Pendahuluan
Pembahasan tentang Tuhan sungguh telah menjadi pembahasan yang tiada habisnya. Dalam setiap zaman Tuhan selalu ingin diketahui oleh makhluk-Nya, hal ini berangkat dari fitrah manusia yang mempunyai rasa ingin tahu dan rasa apresiasi yang tinggi. Maka atas itu, muncullah macam-macam disiplin ilmu yang membahas tentang Tuhan. Seperti contohnya Filsafat dan Tasawuf yang masing-masing memiliki metode yang berbeda dan sudut pandang yang berbeda, akan tetapi memulai start tentang pembahasan Tuhan dalam tempat yang sama, yakni dari bahasan wujud.
Dalam filsafat misalnya, Mulla Sadra merumuskan wujud itu satu dan juga banyak/tasykikul wujud. Dalam tasawuf misalnya Ibn ‘Arabi merumuskan bahwa wujud itu satu, hanya saja manifestasinya yang banyak. Menurut Ibn Sîna, bahwa wujud ada banyak, tidak ada kesatuan antara semuanya. Akan tetapi dari sekian banyak teori wujud yang para filosof dan ‘arif/sufi telurkan, dalam perkembangannya hanya wahdatul wujud-lah yang secara umum diketahui.
Membahas tentang teori wahdatul wujud, tentu langkah awal yang harus kita lakukan adalah memisahkan antara keesaan/oneness dan kemajemukan/manyness karena wujud-lah yang kita bahas. Realitas wujud tersebut apakah satu? Atau realitas wujud banyak? Atau realitas wujud itu satu yang meliputi banyak?
Kita juga harus membedakan antara wujud dan maujud. Karena dalam disiplin ilmu tasawuf antara wujud dan maujud adalah berbeda, seperti contoh al-wujud huwa wujud. Sedangkan dalam disiplin ilmu filsafat wujud juga dikatakan sebagai maujud, yakni al-wujud huwa maujud. Jadi para filosof menyamakan antara esensi/wujud dan eksistensi/maujud. Atas adanya perbedaan ini, maka lahirlah banyak pandangan tentang teori wujud seperti di bawah berikut:
a) Katsratul Wujud, oleh pendiri aliran filsafat peripatetic yakni Ibn Sina
b) Katsratul Wujud wa Wahdatul Wujud, oleh pencetus aliran Hikmah Muta’aliyah yaitu Mulla Shadra
c) Wahdatul Wujud, oleh Sufi terkenal Ibn ‘Arabî
d) Wahdatul Wujud (wa Wahdatul Maujud), yang dianut oleh sebagian kecil para sufi juhala’/sufi
Penjelasan atas empat teori wujud di atas akan dijelaskan seperti di bawah ini:
a) Katsratul Maujud
Ibn Sina berargumen bahwa Al-wujud adalah hanya suatu konsep sedangkan realitasnya tidak ada, atau hanya sebuah mafhum/pemahaman, yakni lebih tepatnya diketahui sebagai Al-mafhum al-âm/general concept. Mengapa Ibn Sina bisa berargumen seperti ini? Yakni berasal dari pemahaman bahwa manusia dalam menganalisa sesuatu menjalani tiga fase, yang pertama adalah secara sensorial/indrawi yang kemudian diimajinasikan dan pada akhirnya dibuktikan secara rational.
Mulai dari pengetahuan sensorial yang berawal dari asumsi panca indra, semisal ia merasakan melalui indra perabanya bahwa tembaga yang merupakan salah satu dari logam dapat menghantarkan panas, lalau diimajinasikan relasi antara logam dan panas, kemudian tahap pembuktian rasional yaitu diadakanlah sebuah penelitian terhadap macam-macam logam lain, dan terbukti bahwa logam-logam lainnya dapat menghantarkan panas. Sehingga diambil kesimpulan secara general bahwa logam dapat menghantarkan panas. Intinya semula dari asumsi indra, kemudian diimajinasi dan diuji kebenarannya melalui sebuah praktikum, diambil yang mayoritas maka diasumsikanlah sebuah kesimpulan yang dipahami sebagai konsep umum/general concept. Meskipun belum tentu juga bahwa semua logam menghantarkan panas, istilah ini disebut dengan al-tajrîd wa al-ta’mîm (membuang perbedaan dan memunculkan persamaannya).
Dari pendapat Ibn Sina bahwa wujud itu adalah konsep saja, maka dapat kita pahami yang eksis dan benar-benar ada adalah Al-maujud/eksistensi. Semisal ada satu meja, Ibn Sina memaknai bahwa yang benar-benar eksis adalah bentuknya meja yang merupakan al-maujud, bukanlah wujud meja tersebut atau esensi meja tersebut, otomatis hal ini berlaku pada benda-benda lainnya. Dengan ini berdasarkan pendapat Ibn Sina maka segala sesuatu benda yang ada di alam ini eksistensi-nya tidak satu melainkan banyak. Tidak ada kesatuan eksistensi antar semua benda dikarenakan maujud-nya masing-masing berbeda.
b) Katsratul Wujud wa Wahdatul Wujud
Lahirnya teori Katsratul Wujud wa Wahdatul Wujud ini bukan berasal dari hasil berfikir pada mulanya, akan tetapi berasal dari hasil kritikan yang dibuat oleh Mulla Shadra kepada Ibn Sina atas teorinya. Mulla Shadra mengkritik, menurutnya wujud-wujud yang ada seperti contoh pohon, langit dan lain-lain, atau sebuah wujud yang khusus/wujud khâs adalah mempunyai wujud bentuk wujud yang berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi pengertian wujud mereka adalah sama, yakni kesatuan yang bersifat real antar wujud yang khusus/wujud khâs tersebut. Namun di sisi lain mahiyat/aksiden (yakni sebuah suatu sifat yang menempel kepada benda yang sifat tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa bersandar kepada benda tersebut) (seperti contoh tinggi atas batang pohon, panjang atas ruas jalan dan lain-lain) yang ada pada benda tersebut berbeda. hal ini dipengaruhi oleh wujud benda-benda yang berbeda, seperti contoh wujud kursi yang berbeda dengan wujud meja. Jadi di sisi lain wujud satu sama lain juga berbeda.
Jadi intinya Mula Shadra memberikan tanggapan atas pendapat Ibn Sina yang mengatakan maujud itu banyak, akan tetapi wujud dikatakan sama sebagai Al-mafhum al-âm/general concept. Maka tidak mungkin dari banyaknya benda bisa digeneralisir menjadi sama kalaulah tidak mempunyai makna yang sama atau kualitas yang sama masing-masing di dalamnya. Maka dari itu Mulla Shadra merumuskan teori tentang wujud, bahwa wujud pada benda penampakannya ada banyak, akan tetapi dari banyaknya penampakan wujud itu memiliki pengertian yang sama yakni sebagai realitas yang mewujud. Dalam perkembangannya teori yang dicipitakan oleh Mulla Shadra ini perlahan menggeser katsratul maujud-nya Ibn Sina, di karenakan para filosof banyak yang lebih mempercayainya.
c) Wahdatul Wujud
Wahdat al-Wujud yang merupakan sebuah doktrin dari Ibn Arabi, secara bahasa bermakna kesatuan wujud. Adapun makna terminologisnya adalah bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan dan bahwa wujud selain-Nya hanyalah ada dikarenakan manifestasi wujud-Nya. Dengan kata lain bahwa wujud selain-Nya adalah refleksi atau berasal dari wujud Tuhan. Satu-satunya eksistensi sejati adalah milik Yang Satu dan Yang Satu inilah yang tampak dalam semua manifestasi.
Berdasarkan teorinya, menanggapi pernyataan Mulla Shadra yang mengatakan wujud satu akan tetapi juga banyak (di karenakan gradasi), Ibn ‘Arabi menafikan adanya banyak wujud, karena menurutnya wujud itu hanya ada satu saja. Hal ini didasari atas adanya proposisi Al-wujûd wâjib, kullu wâjib wâhid, fa al-wujûd wâhîd (wujud itu bersifat wajib/dhoruriy, segala sesuatu yang wajib itu hanya ada satu, maka wujud adalah satu).
Dari adanya premis Al-wujûd wâjib, kita dapat mendapatkan satu kesimpulan bahwa kullu mâ laysa bi al-wujûd fa huwa laysa bi al-wâjib au mumkin (semua yang bukan wujud adalah bukan wajib, sedangkan semua yang bukan wajib adalah bersifat mumkin). Mumkin adalah posisi tengah antara wâjib dan mumtani’/mustahil.
d) Wahdatul Wujud (wa Wahdatul Maujud)
Pada umumnya argumen ini tidak begitu banyak bermunculan, karena argumen ini hanya dianut oleh para sufi juhala’/sufi yang amat sangat merindukan Tuhannya. Mereka beranggapan bahwa wujud itu hanya ada satu, dan maujud-nya juga hanya ada satu. Akan tetapi pendapat ini dalam perkembangannya tidak didasari oleh argument yang meyakinkan.
Selain itu juga ada kejanggalan dan kesalahan yang sebenarnya ada dalam teori ini, yaitu keterbatasan Tuhan terhadap jumlah satu-Nya. Tidak ada kemajemukan atas segala yang maujud, maka kata tidak tersebut suda terkesan membatasi keberadaan Tuhan yang mutlak atau absolut. Sedangkan sesuatu yang mutlak atau absolute harus mencakupi segala sesuatu. Intinya sesuatu yang mutlak harus inklusif dan eksklusif.
Lebih Jelas Tentang Wahdatul Wujud
Sebelum kita masuk lebih dalam tentang Wahdatul Wujud, mungkin ada pertanyaan di benak kita bagaimana mungkin dari satu menjadi banyak? Bukankah antara satu dan banyak itu adalah sesuatu yang saling kontradiksi?
Berbicara tentang kemutlakan atau ke-absolut-an atau ketidak terbatasan, seperti yang di miliki oleh dzat Tuhan, maka sudahlah pasti bahwa sesuatu yang mutlak atau absolut atau tidak terbatas tersebut tidaklah mungkin ada lebih dari satu, karena kalau ada lebih dari satu maka otomatis kemutlakannya tidak nampak karena ada hal lain yang menyamainya. Akan tetapi kemutlakan atau ke-absolut-an atau ketidak terbatasan dzat-Nya juga tidak akan terbukti kalau tidak meliputi segala sesuatu.
Menjawab pertanyaan di atas, yakni dari yang satu menjadi banyak ini karena satu yang tidak terbatas tersebut bertajalli atau manifestasi atau memancar kepada semua lini. Sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada itu berasal dari-Nya, dengan kata lain adalah Dia adalah dia akan tetapi dia bukanlah Dia. Tajalli juga sering dimaknai sebagai الفيض/emanation yang berarti melimpah. Layaknya air yang tumpah dalam suatu gelas di karenakan banyaknya atau melimpahnya air tersebut, sehingga ia keluar dari gelas yang mewadahinya. Emanasi tersebut adalah penyebab dari adanya tajalli sehingga segala sesuatu itu hanya berasal dari-Nya.
Maqam Al-Ahadiyah
Tajalli pertama Tuhan dalam diskursus ilmu tasawuf adalah ketunggalannya. Dia akan menampakkan diri-Nya sebagai suatu hakikat yang tunggal yang dinamakan Al-Ahadiyah. Karena Ia masih dalam ketunggalan-Nya, maka belum Nampak pluralitas atau katsrah atau indivisible. Pluralitas tersebut masih tenggelam atas dzat-Nya atau terdapat ketunggalan yang non-distingtif.
Maqam Al-Wahidiyah
Kemudian karena Dia tak terbatas, maka Ia akan terus menyebar dan terjadilah tajalli atau manifestasi pada tingkatan yang kedua, yakni Al-Wahidiyah. Pada tingkatan Al-Wahidiyah Tuhan mulai menampakkan nama-nama-Nya yang masih dalam bentuk kualitas yang termanifestasi. Oleh karena itu maqam Al-Wahidiyah juga dikenal sebagai maqam Al-Asmâ’/The Divine Name. Isim atau nama dalam tasawuf bukan sekedar lafadz, akan tetapi adalah dzat yang termanifestasi ke dalam satu sifat partikular. Maka dalam maqam Al-Wahidiyah ini pluralitas yang bersifat distingtif sudah mulai nampak, yakni pada nama-nama-Nya yang termanifestasi ke dalam satu sifat partikular tersebut.
Maqam A’yan Tsabitah
A’yan tsabitah adalah hakekat alam yang merupakan obyek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah. Karena sifat identik dengan zat, maka hakekat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah. Disini kita berhadapan dengan zat Allah yang esa, dan mengandung potensi hakekat alam semesta.
Jadi kesimpulannya a’yan tsabitah adalah objek-objek pengetahuan alam sebelum masuk kepada wujud khoriji, atau lebih mudahnya dapat kita pahami sebagai prototype dari segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Ilustrasinya seperti misal kita yang membayangkan sesuatu di dalam pikiran kita, hal yang kita bayangkan itu keberadaannya sudah mewujud atau dalam istilah filsafat islam dikenal sebagai wujud zihni, tetapi wujud tersebut belum nampak dan eksis di luar.
Setelah a’yan tsabitah, maka Tuhan menciptakan ciptaannya itu ke dalam bentuk yang khoriji, yang kemudian atas segala ciptaannya tersebut terdapat beberapa ciptaan yang merupakan cerminan Tuhan yang dinamakan Insan Kamil.
Reference
Artikel ini ditulis berdasarkan pembelajaran mata kuliah Islamic Mysticism and Gnosis di Islamic College Jakarta, di bawah bimbingan Dosen Muhammad Bagir
http://www.bidin10.co.cc/2009/12/panteisme-atau-wahdatul-wujud.html
0 komentar:
Posting Komentar