Peran Seni dalam Kehidupan Spiritual

Kamis, 01 Juli 2010


Pendahuluan

Semua manusia pasti sudah mengetahui apa itu kesenian, kesenian lahir dari otak kanan manusia. Dalam keberadaannya seni selalu ditopang dengan adanya kreatifitas manusia itu sendiri dalam berekspresi, sehingga menimbulkan apresiasi-apresiasi tertentu yang diberikan oleh manusia yang menikmati karya seni itu. Akan tetapi pernahkah ada yang memahami bahwa sebenarnya kesenian itu juga merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan? Dalam perkembangannya seni pada hakikatnya terbagi menjadi empat dan terpilah-pilah menjadi beberapa corak, salah satunya adalah the sacred art/seni sakral. Seni sacral inilah yang mempengaruhi manusia untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Seperti apakah seni sacral itu? Apa perbedaan antara seni sacral, seni profane, seni agama dan seni tradisional? Dalam makalah ini kajian tersebut akan dibahas atau dijelaskan secara mendalam.

Profane art

Berdasarkan pandangan umum, seni adalah suatu karya yang muncul dari ekspresi feeling seseorang seniman serta pengalaman pribadinya, maka sebenarnya pemahaman seni yang seperti ini lebih dititkberatkan oleh salah satu cabang seni yakni the profane art yang lebih membahas pada seni dari sudut pandang humanism tanpa melibatkan aspek teosentris. Hal ini tentu tidak mengakomodir seni secara keseluruhan, karena sebenarnya profane art adalah bertolak dari ego manusia saja, bahwa sebenarnya apa yang kita buat adalah murni ciptaan kita tanpa ada kesadaran bahwa sebenarnya kita telah mencontoh dari seniman yang pertama yakni Tuhan sebagai pencipta alam.

Maka kalau seni profane ini bersifat egoistic, tentu saja penilaiannya akan indah atau tidaknya sebuah karya seni tersebut tentu saja ditentukan oleh ego para pengevaluasinya, selera individualnya dari mereka-lah yang akan menentukannya. Pun juga sudah pasti bahwa unsur-unsur symbol ketuhanan tidak terkandung di dalamnya, sehingga terkesan kaku dan tidak sarat makna. Kita misalkan seperti contoh karya-karya yang kubistis, gedung-gedung, rumah-rumah atau bahkan hal-hal lainnya yang menampik symbol Tuhan. Maka seperti itulah karya-karya manusia sekarang ini, sebagian besar tidak memberikan suatu symbol yang dapat dimaknai akan tetapi hanya lebih memberikan suatu fungsi dari karya tersebut, contohnya seperti suatu kursi yang hanya dititikberatkan pada fungsinya untuk diduduki, jadi dirangkailah sebagus mungkin agar nyaman untuk diduduki tanpa memancarkan nilai-nilai ketuhanan. Sehingga implikasinya membuat kita lupa kepada Tuhan yang memang telah memberikan contoh karya-karya-Nya kepada kita sejak dahulu yang berperan sebagai guru seni kita.

Traditional art

Seni tradisional seperti yang dipahami oleh Sayyed Husein Nasr adalah suatu kesenian yang juga mengandung nilai-nilai ketuhanan atau spiritualitas hanya saja pesan dari hal tersebut tidak disampaikan secara langsung, oleh karena itu seni tradisional tidak dapat dikatakan sebagai seni sacral yang jelas mengandung term ketuhanan akan tetapi seni tradisional dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk seni sacral.

Sayyed Husein Nasr juga menambahkan bahwa seni sakral terletak pada jantung seni tradisional dan berkaitan secara langsung dengan wahyu Tuhan yang menyatakan dari inti suatu tradisi. Relasi antar keduanya ini terlihat dalam suatu praktek ritual pemujaan, jika seni sacral terlibat kepada praktek-praktek ritual dan pemujaan terhadap Tuhan yang Maha Transenden maka seni tradisional terlibat pada aspek praktis yang dilakukan dari ritual pemujaan tersebut yang merujuk kepada tradisi terdahulu.[1]

Pondasi atas seni tradisional ini adalah pada scientia sacra yang memandang realitas tertinggi adalah hal yang mutlak yang unlimited, yang sempurna dan yang baik, yang merefleksikan sebuah kesempurnaan, baiknya suatu sumber tersebut, keharmonisan yang juga terefleksi dalam alam.[2] Maka dari itu dalam Islam seni tradisional tidak dapat kita maknai sebagai suatu kesenian yang bertolak warisan leluhur yang bersifat kuno, akan tetapi seni tradisional dimaknai dalam Islam sebagai suatu prinsip yang mengajarakan tentang sisi-sisi metafisik dengan tujuan agar manusia kembali kepada awalnya ia berada dan ditugaskan, yakni sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang ditugaskan hanya untuk menyembah kepada-Nya.

Religious art

Seni agama ini bertitik pada pada aspek-aspek doktrin agama yang dituangkan dalam suatu ekspresi kesenian, entah itu suatu lukisan atau suatu pementasan theater. Mungkin seni agama ini merupakan turunan dari seni sacral dikarenakan terkait dengan agama, sedangkan agama terkait dengan Tuhan. contoh dari sebuah seni agama yang sudah masyhur kita ketahui adalah tentang maulid Nabi Muhammad saww. Diekspresikannya suatu sikap oleh kita kepada rasulullah saww untuk menyambut kelahirannya dengan ekspresi suka cita, yang mana beberapa dalam teks maulid itu terkait dengan wahyu agama.[3] Dalam prosesi maulid itu digambarkan tentang kemuliaan-kemuliaan Rasulullah mulai dari dalam alam rahim sampai kepada beliau hidup menjadi seorang pemimpin umat.

Salah satu ekspresi yang kita ketahui ketika melaksanakan prosesi maulid yakni pada bagian simthud dhurâr, yaitu sebuah bagian pada maulid yang menggambarkan tentang ekspresi masyarakat Madinah ketika menyambut kedatangan beliau atas hijrahnya. Dalam simthud dhurâr dinyanyikan suatu syair yang diberikan oleh masyarakat Madinah dengan rasa bahagia, dan dianjurkan kita membacanya dengan keadaan posisi berdiri sebagai symbol untuk menghormati kemuliaan beliau selaku manusia yang paling dikasihi oleh Tuhan sepanjang masa.

Jelas dari aspek sejarah maulid pertama kali dikenalkan oleh dinasti Fatimiyah yang mempunyai siasat politik untuk mengklaim otoritas politiknya sebagai kelompok yang mencintai Rasul dan keluarganya. Akan tetapi dalam kronologinya maulid mendapat tempat di hati mayoritas orang muslim untuk melegitimasi keutamaan-keutamaan serta cerita kehidupan rasulullah Muhammad saww. Seperti itulah contoh dari seni agama, implikasinya adalah pada keyakinan atau kemantapan bagi seorang pemeluk agama tersebut atas keyakinannya terhadap doktrin-doktrin agama tersebut. Masih banyak contoh yang direpresentatifkan atas seni agama, seperti contoh kaligrafi, burdah dan majlis azâ’ pada peristiwa Asyurâ’, meskipun memiliki ekpresi yang berbeda-beda akan tetapi kesemuanya memiliki satu kesamaan yakni menyampaikan suatu pesan yang didoktrinkan oleh agama.

Sacred art

Seni sacral dikatakan mempunyai nilai yang paling tinggi karena berkaitan dengan Tuhan. Menurut Fritjhof Schuon, tidak ada unsur apapun yang dapat mempengaruhi lebih baik lagi dalam diri manusia selain dari sacred art. Akan tetapi sebelum lebih dalam lagi membahas sacred art, beliau terlebih dahulu mendefinisikan apa yang sebenarnya terkait atas kesenian itu? Dari mana asalnya seni itu? Serta apa yang membedakan antara sacred art dengan profane art? Beliau memberikan statement bahwa seni yang membuahkan suatu criteria cipta, rasa dan karsa itu sebenarnya muncul atau berasal dari jiwa/soul manusia, sehingga sebenarnya ego masih dapat mengganggunya dan mengakuisisinya.

Objek dalam seni sacral ini adalah Tuhan. Dalam pandangan Schuon, seni adalah suatu aktivitas yang sangat berpengaruh pada jiwa/soul manusia untuk menggambarkan sisi nilai-nilai transenden. Kita contohkan terhadap seni yang mempunyai nilai-nilai transenden ini kepada suatu bangunan masjid yang hamper kesemuanya mempunyai menara. Maka logika kita mengatakan bahwa tingginya menara tersebut hanya bertujuan agar suara adzan dapat disebarkan dengan baik tanpa menilai pada sisi transendennya yang selama ini tidak kita sadari. Sisi transenden dari menara masjid itu adalah menggambarkan akan ketinggian posisi dari Tuhan pencipta alam ini, dan sebagai hamba kita hanyalah sesuatu yang rendah karena terletak di dasar. Ketika perintah sholat dikumandangan melalui pesan-pesan adzan maka sebenarnya hal tersebut merupakan perintah yang sangat mulia dengan ketinggiannya yang diilustrasikan pada menara masjid tersebut.

Maka seperti itulah contoh dari seni sacral pada masjid. Meskipun begitu, tidak sedikit pula masjid-masjid yang telah diprofankan mengikuti kemodernan zaman kekinian. Nilai-nilai transenden original yang ada pada masjid telah dihilangkan, sehingga masjid tersebut tidak memancarkan aspek transenden.

Lantas kalau dikatakan bahwa seni itu berasal dari jiwa/soul manusia, maka bagaimana kita dapat melahirkan suatu seni yang sacral bila ego juga masih dapat menghantuinya? Maka caranya adalah kita harus berlepas diri atau meleburkan diri kita untuk membuat seni tersebut kepada seniman yang pertama, yakni Tuhan, terlebih dahulu kita harus sadar kepada tuhan selaku seniman yang pertama. Sehingga hal tersebut memberikan implikasi kepada kita agar kita dapat lebih focus dan mengarahkan perhatian kita kepada Tuhan dalam berketerusan atas sifat absolute dan infinite-Nya dan juga pada aspek jalaliyah/keperkasaan dan jamaliyah/keindahan-Nya, serta mampu membuat kita terpaku atau kagum kepada Tuhan akan tetapi rasa ketertarikan akan kekaguman tersebut tidak mengikat kita.

Lantas bagaimana kita memberikan criteria bahwa suatu seni itu dikatakan sebagai seni yang sacral? Maka Schuon memberikan tiga criterianya. Beliau memberikan statement bahwa seni itu sacral jika tidak didapati suatu tujuan pribadi yang diinginkan oleh seorang senimannya atas seni yang diciptakannya tersebut dalam aspek isi, simbolisme dan gaya. Isi tersebut tidak boleh berasal dari si seniman tersebut melainkan harus berasal dari Tuhan yang tentu bersifat mulia yang mana isi tersebut telah ditentukan oleh syariat/wahyu dalam tradisi suatu agama. Sedangkan yang kedua yakni pada aspek simbolisme yang harus mempunyai ketepatan yang bersifat ontologis. Yang ketiga adalah gaya/style yang menampakkan suatu ekspresi yang obyektif melalui peleburan diri yang sudah kita singgung di atas. Peleburan diri ini menentukan sejauh mana seorang seniman tersebut mempunyai kejeniusan untuk mengekspresikan seni yang akan ia tampilkan.


[1] Seyyed Hosein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama, Terj Suharsono dkk (Jakarta: inisiasi Press, 2004) Hal: 289

[2] Ibid, Hal: 282

[3] Yakni ayat 128 pada surat Al-Taubah yang menggambarkan kredibilitas rasulullah saww, yaitu adalah seseorang yang berkeinginan keras untuk menyelamatkan umat serta mempunyai rasa belas kasih dan rasa sayang kepada umatnya.

print this page Print this page

1 komentar:

Pencari Inspirasi mengatakan...

sangat menginspirasi..!!

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers