Kemerdekaan, Sebuah Ajang Untuk Menunjukkan Jati Diri Bangsa

Rabu, 11 Agustus 2010


Pendahuluan

Kemerdekaan Negara kita sebentar lagi akan kita rayakan. Beragam upaya perayaan akan kita laksanakan dengan suka cita. Siapapun pasti mendambakan sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan adalah tuntutan fitrah kita yang selama ini kita idam-idamkan dengan bantuan tinjauan akal. Akal mengarahkan kita untuk meraih kemerdekaan kita, baik secara batin, fisik maupun secara social.

Akan tetapi dalam mengusahakan sebuah kemerdekaan, akal seringkali juga menjerumuskan pemiliknya. Seperti contoh tentang adanya tuntutan hak asasi manusia yang sebebas-bebasnya tanpa adanya ikatan peraturan agar tidak melencengnya kemerdekaan hak yang dituntutnya. Maka agama-lah yang bertugas untuk menyetirnya dengan memberikan batasan-batasan, sehingga kemerdekaan diri tidak bersikap sewenang-wenang dan melampaui batas.

Hakikat Prinsip Kemerdekaan Para Pahlawan

Kemerdekaan merupakan salah satu hak yang dimiliki manusia. Membicarakan tentang kemerdekaan yang terbagi menjadi tiga, maka kemerdekaan sosial-lah yang sangat mempunyai keluhuran yang paling mendalam. Karena kemerdekaan ini menepis egoisme yang berwujud pada perbedaan ideology, kemuliaan suku dan ras yang menyatu dalam satu prinsip yang sama yakni untuk mempertahankan harga diri bangsa. Rasûlullâh saww dalam haditsnya bersabda bahwa حب الوطان من الاءيمان/”mencintai wathan (tanah kelahiran) adalah sebagian daripada iman.” Dari hadits tersebut dapat kita lihat betapa mulianya mencintai negara sendiri sampai-sampai dikatakan adalah sebagian daripada iman. Maka sudah selayaknya kita menghargai dan menhormati dengan penuh cinta terhadap para pejuang yang telah mengusahakan kemerdekaan Negara kita, yakni para pahlawan. Tidak dapat kita bayangkan bahwa ada beberapa orang yang rela mempertaruhkan waktu, harta dan jiwa raga mereka untuk kepentingan bersama dalam membangun kemerdekaan, dan tindakan ini adalah tindakan yang sangat mulia, sampai dikategorikan termasuk dalam salah satu jihad.

Salah satu bentuk perjuangan yang tak kenal kata menyerah dapat kita temui pada perjuangan cucu Rasûlullâh saww yakni Imam Husein as. yang pada akhir hayatnya menjelang beliau dipenggal beliau tetap bersikukuh untuk mempertahankan agama datuknya atas serangan-serangan kedholiman yang dibuat oleh Yazid dan para kroni-kroninya. Di detik-detik kematiannya beliau mengatakan حيحات منا الظلة/”manalah mungkin kami tunduk pada kedoliman.”

Maka sama seperti itulah kekuatan prinsip para pahlawan kita. Kalau Imam Husein menolak kedholiman dan memperjuangkan kebenaran agama datuknya, maka para pahlawan kita berprinsip untuk menolak ketertindasan yang ditimbulkan oleh penjajah dan memperjuangkan kebebasan hidup yang sangat didambakan oleh kita semua. Sungguh merupakan satu kemuliaan tersendiri.

Peran Pahlawan dan Masyarakat Dalam Kemerdekaan

Bentuk dari penjajahan adalah sebuah perbudakan massal. Dimana hak dan kebebasan tidak dihargai dan telah dihapuskan, dan tentu saja baik dari segi moral maupun agama hal tersebut dianggap sebagai perbuatan yang keji. Dengan hadirnya para pahlawan, maka keberadaan penjajahan telah terhapuskan dari muka bumi ini dan kemerdekaan pun terwujud, sehingga berimplikasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Oleh karena itu selayaknya kita sebagai masyarakat yang telah ditolong dan diberikan oleh para pahlawan sebuah kemerdekaannya, sudah seharusnya memberikan apresiasi yang bermanfaat dan begitu mendalam untuk perkembangan bangsa.

Alm Ust. Husein Al-Habsyî[1], yang merupakan seorang ulama’ yang begitu gencar dalam khotbah-khotbahnya untuk menyadarkan umat agar menjunjung tinggi eksistensi dan kemuliaan umat muslim mengatakan:”Allah menyuruh kita untuk menjadi umat yang memiliki semangat juang dan kerja, dan dari itu pula bahwa orang-orang yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah adalah yang paling banyak jasanya kepada sesama umat.”[2] Dari kutipan tersebut dapat kita pahami bahwa para pahlawan dan masyarakat adalah suatu satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk mewujudkan kemerdekaan. Kalau para pahlawan yang mempunyai tugas untuk mengusahakan kemerdekaan, maka para masyarakat di era kekinian-lah yang mempunyai tugas untuk menggalakkan semangat juang dan kerja untuk menunjukkan jati diri bangsa.

Mengisi Kemerdekaan

Kemerdekaan harus kita bayar dengan usaha jerih payah kita untuk memajukan harkat dan martabat Negara. Selama itu tidak teraplikasi, maka selama itu pula kemerdekaan yang telah diberikan oleh para pahlawan kita akan sia-sia, dan Indonesia hanya akan menjadi Negara yang merdeka secara formalitas saja, akan tetapi dalam pengaturan kenegarannya tetap saja dikendalikan oleh pihak luar dan perekonomiannya juga dimonopoli oleh pihak luar, maka seperti inilah yang dinamakan dengan penjajahan secara tidak langsung/terselubung. Hal ini sesuai menurut pandangan filosof barat terkenal John Locke, ia mengatakan bahwa setiap manusia memiliki hak milik pribadi atas hasil yang ia peroleh dari perbuatannya, dan sejauh mana atau sebesar apa hak pribadi tersebut, tergantung pada jerih payah/tenaga yang dikeluarkan untuk menghasilkannya.[3] Maka dari itu, tanpa semangat usaha yang besar untuk mengisi kemerdekaan, maka hak merdeka kita tidak akan terwujud.

Antara Kemerdekaan dan Apresiasi Terhadap Ilmu

Salah satu upaya yang paling substansial untuk menghargai kemerdekaan yang diwariskan para pahlawan untuk kita, yaitu dengan cara membangkitkan kembali sebuah tradisi ilmiah/tradisi keilmuan. Melewati ilmu, maka segala sesuatu dapat diwujudkan. Bahkan telah dibuktikan bahwa hal yang tidak mungkin dapat menjadi mungkin berkat adanya ilmu.

Terbukti dalam perjalanan sejarah peradaban bangsa, bahwa ilmu telah menopang kesejahteraan suatu bangsa. Untuk pertama kalinya bukti ini terlihat pada zaman kejayaan Islam yang mampu menjadi adikuasa dunia, khususnya pada zaman kepemimpinan khalifah Al-Ma’mûn ibn Harûn al-Rasyîd. Khalifah ini sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan, ia membayar mahal para ilmuan untuk menciptakan pandangan-pandangan ilmiah dan seringkali mengirim utusan ke beberapa tempat untuk memburu manuskrip, seperti contoh manuskrip Plato dan Aristoteles di Yunani. Akibatnya Islam menjadi semakin jaya, ilmu pengetahuan ada di bawah kendali Islam dan banyak terlahir para sarjana-sarjana muslim yang berilmu dan tidak diragukan kredibilitasnya, seperti contoh Ibn Sînâ, Ibn Rusyd, Al-Mawardî, Al-Ghazalî, Al-Jabâr dan masih banyak yang lain.

Kedua pada masa renaisans barat, barat menjadi maju hingga saat ini akibat revolusi industri yang ditopang oleh sains. Zaman kegelapan/the dark age yang dahulu mereka alami pada masa Islam jaya, kini berubah menjadi zaman keemasan berkat adanya kesungguhan untuk mengaplikasikan ilmu.

Maka dari itu, berangkat dari keberhasilan dua bangsa di atas, alangkah baiknya jika kemerdekaan Negara Indonesia yang tercinta ini kita isi dengan semangat menjunjung tinggi ilmu. Dengan harapan untuk lebih menghargai kemerdekaan yang telah diwariskan oleh para pahlawan kepada kita, sekaligus merubah nasib bangsa kita yang selama ini terpuruk meski telah merdeka 65 tahun yang lalu, menjadi lebih baik lagi. Insya Allâh kita mampu…

Kesimpulan

Alhasil rasa untuk mendapatkan kebebasan adalah cita-cita dari seluruh manusia di muka bumi ini, dan dalam mendapatkannya pasti membutuhkan pengorbanan, seperti yang telah pahlawan lakukan. Semangat kemerdekaan yang dikobarkan para pahlawan bisa saja luntur jika semangat tersebut tidak selalu ditanamkan dalam hati masyarakat, akibatnya, pengakuan merdeka suatu Negara hanya akan jadi isapan jempol belaka. Maka dari itu, harus diciptakan suatu penghargaan atas kemerdekaan tersebut secara sinambung atau secara estafet dengan kerja keras kita agar kemerdekaan yang diraih tidak menjadi sia-sia, salah satunya dengan mengapresiasikan ilmu seperti yang telah dicontohkan di atas, mendidik moral bangsa atau mengatur perekonomian tangguh atas suatu Negara, misalnya dengan penggalakan gerakan mencintai produk dalam negeri, masing-masing tergantung watak masyarakatnya. Wallâhu a’lam bi al-shawâb…



[1] Beliau adalah pendiri pondok pesatren Al-Ma’hadul Islami (YAPI) Bangi-Pasuruan

[2] Alm. Ust. Husein Al-Habsyi, Membangun Masyarakat Juang dan Kerja (Bangil: Yapi, 1994) Hal: 11

[3] Bertrand Russell, Sejarah filsafat Barat (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Hal: 829

print this page Print this page

2 komentar:

just_ichall mengatakan...

wah bener tuh gan.....
bangsa yg baik adalah bangsa yg mencintai dan lebih mengenal budayanya masing2.....^^

Yohan Wibisono mengatakan...

Salam Kenal dariku, nice artikel :D Sekalian mau bilang Met Puasa bagi yang puasa. Met sejahtera bagi yang gak njalanin. Semoga selamat & damai dimuka Bumi. Amin :D

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers