pada tahun 1588, pada masa ia melangsungkan studinya, ia melangsungkannya di Oxford. Karena ketertarikannya tentang ilmu ke-pemerintah-an, maka ia juga mengadakan tur keliling eropa untuk hanya untuk mengetahui macam-macam bentuk dari pemerintahan dan mengetahui akan tabiat masyarakat yang senantiasa ingin diperintah. Dalam progress atas risetnya ini, maka timbul keinginan dalam benaknya untuk merumuskan satu pemerintahan yang ideal untuk Inggris. Sehingga timbullah rumusan teorinya yang sangat terkenal dalam bidang politik yakni Leviathan.[1] Masih dalam bidang politik, Hobbes berpendapat bahwa system pemerintahan monarki absolut, yakni dengan memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada raja atau ratu adalah system pemerintahan yang terbaik.[2]
Akan tetapi meskipun ia dikenal sebagai tokoh filsafat barat, sebenarnya dia lebih banyak eksis dalam bidang sastra dan literatur, ketika umur 40 tahun ia baru mendalami filsafat dan menulis teori-teori filsafatnya pada umur 50 tahun. Dalam perkembangannya di dunia filsafat, ia dikenal menjadi salah satu tokoh materialism-empirisisme. Dalam rumusannya, ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang mempunyai dimensi/ukuran disebut dengan “body/materi”, maka dari itu jika ada sesuatu yang tidak mempunyai dimensi maka sama saja dapat ia simpulkan bahwa sesuatu tersebut tidaklah eksis.
Sebenarnya pemikiran Hobbes banyak tertuang dalam aspek filsafat politiknya, sehingga kita akan jarang melihat pemikiran Hobbes yang lebih banyak di-explore selain filsafat politiknya. Namun bukan berarti kita tidak dapat menemukannya, karena sesungguhnya Hobbes juga berbicara dalam aspek lain yakni pada tema substansi. Sebagai seorang yang beraliran empirisisme-materealistik, Hobbes lahir sebagai pendobrak di kala agama telah menguasai zaman. Banyak sekali doktrin agama yang ia negasikan khususnya masalah-masalah metafisika. Menurutnya, layaknya sebuah tubuh, yang dapat terukur di karenakan memiliki dimensi, maka sejatinya substansi alam juga bersifat demikian, dan segala sesuatu yang tidak termasuk bagian dari alam maka sama saja sesuatu tersebut tidaklah eksis. Menanggapi tentang Tuhan yang merupakan bagian dari bahasan-bahasan metafisika dalam agama, menurut Hobbes Tuhan hanyalah suatu opini masyarakat belaka yang keberadaannya tidak dapat dibuktikan oleh mereka, dengan ini kita garis bawahi bahwa bagi Hobbes, “manusia tidak punya kemampuan untuk membentuk konsepsi tentang Tuhan serta sifat-sifatnya.”[3]
Maka pendapat tersebut mengindikasikan bahwa alam menurut Thomas Hobbes adalah yang segala-galanya. Berbicara tentang klaim Hobbes mengenai alam dan manusia, maka alam merupakan suatu mesin yang sangat besar yang menjalankan seluruh isi di dalamnya secara mekanistik. Sedangkan tentang manusia yang mempunyai aspek internal, maka ia juga tidak menolak tentang keberadaan jiwa manusia yang berada di dalam tubuh mereka, terkait atas doktrinnya yang mengatakan bahwa jika segala sesuatu tersebut dapat diukur maka dikatakan sesuatu tersebut adalah eksis, maka jiwa manusia yang ada di dalam fisik manusia yang terukur itu dikatakan eksis dan terukur pula. Layaknya sebuah udara yang mengisi seluruh bagian balon, maka eksistensi dari udara yang ada di dalam balon tersebut seketika itu juga dapat terukur karena mengambil peran dari ukuran balon itu sendiri. Jiwa manusia baginya juga merupakan suatu mesin yang memberikan kecenderungan-kecenderungan atas segala tindakan manusia itu sendiri.
Ia juga mengemukakan pendapatnya tentang aktifitas penalaran/reasoning dalam diri manusia. Baginya, sebuah aktivitas penalaran/reasoning tidak lain adalah perhitungan konsekuensi dari istilah-istilah umum yang telah ditandai dan dinamai dengan suatu nama yang diterangkan di dalam suatu diskursus-diskursus yang telah kita tempa. Sedangkan apa yang diterangkan dalam diskursus-diskursus itu kerap berbentuk sebagai penggambaran mental yang bukanlah merupakan satu substansi akan tetapi merupakan representasi dari kualitas-kualitas aksiden tertentu.[4]
Kehidupan dan Pemikiran Baruch Spinoza
Nama lengkapnya adalah Baruch Spinoza. Ia lahir pada tahun 1632. Ia adalah seorang filosof berdarah Yahudi yang keluarganya bermigrasi ke Belanda. Sebagai seorang yang berkebangsaan Yahudi, maka sudahlah barang pasti bahwa pemikirannya dipengaruhi dengan pola pikir ala filsafat Yahudi, yang memiliki pendekatan korelasi antara agama (agama yahudi) yang bersifat mistik dengan ilmu pengetahuan.[5]
Salah satu pemikiran yang paling terkenal yang ia hasilkan adalah pantheisme. Yakni sebuah paham yang menitikberatkan pada klaim bahwa Tuhan merupakan puncak dari keabsolutan yang tak terbatas. Maka atas ke-tak-terbatas-anNya itu Tuhan memberikan dampak/efek atas keberadaannya. Dampak/efek itu adalah realitas alam ini. Kalau kita ketahui bahwa menurut Hobbes alam adalah suatu realitas yang paling besar yang mengurusi segala macam yang ada, maka Spinoza memberikan argumen tandingan bahwa layaknya sebuah sungai, maka Tuhan-lah yang berperan sebagai hulunya, sedangkan apa-apa yang hadir di alam ini berperan sebagai aliran arus air yang menempati posisi manifestasi. Karena itu intinya Spinoza ingin mengatakan bahwa Tuhan-lah yang Maha segala-galanya, substansi-Nya dan realitas alam merupakan satu kesatuan.
Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa kalangan memiliki kesamaan seperti wahdah al-wujûd yang digagas oleh ibn ‘Arabî. Akan tetapi setelah ditelisik lebih dalam, pantheisme berbeda dengan wahdah al-wujûd, karena panteisme hanya menyatakan keserupaan-nya antara Sang Pencipta dengan yang dicipta tanpa melibatkan perbedaannya antara Sang Pencipta dengan yang dicipta. Alhasil makalah ini tidak berniat untuk membandingkan keduanya, hanya saja kita perlu pahami bahwa kajian pantheisme-lah yang banyak menjelaskan tentang rumusan-rumusan substansi yang Spinoza cetuskan dan akan dibahas lebih lanjut pada halaman selanjutnya.
Seperti yang sudah dikatakan bahwa Spinoza adalah pencetus doktrin pantheisme. Doktrin ini kian mengejutkan banyak orang pada zaman itu dan kerap membuat gebrakan besar bahkan lebih. Jika menurutnya bahwa suatu entitas itu terdefinisikan dikarenakan ada batasan-batasan yang membatasinya, maka berbeda dengan Tuhan, menurut Spinoza Tuhan adalah sesuatu yang seluruhnya positif dan tidak terbatas karena Dia absolut. Tuhan adalah suatu substansi yang mana menurutnya telah menciptakan seluruh dunia ini atau menciptakan dunia ini sekaligus sebagai bagian dari dunia itu sendiri. Kalau dikatakan bahwa seorang teknisi telah membuat suatu mesin yang mempunyai kekuatan tertentu untuk menjalankan sebuah kendaraan, ini berarti bahwa teknisi tersebut telah menciptakan, yakni suatu proses aktif dengan mengadakan sesuatu yang awalnya tidak ada kemudian menjadi ada, akan tetapi menurut Spinoza terkait bahwa Tuhan merupakan bagian dari alam yang merupakan ciptaannya itu, maka Tuhan bukanlah seperti seseorang teknisi yang menciptakan suatu mesin itu, karena antara teknisi dan mesin itu secara substansi tidak memiliki kaitan, melainkan keduanya berasal dari suatu entitas yang berbeda jenisnya.
Tuhan dan ciptaannya adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi, kalau kita contohkan layaknya sebuah bensin yang mengalami proses pembakaran sehingga menimbulkan asap. Maka bensin tersebut telah menciptakan satu entitas tersendiri yakni asap, yang mana asap tersebut adalah bagian dari bensin itu. Contoh lain yang lebih mudah lagi adalah saling terkaitnya antara substansi ayah kepada anaknya, ayah merupakan penyebab sekaligus bagian dari anak tersebut, sedangkan anak adalah hasil atas adanya si ayah itu. Oleh karena itu menurut Spinoza tuhan merupakan sebab, alasan dan yang mendasari, sekaligus sebagai fakta penjelas fundamental kepada hal lain.[6] Berikut kita akan membahas eksistensi yang menurut Spinoza merupakan turunan Tuhan, yakni manusia.
· Manusia
Kita tahu bahwa di dalam diri manusia bukanlah hanya aspek fisik saja yang ada, akan tetapi di dalam tubuh manusia juga meliputi aspek batin, yang sering dikenal dengan sebutan mind/pikiran dan soul/jiwa.
Menurut Spinoza, jiwa adalah penggagas dari tubuh. Dalam artian menurut Spinoza, jika kita ingin memahami jiwa, maka kita harus memahami tubuh. Manusia adalah tubuh, yang berkaitan dan dibatasi oleh badan-badan lain, dan semua badan-badan ini adalah mode dari perpanjangan atribut ilahi. Setiap tubuh, bahkan setiap bagian dari semua tubuh diwakilkan oleh “an idea in the mind of God”/ide dalam pikiran Tuhan, singkatnya kita pahami bahwa setiap sesuatu yang merupakan perpanjangan dari atribut Tuhan adalah sama atau sesuai dengan pikiran Tuhan. Seperti contoh bahwa apa yang dilakukan oleh tubuh manusia merupakan bagian dari keinginan pikiran manusia itu sendiri. Maka dari itu, menurut pandangan Spinoza, manusia adalah bagian dari akal Tuhan.
Berbicara mengenai tubuh dan jiwa, Spinoza mengemukakan bahwa keduanya adalah suatu substansi yang memiliki kesamaan, hanya saja keduanya dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni jiwa sebagai substansi berfikir dan tubuh sebagai substansi perpanjangan yang sebenarnya keduanya memliki relasi sebagai satu kesatuan, yakni apa yang menjadi kemauan dari tubuh, sepenuhnya dipersepsikan oleh pikiran di dalam jiwa.[7] Seperti contoh tentang timbulnya rasa lapar yang awalnya dirasakan oleh tubuh kemudian dipersepsikan oleh pikiran kita, dengan adanya rasa lapar yang mendera perut yang merupakan bagian dari tubuh, maka secara tidak langsung pikiran kita mempersepsi dan dipengaruhi oleh rasa lapar tersebut. Maka kesimpulan atas gagasan Spinoza ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa jiwa adalah merupakan ide dari tubuh.
Masih menanggapi manusia, merujuk pada argument Descartes bahwa “I think therefore I am”, maka kita akan mendapati ada res cogitans yang terletak pada kata I think dan res extensa pada kata I am. Menurut Descartes, adanya res cogitans dan res extensa tidak lain berasal dari Tuhan, atau kita katakan bahwa Tuhan-lah yang menjadi fasilitator keduanya. Melihat itu, Spinoza langsung membantahnya dan mengatakan bahwa res extensa hanyalah perpanjangan dari res cogitans yang memiliki kebergantungan eksistensial. Sedangkan res cogitans bergantung kepada Tuhan. Maka kesimpulannya Spinoza mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada termasuk res cogitans dan res extensa adalah manifestasi dari Tuhan.
Kehidupan dan Pemikiran Gottfried Wilhem Leibniz
Gottfried Wilhem Leibniz atau yang namanya juga dieja dengan Leibnitz adalah seorang filosof berkebangsaan Jerman yang lahir pada tahun 1646. Layaknya Hobbes, Leibniz juga bepergian keliling Eropa dengan mengunjungi Austria dan Italia untuk membuat penelitian buku yang diperintahkan oleh seorang Kurfurst untuk membahas tentang sejarah keluarganya, yakni keluarga Braunschweig. Berbicara tentang Leibniz yang merupakan salah satu filosof barat, maka bagaimana ia bisa menjadi filosof? Faktor yang paling fundamental adalah dari ayahnya Friedrich Leibniz yang merupakan ahli etika. Konon ayahnya selalu menyokongnya terhadap diskursus yuridis dan filsafat. Sehingga ia terpengaruh dan pada masa remajanya ia masuk ke universitas Leipzig dan belajar filsafat dengan Adam Schertzer yang merupakan seorang teolog dan teoritikus filsafat.[8]
Leibniz banyak membahas keberadaan alam dengan mengkhususkan bahasannya tentang relasi antara tuhan dengan ciptaannya terutama manusia. Tentang pengetahuan yang didapat manusia, Leibniz mengemukakan argumennya bahwa kesemuanya, kecuali pemahaman berawal dari persepsi indera, menurutnya pemahaman datangnya dari rasionalitas, yang mana rasionalitas tersebut didapatkan dari proses berfikir serta anugerah Tuhan. Pendapat tersebut agak memiliki kemiripan dengan Rene Descates dalam cogito ergo sum-nya. Persamaannya yakni pada anugerah Tuhan yang memberikan kita kesempatan untuk berfikir, atau dapat dikatakan Tuhan sebagai Fasilitator kita untuk berfikir/memotensikan rasionalitas.
Sama seperti pendahulunya, Descartes dan Spinoza, maka Leibniz juga memfokuskan teori-teorinya kepada aspek ontologis, yakni permasalahan substansi. Kalau seorang Descartes menyebutkan bahwa di alam ini substansi mewakili tiga hal, yakni tuhan, jiwa dan materi. Spinoza mengemukakan bahwa berkembangnya suatu eksistensi serta substansi jiwa adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan. Maka Leibniz terkesan mempunyai pendapat lebih sempurna ketimbang Spinoza, ia menyatakan bahwa suatu substansi yang membentuk daya hidup alam ini tidak berasal dari pondasi satu substansi saja, akan tetapi pondasinya berasal dari eksistensi yang plural yang menjadikannya hidup. Seperti sebuah mobil yang terangkai dari macam-macam benda yakni busi, dinamo, chasis, ban, aki dan lain-lain, yang sebagaimana benda-benda penyusun mobil tersebut juga tersusun dari macam-macam benda lain, maka berkat adanya rangkaian benda-benda tersebut mobil dapat hidup dan beroperasi, jika masing-masing benda yang merangkai mobil itu dilepas satu-persatu, maka mobil tersebut dipastikan nir-fungsi.
Seperti itulah pandangan Leibniz tentang substansi yang bergantung pada partikel-partikel yang membentuknya, partikel-partikel tersebut diistilahkan oleh Leibniz dengan nama monad yang kesemuanya memiliki daya, baik itu daya untuk hidup atau daya untuk mati. Monad yang memiliki daya hidup akan menjadi makhluk hidup. Sedangkan monad yang tidak memiliki daya hidup/hanya memiliki daya untuk mati akan menjadi benda mati.
Keberadaan semua monad tersebut mempunyai tugas untuk bekerja sama membentuk suatu struktur dunia yang harmonis. Lantas apa sebenarnya peran Tuhan dalam monad-monad ini? Jawab Leibniz bahwa sesungguhnya monad-monad ini mencerminkan alam semesta, akan tetapi pencerminan tersebut bukan berasal dari alam itu sendiri yang memberikan, akan tetapi Tuhan-lah yang memberikannya sebuah sifat spontan yang menyebabkan refleksisme.[9]
Berbicara mengenai kehendak tuhan, Leibniz mengkultuskan bahwa kehendak Tuhan merupakan konsekuensi logis dari segala sesuatu yang terjadi di alam. Pendapat ini serupa dengan konsep teologi Syiah yakni amr bainal amrain. Jika kita bunuh diri, maka konsekuensinya adalah mati, maka peran Tuhan dalam kehendaknya adalah mematikan pada manusia yang telah bunuh diri. Kesimpulannya Tuhan mendapatkan kehendaknya untuk melakukan sesuatu tergantung kepada yang alam lakukan pada awalnya.
Kembali kepada permasalahan monad, monad-monad tersebut mempunyai pangkat masing-masing, atau dapat kita ibaratkan terdapat sistem tingkatan-tingkatan atau kasta-kasta, Ada yang lebih dominan atau yang paling tinggi. Mengapa dikatakan ada yang lebih dominan? Mengapa tidak dikatakan semuanya sama? Secara substansial kesemuanya adalah partikel yang berbeda dan tidak dimungkinkan ada kemiripan antara monad satu dengan monad lainnya yang memiliki tugas masing-masing satu sama lain, dan dikatakan ada yang lebih dominan dikarenakan yang dominan tersebut-lah yang seringkali banyak mengendalikannya baik untuk mengalami pergerakan ataupun perubahan. Dalam kabin mobil misalnya, maka setir-lah yang kita katakan sebagai monad dominan yang mengendalikan alur jalan mobil, dia-lah yang menentukan kemana mobil akan berjalan. Demikian halnya dengan manusia, ada monad yang lebih unggul dari monad lainnya yang mengendalikan kesemuanya, maka menurut Leibniz jiwa manusia-lah yang menempati posisi urgent tersebut.
Jika Leibniz mengatakan bahwa adanya monad-monad ini merupakan satu bukti keharmonisan tersendiri bagi alam, maka bagaimana dengan fakta yang mengatakan bahwa sebenarnya dunia ini tidak hanya harmonis akan tetapi dunia juga mengalami kerusakan yang disebabkan oleh hal tertentu? Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya monad tidak hanya membentuk keharmonisan alam akan tetapi juga merusaknya. Menanggapi pertanyaan ini, secara gamblang Leibniz memberikan argumen bahwa sebenarnya kerusakan yang ada di alam tak dipungkiri juga berasal dari monad, ini artinya bahwa kerusakan yang ada di alam ini juga merupakan bagian dari struktur yang tak terpisahkan dari dunia dan merupakan bukti dari keadilan Tuhan.
Kalau pembahasan kita kembalikan kepada pangkat-pangkat yang dimiliki setiap monad, lantas apakah benar bahwa ada satu monad yang paling utama dari segala monad-monad yang ada di alam semesta ini? Siapakah monad yang paling utama/tertinggi itu? Leibniz menjawabnya bahwa monad utama yang ada di alam ini adalah yang mempunyai kekuatan untuk mengatur dan menjadikan segala monad-monad yang ada di alam dapat memiliki daya. Monad itu adalah Tuhan.
Perbandingan Teori Substansi Hobbes, Spinoza dan Leibniz
Setelah kita menjabarkan dan memahami teori-teori mereka, maka saatnya kita membandingkan teori-teori mereka yang akan kita lihat sisi perbedaan dan persamaannya jikalau ada kesamaannya.
Jika kita ingin membandingkan ketiga teori ini, maka sebenarnya antara teori Spinoza dan teori Leibniz lebih cocok untuk dibandingkan karena sama-sama mempunyai latar metafisika, sedangkan Hobbes mempunyai background empirisisme. Akan tetapi bukan berarti Hobbes tidak diikutsertakan karena Hobbes juga membahas tentang tema alam yang juga dibahas oleh Spinoza dan Leibniz. Spinoza dalam pandangannya menjadikan Tuhan identik dengan alam yang dalam perkembangannya, kaum agamawan Kristen dan yahudi menolaknya, karena jika dikatakan bahwa Tuhan identik dengan alam maka secara tidak langsung telah melahirkan sisi dualisme, yang diasumsikan bahwa Tuhan ada di mana-mana. Maka secara tidak langsung, kesakralan dari Tuhan akan terdistorsi. Terlepas dari hal itu, Spinoza menganggap bahwa alam semesta ini merupakan satu substansi yang tidak dimungkinkan bahwa ada partikel-partikel yang tidak termasuk dalam satu substansi tersebut dan berdiri dengan sendirinya.
Sebaliknya dengan pendapat Leibniz, Leibniz dalam teorinya ingin mengatakan bahwa sebenarnya alam ini terdiri dari macam-macam partikel yang membangunnya, dan Tuhan termasuk bagian dari partikel alam tersebut dan memerankan sebagai partikel yang utama. Maka atas predikat keutamaan yang dimiliki oleh Tuhan, Ia dapat mempengaruhi seluruh alam semesta ini. Kalau Spinoza mengatakan bahwa semua yang ada di alam ini terhimpun dalam satu koridor yang dinamakan dengan manifestasi, ini mengkultuskan bahwa semuanya memiliki kesamaan. Berbeda dengan Leibniz, telah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa Leibniz mengatakan Secara substansial kesemuanya adalah partikel yang berbeda dan tidak dimungkinkan ada kemiripan antara monad satu dengan monad lainnya, karena mereka memiliki tugas masing-masing satu sama lain, dan dikatakan ada yang lebih dominan dikarenakan yang dominan tersebut-lah yang seringkali banyak mengendalikannya, monad yang dominan itu adalah Tuhan. Jadi antara Spinoza dan Leibniz memiliki kesamaan bahwa Tuhan-lah yang merupakan substansi yang paling penting di alam ini.
Untuk Hobbes, karena latarnya berbeda, maka sudah jelas bahwa ia tidak akan memiliki kesamaan dengan Spinoza dan Leibniz. Ia menjadikan alam sebagai satu-satunya substansi yang paling penting dan yang mempunyai andil untuk mengendalikan seluruh isinya. Berdasarkan pandangannya bahwa segala sesuatu dikatakan eksis jika terukur, maka jelas bahwa Tuhan tidaklah eksis
[1] Leviathan yang dimaksudkan Hobbes adalah sebuah makhluk raksasa (dalam beberapa pendapat Leviathan digambarkan seperti sosok lipan) yang menakutkan, sehingga ia begitu disegani oleh musuhnya dan pengikutnya. Maka seperti itulah maksud Thomas Hobbes dalam mewujudkan suatu kepemimpinan, bahwa seorang pemimpin harus ditakuti oleh musuhnya dan disegani oleh rakyatnya.
[2] http://www.rjgeib.com/thoughts/nature/hobbes-bio.html
[3] Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008) Hal: 79
[4] Anthony Kenny, A New history of Wstern Philosophy Vol. 3 (UK: Oxford, 2006 ) Hal: 128
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Baruch_de_Spinoza
[6] Companion To The Phlosophy (UK: Blackwell, 2003) Hal: 659
[7]Anthony Kenny, A New history of Wstern Philosophy Vol. 3 (UK: Oxford, 2006 ) Hal: 228
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Leibniz
[9] Bertrand Russell, Sejarah filsafat Barat (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Hal: 765
2 komentar:
memang blog untuk menambah ilmu neh.....salud
waah ini masih jauh dari kekurangan kok bro, masih perlu untuk anda koreksi :k8
Posting Komentar