Puasa dalam Perspektif Al-Quran

Jumat, 11 September 2009

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامٌ مِسْكِيْنٌ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تـَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ َتــعْلَمُوْنَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

شَهْرُ مَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كاَنَ مَرِيْضًا أَوْ علَىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتــكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ علَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

(beberapa hari yang ditentukan dalam) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

pendahuluan

Puasa, terjadi setiap tahun sekali mengguliri waktu yang terus berputar di Bumi. Rasulullah saww dalam hadîts-nya berkata: “Banyak orang-orang yang berpuasa, akan tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan haus.” Mengapa hal ini sampai terjadi???



Mengapa karamah dan pahala puasa yang sangat mulia ini tidak menempel dalam catatan-catatan buku amal mereka yang termasuk dalam hadîts Rasul tersebut? jawabannya adalah fisik mereka yang menjalankan puasa dikarenakan kepentingan-kepentingan tertentu tanpa disertai niat yang mendalam untuk mempersembahkan kepada Allah Ta’alâ.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 183 di atas, dijelaskan bahwa puasa merupakan sarana atau wasilah menuju gelar yang paling mulia di sisi Allah untuk manusia, yakni Taqwa. Kalau Allah berfirman seperti itu dalam ayatnya tentang hakekat puasa, maka dapat kita raba bahwa adanya hal yang baik dalam puasa, adanya hal yang istimewa dalam relung jiwa puasa dan juga adanya hal yang diridhoi Allah di dalam ibadah puasa, yang jika kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh kita akan mendapatkan gelar taqwa dari-Nya. Bagi kita, dikarenakan intensitasnya yang diselenggarakan tiap tahun, puasa memang terkesan hal yang biasa saja sebagai rutinitas ibadah. Akan tetapi dalam ayat di atas, puasa seakan-akan menjadi sebuah salah satu ibadah yang benar-benar mempunyai nilai esensi yang tinggi. Oleh karena itu, tulisan ini akan sedikit memberikan rabaan-rabaan tentang kronologi puasa menjadi sebuah ibadah yang tinggi. Saran dan kritik diharapkan diberikan oleh pembaca demi sempurnanya tulisan ini.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ibadah puasa sudah terealisasi dan kewajibannya juga sudah ditangguhkan sejak pada zaman umat-umat terdahulu, hanya saja diwajibkan kepada para nabi saja, seperti yang telah dikatakan Imam Shadiq as: “sesungguhnya pernah diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhankepada seseorang dari umat-umat terdahulu, maka aku berkata bagaimana dengan firman Allah SWT: ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu…”

Kemudian beliau menjawab, bahwa perintah puasa di bulan Ramadhan untuk umat terdahulu hanya kepada para nabi, bukan kepada umat-umatnya. Maka Allah memberikan keutamaan atas umat ini dengan memerintahkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan kepada Rasul-Nya saww dan juga kepada umatnya”

Pembahasan

Kata taqwa, berasal dari akar kata وقى- يلقى- وقاية, dalam lisanul arab, kata تقوى berarti

( وقي ) وقاهُ اللهُ وَقْياً وَوِقايةً وواقِيةً صانَه قال أَبو مَعْقِل الهُذليّ فَعادَ عليكِ إنَّ لكُنَّ حَظّاً وواقِيةً كواقِيةِ الكِلابِ وفي الحديث فَوقَى أَحَدُكم وجْهَه النارَ وَقَيْتُ الشيء أَقِيه إذا صُنْتَه وسَتَرْتَه عن الأَذى وهذا اللفظ خبر أُريد به الأمر أي لِيَقِ أَحدُكم وجهَه النارَ بالطاعة والصَّدَقة وقوله في حديث معاذ وتَوَقَّ كَرائَمَ أَموالِهم أَي تَجَنَّبْها ولا تأْخُذْها في الصدَقة لأَنها تَكرْمُ على أَصْحابها وتَعِزُّ فخذ الوسَطَ لا العالي ولا التَّازِلَ وتَوقَّى واتَّقى بمعنى ومنه الحديث تَبَقَّهْ وتوَقَّهْ أَي اسْتَبْقِ نَفْسك ولا تُعَرِّضْها للتَّلَف وتَحَرَّزْ من الآفات واتَّقِها وقول مُهَلْهِل ضَرَبَتْ صَدْرَها إليَّ وقالت يا عَدِيًّا لقد وَقَتْكَ الأَواقي

( * قوله « ضربت إلخ » هذا البيت نسبه الجوهري وابن سيده إلى مهلهل وفي التكملة وليس البيت لمهلهل وإنما هو لأخيه عدي يرثي مهلهلاً وقيل البيت ظبية من ظباء وجرة تعطو بيديها في ناضر الاوراق أراد بها امرأته شبهها بالظباء فأجرى عليها أوصاف الظباء )

إِنما أراد الواو في جمع واقِيةٍ فهمز الواو الأُولى ووقاهُ صانَه ووقاه ما يَكْرَه ووقَّاه حَماهُ منه والتخفيف أَعلى وفي التنزيل العزيز فوقاهُمُ الله شَرَّ ذلك اليومِ والوِقاءُ والوَقاء والوِقايةُ والوَقايةُ والوُقايةُ والواقِيةُ كلُّ ما وقَيْتَ به شيئاً وقال اللحياني كلُّ ذلك مصدرُ وَقَيْتُه الشيء وفي الحديث من عَصى الله لم يَقِه منه واقِيةٌ إِلا بإِحْداث تَوْبةٍ وأَنشد الباهليُّ وغيره للمُتَنَخِّل الهُذَلي لا تَقِه الموتَ وقِيَّاتُه خُطَّ له ذلك في المَهْبِلِ قال وقِيَّاتُه ما تَوَقَّى به من ماله والمَهْبِلُ المُسْتَوْدَعُ ويقال وقاكَ اللهُ شَرَّ فلان وِقايةً وفي التنزيل العزيز ما لهم من الله من واقٍ أَي من دافِعٍ ووقاه اللهُ وِقاية بالكسر أَي حَفِظَه والتَّوْقِيةُ الكلاءة والحِفْظُ قال إِنَّ المُوَقَّى مِثلُ ما وقَّيْتُ وتَوَقَّى واتَّقى بمعنى وقد توَقَّيْتُ واتَّقَيْتُ الشيء وتَقَيْتُه أَتَّقِيه وأَتْقِيه تُقًى وتَقِيَّةً وتِقاء حَذِرْتُه الأَخيرة عن اللحياني والاسم التَّقْوى التاء بدل من الواو والواو بدل من الياء وفي التنزيل العزيز وآتاهم تَقْواهم أَي جزاء تَقْواهم وقيل معناه أَلهَمَهُم تَقْواهم وقوله تعالى هو أَهلُ التَّقْوى وأَهلُ المَغْفِرة أَي هو أَهلٌ أَن يُتَّقَى عِقابه وأَهلٌ أَن يُعمَلَ بما يؤدّي إِلى مَغْفِرته وقوله تعالى يا أَيها النبيُّ اتَّقِ الله معناه اثْبُت على تَقْوى اللهِ ودُمْ عليه

( * قوله « ودم عليه » هو في الأصل كالمحكم بتذكير الضمير ) وقوله تعالى إِلا أَن تتقوا منهم تُقاةً يجوز أَن يكون مصدراً وأَن يكون جمعاً والمصدر أَجود لأَن في القراءة الأُخرى إِلا أَن تَتَّقُوا منهم تَقِيَّةً التعليل للفارسي التهذيب وقرأَ حميد تَقِيَّة وهو وجه إِلا أَن الأُولى أَشهر في العربية والتُّقى يكتب بالياء والتَّقِيُّ المُتَّقي وقالوا ما أَتْقاه لله فأَما قوله ومَن يَتَّقْ فإِنَّ اللهَ مَعْهُ ورِزْقُ اللهِ مُؤْتابٌ وغادي فإِنما أَدخل جزماً على جزم وقال ابن سيده فإِنه أَراد يَتَّقِ فأَجرى تَقِفَ مِن يَتَّقِ فإِن مُجرى عَلِمَ فخفف كقولهم عَلْمَ في عَلِمَ ورجل تَقِيٌّ من قوم أَتْقِياء وتُقَواء الأَخيرة نادرة ونظيرها سُخَواء وسُرَواء وسيبويه يمنع ذلك كله وقوله تعالى قالت إِني أَعوذُ بالرحمن منكَ إِن كنتَ تَقِيّاً تأْويله إِني أَعوذ بالله فإِن كنت تقيّاً فسَتَتَّعِظ بتعَوُّذي بالله منكَ وقد تَقيَ تُقًى التهذيب ابن الأَعرابي التُّقاةُ والتَّقِيَّةُ والتَّقْوى والاتِّقاء كله واحد وروي عن ابن السكيت قال يقال اتَّقاه بحقه يَتَّقيه وتَقاه يَتْقِيه وتقول في الأَمر تَقْ وللمرأَة تَقي قال عبد الله ابن هَمَّام السَّلُولي زِيادَتَنا نَعْمانُ لا تَنْسَيَنَّها تَقِ اللهَ فِينا والكتابَ الذي تَتْلُو بنى الأَمر على المخفف فاستغنى عن الأَلف فيه بحركة الحرف الثاني في المستقبل وأَصل يَتَقي يَتَّقِي فحذفت التاء الأُولى وعليه ما أُنشده الأَصمعي قال أَنشدني عيسى بن عُمر لخُفاف بن نُدْبة جَلاها الصَّيْقَلُونَ فأَخْلَصُوها خِفافاً كلُّها يَتَقي بأَثر أَي كلها يستقبلك بفِرِنْدِه رأَيت هنا حاشية بخط الشيخ رضيِّ الدين الشاطِبي رحمه الله قال قال أبو عمرو وزعم سيبويه أَنهم يقولون تَقَى اللهَ رجل فعَل خَيْراً يريدون اتَّقى اللهَ رجل فيحذفون ويخفقون قال وتقول أَنت تَتْقي اللهَ وتِتْقي اللهَ على لغة من قال تَعْلَمُ وتِعْلَمُ وتِعْلَمُ بالكسر لغة قيْس وتَمِيم وأَسَد ورَبيعةَ وعامَّةِ العرب وأَما أَهل الحجاز وقومٌ من أَعجاز هَوازِنَ وأَزْدِ السَّراة وبعضِ هُذيل فيقولون تَعْلَم والقرآن عليها قال وزعم الأَخفش أَن كل مَن ورد علينا من الأَعراب لم يقل إِلا تِعْلَم بالكسر قال نقلته من نوادر أَبي زيد قال أَبو بكر رجل تَقِيٌّ ويُجمع أَتْقِياء معناه أَنه مُوَقٍّ نَفْسَه من العذاب والمعاصي بالعمل الصالح وأَصله من وَقَيْتُ نَفْسي أَقيها قال النحويون الأَصل وَقُويٌ فأَبدلوا من الواو الأُولى تاء كما قالوا مُتَّزِر والأَصل مُوتَزِر وأَبدلوا من الواو الثانية ياء وأَدغموها في الياء التي بعدها وكسروا القاف لتصبح الياء قال أَبو بكر والاختيار عندي في تَقِيّ أَنه من الفعل فَعِيل فأَدغموا الياء الأُولى في الثانية الدليل على هذا جمعهم إِياه أَتقياء كما قالوا وَليٌّ وأَوْلِياء ومن قال هو فَعُول قال لمَّا أَشبه فعيلاً جُمع كجمعه قال أَبو منصور اتَّقى يَتَّقي كان في الأَصل اوْتَقى على افتعل فقلبت الواو ياء لانكسار ما قبلها وأُبدلت منها التاء وأُدغمت فلما كثر استعماله على لفظ الافتعال توهموا أَن التاءَ من نفس الحرف فجعلوه إِتَقى يَتَقي بفتح التاء فيهما مخففة ثم لم يجدوا له مثالاً في كلامهم يُلحقونه به فقالوا تَقى يَتَّقي مثل قَضى يَقْضِي قال ابن بري أَدخل همزة الوصل على تَقى والتاء محركة لأَنَّ أَصلها السكون والمشهور تَقى يَتَّقي من غير همز وصل لتحرك التاء قال أَبو أَوس تَقاكَ بكَعْبٍ واحِدٍ وتَلَذُّه يَداكَ إِذا هُزَّ بالكَفِّ يَعْسِلُ أَي تَلَقَّاكَ برمح كأَنه كعب واحد يريد اتَّقاك بكَعْب وهو يصف رُمْحاً وقال الأَسدي ولا أَتْقي الغَيُورَ إِذا رَآني ومِثْلي لُزَّ بالحَمِسِ الرَّبِيسِ الرَّبيسُ الدَّاهي المُنْكَر يقال داهِيةٌ رَبْساء ومن رواها بتحريك التاء فإِنما هو على ما ذكر من التخفيف قال ابن بري والصحيح في هذا البيت وفي بيت خُفاف بن نَدبة يَتَقي وأَتَقي بفتح التاء لا غير قال وقد أَنكر أَبو سعيد تَقَى يَتْقي تَقْياً وقال يلزم أَن يقال في الأَمر اتْقِ ولا يقال ذلك قال وهذا هو الصحيح التهذيب اتَّقى كان في الأَصل اوْتَقى والتاء فيها تاء الافتعال فأُدغمت الواو في التاء وشددت فقيل اتَّقى ثم حذفوا أَلف الوصل والواو التي انقلبت تاء فقيل تَقى يَتْقي بمعنى استقبل الشيء وتَوَقَّاه وإِذا قالوا اتَّقى يَتَّقي فالمعنى أَنه صار تَقِيّاً ويقال في الأَول تَقى يَتْقي ويَتْقي ورجل وَقِيٌّ تَقِيٌّ بمعنى واحد وروي عن أَبي العباس أَنه سمع ابن الأَعرابي يقول واحدة التُّقى تُقاة مثل طُلاة وطُلًى وهذان الحرفان نادران قال الأَزهري وأَصل الحرف وَقى يَقي ولكن التاءَ صارت لازمة لهذه الحروف فصارت كالأَصلية قال ولذلك كتبتها في باب التاء وفي الحديث إِنما الإِمام جُنَّة يُتَّقى به ويُقاتَل من ورائه أَي أَنه يُدْفَعُ به العَدُوُّ ويُتَّقى بقُوّته والتاءُ فيها مبدلة من الواو لأن أَصلها من الوِقاية وتقديرها اوْتَقى فقلبت وأُدغمت فلما كثر استعمالُها توهموا أَن التاءَ من نفس الحرف فقالوا اتَّقى يَتَّقي بفتح التاء فيهما

( * قوله « فقالوا اتقي يتقي بفتح التاء فيهما » كذا في الأصل وبعض نسخ النهاية بألفين قبل تاء اتقى ولعله فقالوا تقى يتقي بألف واحدة فتكون التاء مخففة مفتوحة فيهما ويؤيده ما في نسخ النهاية عقبه وربما قالوا تقى يتقي كرمى يرمي ) وفي الحديث كنا إِذا احْمَرَّ البَأْسُ اتَّقَينا برسولِ الله صلى الله عليه وسلم أَي جعلناه وِقاية لنا من العَدُوّ قُدَّامَنا واسْتَقْبَلْنا العدوَّ به وقُمْنا خَلْفَه وِقاية وفي الحديث قلتُ وهل للسَّيفِ من تَقِيَّةٍ ؟ قال نَعَمْ تَقِيَّة على أَقذاء وهُدْنةٌ على دَخَنٍ التَّقِيَّةُ والتُّقاةُ بمعنى يريد أَنهم يَتَّقُون بعضُهم بعضاً ويُظهرون الصُّلْحَ والاتِّفاق وباطنهم بخلاف ذلك قال والتَّقْوى اسم وموضع التاء واو وأَصلها وَقْوَى وهي فَعْلى من وَقَيْتُ وقال في موضع آخر التَّقوى أَصلها وَقْوَى من وَقَيْتُ فلما فُتِحت قُلِبت الواو تاء ثم تركت التاءُ في تصريف الفعل على حالها في التُّقى والتَّقوى والتَّقِيَّةِ والتَّقِيِّ والاتِّقاءِ قال والتُّفاةُ جمع ويجمع تُقِيّاً كالأُباةِ وتُجْمع أُبِيّاً وتَقِيٌّ كان في الأَصل وَقُويٌ على فَعُولٍ فقلبت الواو الأُولى تاء كما قالوا تَوْلج وأَصله وَوْلَج قالوا والثانية قلبت ياء للياءِ الأَخيرة ثم أُدغمت في الثانية فقيل تَقِيٌّ وقيل تَقيٌّ كان في الأَصل وَقِيّاً كأَنه فَعِيل ولذلك جمع على أَتْقِياء الجوهري التَّقْوى والتُّقى واحد والواو مبدلة من الياءِ على ما ذكر في رَيّا وحكى ابن بري عن القزاز أَن تُقًى جمع تُقاة مثل طُلاةٍ وطُلًى والتُّقاةُ التَّقِيَّةُ يقال اتَّقى تَقِيَّةً وتُقاةً مثل اتَّخَمَ تُخَمةً قال ابن بري جعلهم هذه المصادر لاتَّقى دون تَقى يشهد لصحة قول أَبي سعيد المتقدّم إنه لم يسمع تَقى يَتْقي وإِنما سمع تَقى يَتَقي محذوفاً من اتَّقى والوِقايةُ التي للنساءِ والوَقايةُ بالفتح لغة والوِقاءُ والوَقاءُ ما وَقَيْتَ به شيئاً والأُوقِيَّةُ زِنةُ سَبعة مَثاقِيلَ وزنة أَربعين درهماً وإن جعلتها فُعْلِيَّة فهي من غير هذا الباب وقال اللحياني هي الأُوقِيَّةُ وجمعها أَواقِيُّ والوَقِيّةُ وهي قليلة وجمعها وَقايا وفي حديث النبي صلى الله عليه وسلم أَنه لم يُصْدِق امْرأَةً من نِسائه أَكثر من اثنتي عشرة أُوقِيَّةً ونَشٍّ فسرها مجاهد فقال الأُوقِيَّة أَربعون درهماً والنَّشُّ عشرون غيره الوَقيَّة وزن من أَوزان الدُّهْنِ قال الأَزهري واللغة أُوقِيَّةٌ وجمعها أَواقيُّ وأَواقٍ وفي حديث آخر مرفوع ليس فيما دون خمس أَواقٍ من الوَرِق صَدَقَةٌ قال أَبو منصور خمسُ أَواقٍ مائتا دِرْهم وهذا يحقق ما قال مجاهد وقد ورد بغير هذه الرواية لا صَدَقة في أَقَلَّ مِن خمسِ أَواقِي والجمع يشدَّد ويخفف مثل أُثْفِيَّةٍ وأَثافِيَّ وأثافٍ قال وربما يجيء في الحديث وُقِيّة وليست بالعالية وهمزتها زائدة قال وكانت الأُوقِيَّة قديماً عبارة عن أَربعين درهماً وهي في غير الحديث نصف سدس الرِّطْلِ وهو جزء من اثني عشر جزءاً وتختلف باختلاف اصطلاح البلاد قال الجوهري الأُوقيَّة في الحديث بضم الهمزة وتشديد الياء اسم لأَربعين درهماً ووزنه أُفْعولةٌ والأَلف زائدة وفي بعض الروايات وُقِية بغير أَلف وهي لغة عامية وكذلك كان فيما مضى وأَما اليوم فيما يَتعارَفُها الناس ويُقَدِّر عليه الأَطباء فالأُوقية عندهم عشرة دراهم وخمسة أَسباع درهم وهو إِسْتار وثلثا إِسْتار والجمع الأَواقي مشدداً وإِن شئت خففت الياء في الجمع والأَواقِي أَيضاً جمع واقِيةٍ وأَنشد بيت مهَلْهِلٍ لقدْ وَقَتْكَ الأَواقِي وقد تقدّم في صدر هذه الترجمة قال وأَصله ووَاقِي لأَنه فَواعِل إِلا أَنهم كرهوا اجتماع الواوين فقلبوا الأُولى أَلفاً وسَرْجٌ واقٍ غير مِعْقَر وفي التهذيب لم يكن مِعْقَراً وما أَوْقاه وكذلك الرَّحْل وقال اللحياني سَرْجٌ واقٍ بَيّن الوِقاء مدود وسَرجٌ وَقِيٌّ بيِّن الوُقِيِّ ووَقَى من الحَفَى وَقْياً كوَجَى قال امرؤ القيس وصُمٍّ صِلابٍ ما يَقِينَ مِنَ الوَجَى كأَنَّ مَكانَ الرِّدْفِ منْه علَى رالِ ويقال فرس واقٍ إِذا كان يَهابُ المشيَ من وَجَع يَجِده في حافِره وقد وَقَى يَقِي عن الأَصمعي وقيل فرس واقٍ إِذا حَفِيَ من غِلَظِ الأَرضِ ورِقَّةِ الحافِر فَوَقَى حافِرُه الموضع الغليظ قال ابن أَحمر تَمْشِي بأَوْظِفةٍ شِدادٍ أَسْرُها شُمِّ السّنابِك لا تَقِي بالجُدْجُدِ أَي لا تشتكي حُزونةَ الأَرض لصَلابة حَوافِرها وفرس واقِيةٌ للتي بها ظَلْعٌ والجمع الأَواقِي وسرجٌ واقٍ إِذا لم يكن مِعْقَراً قال ابن بري والواقِيةُ والواقِي بمعنى المصدر قال أَفيون التغْلبي لَعَمْرُك ما يَدْرِي الفَتَى كيْفَ يتَّقِي إِذا هُو لم يَجْعَلْ له اللهُ واقِيا ويقال للشجاع مُوَقًّى أَي مَوْقِيٌّ جِدًّا وَقِ على ظَلْعِك أَي الزَمْه وارْبَعْ عليه مثل ارْقَ على ظَلْعِك وقد يقال قِ على ظَلْعِك أَي أَصْلِحْ أَوَّلاً أَمْرَك فتقول قد وَقَيْتُ وَقْياً ووُقِيّاً التهذيب أَبو عبيدة في باب الطِّيرَةِ والفَأْلِ الواقِي الصُّرَدُ مثل القاضِي قال مُرَقِّش ولَقَدْ غَدَوْتُ وكنتُ لا أَغْدُو على واقٍ وحاتِمْ فَإِذا الأَشائِمُ كالأَيا مِنِ والأَيامِنُ كالأَشائِمْ قال أَبو الهيثم قيل للصُّرَد واقٍ لأَنه لا يَنبَسِط في مشيه فشُبّه بالواقِي من الدَّوابِّ إِذا حَفِيَ والواقِي الصُّرَدُ قال خُثَيْمُ بن عَدِيّ وقيل هو للرَّقَّاص

( * قوله « للرقاص إلخ » في التكملة هو لقب خثيم بن عدي وهو صريح كلام رضي الدين بعد ) الكلبي يمدح مسعود بن بَجْر قال ابن بري وهو الصحيح وجَدْتُ أَباكَ الخَيْرَ بَجْراً بِنَجْوةٍ بنَاها له مَجْدٌ أَشَمٌّ قُماقِمُ وليس بِهَيَّابٍ إِذا شَدَّ رَحْلَه يقول عَدانِي اليَوْمَ واقٍ وحاتِمُ ولكنه يَمْضِي على ذاكَ مُقْدِماً إِذا صَدَّ عن تلكَ الهَناتِ الخُثارِمُ ورأَيت بخط الشيخ رَضِيِّ الدين الشاطبي رحمه الله قال وفي جمهرة النسب لابن الكلبي وعديّ بن غُطَيْفِ بن نُوَيْلٍ الشاعر وابنه خُثَيْمٌ قال وهو الرَّقَّاص الشاعر القائل لمسعود بن بحر الزُّهريّ وجدتُ أَباك الخير بحراً بنجوة بناها له مجدٌ أَشم قُماقمُ قال ابن سيده وعندي أَنَّ واقٍ حكاية صوته فإِن كان ذلك فاشتقاقه غير معروف قال الجوهريّ ويقال هو الواقِ بكسر القاف بلا ياء لأَنه سمي بذلك لحكاية صوته وابن وَقاء أَو وِقاء رجل من العرب والله أَعلم

Kemudian dilanjutkan dengan ayat setelahnya yakni

أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامٌ مِسْكِيْنٌ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تـَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ َتــعْلَمُوْنَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Ayat ini menjelaskan tentang hukum amaliyah puasa, yang mana hukum-hukum tersebut sudah dijelaskan dalam disiplin ilmu fiqih. Ayat ini menunjukkan adanya penentuan hari pengerjaan puasa itu, yakni selama sebulan, yang mana keterangan itu didapat dari telaah hadîts. Dalam ayat ini dijelaskan pula siapa-siapa yang berhak untuk mendapatkan ruhsoh/pengecualian untuk tidak melaksanakan puasa. Yakni orang-orang yang sakit, orang-orang yang dalam perjalanan/musafir yang jarak perjalanannya sudah ditentukan dalam ijtihad ulama masing-masing dalam berbagai madzhab, mereka mempunyai kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari selanjutnya dan data dikerjakan kapanpun. Kemudian orang-orang yang berat dalam menjalankan puasa, seperti contohnya manula dan ibu hamil/menyusui, maka mereka diberi kewajiban untuk membayar fidyah/kafarah yaitu memberi makan seorang miskin. Perlu digaris bawahi yang dimaksud memberi makan adalah bukan sekedar memberi makanan biasa, tetapi yang dimaksud memberi makan adalah mengenyangkan orang miskin yang dituju.

شَهْرُ مَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كاَنَ مَرِيْضًا أَوْ علَىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتــكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ علَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

(beberapa hari yang ditentukan dalam) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Ayat ini memberikan justifikasi, bahwa pada hari bulan Ramadhan (yang telah ditentukan) telah turun Al-Qur’ân. Di sini beberapa ulama baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syiah berbeda pendapat, ada yang mengatakan pada hari ke-17, ada yang mengatakan pada hari ke-19 dan ada pula yang mengatakan pada hari ke-21. Penegasan tentang salah satu ruhsoh untuk tidak berpuasa yakni sakit dan safar/bepergian juga kembali dipaparkan, karena Allah ingin memberikan penekanan bahwa kita (manusia) jangan sampai salah dalam mengambil tindakan apabila kita dalam keadaan safar atau sakit. Kemudian cukupkanlah bilangan (yang sudah ditentukan) agar kita menjadi salah satu hamba yang bertaqwa atas segala perintah-Nya.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Mungkin ayat ini terkesan tidak mempunyai korelasi atau tidak mempunyai hubungan dalam ayat-ayat setelahnya yang menerangkan puasa, sehingga beberapa ulama tidak menggolongkannya ke dalam ayat-ayat puasa. Akan tetapi ada juga ulama yang memaknai bahwa ayat ini juga mempunyai hubungan dengan ayat-ayat puasa sebelumnya. Yakni tentang keistimewaan bulan Ramadhan, di mana pada bulan itu Allah menjanjikan terkabulnya segala hajat dan terpenuhinya segala keinginan baik yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi, apabila kita berdoa kepadanya. Kemudian Allah melanjutkan dengan legitimasi agar dipenuhinya segala perintah-Nya atas manusia, termasuk perintah puasa dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya, dan juga untuk beriman kepada-Nya.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Pada kalimat أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ (Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu), penggalan ayat ini memberikan indikasi kepada kita bahwa dahulu berjima’ di bulan Ramadhan diharamkan mengingat sucinya bulan Ramadhan. Akan tetapi banyak di antara manusia melanggarnya dan Allah mengetahuinya. Oleh karena itu berkat kasih dan sayang-Nya Allah merubah aturan tersebut dan memperbolehkan para suami istri untuk berjima’ pada malam-malam bulan Ramadhan dan Allah memaafkan dosa-dosa mereka.

Ayat ini juga menjelaskan batas waktu kita diperbolehkan makan dan minum serta juga menjelaskan batas waktu kita untuk berpuasa. Dalam perkara berbuka puasa banyak terjadi komunikasi yang terputus di kalangan masyarakat, umumnya masyarakat menjadikan Adzan Maghrib sebagai pedoman untuk mengakhiri puasa. Akan tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Masa buka puasa telah dijelaskan secara gamblang dalam ayat ini yakni ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam).

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Ada makna yang tersirat dalam penggalan ayat ini, Dr. Umar Shahab MA menjelaskan maksud dari penggalan ayat ini bahwa jika kita berjima’ (pada bulan Ramadhan) maka selayaknya lakukanlah seadanya saja dan jangan berlebihan dengan tempo waktu yang lama seperti waktu beri’tikaf dalam masjid. تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.). Oleh karena itu hal inilah yang menyebabkan dahulu Allah melarang untuk melakukan jima’ pada malam bulan Ramadhan.

Antara Puasa dan Taqwa

Dari semua ritual ibadah yang diperintahkan Allah kepada makhluknya, baik itu shalat, zakat, haji dan lainnya, pada hakikatnya hanya mempunyai satu tujuan, yakni ketaqwaan. Pun juga puasa, puasa juga merupakan salah satu dari sekian banyak sarana untuk menjadikan kita bertaqwa kepada-Nya. Lantas apakah definisi taqwa? Selama ini kita telah salah dalam menginterpretasikan makna taqwa, yakni taqwa adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Itu bukanlah definisi taqwa, itu adalah hasil dari adanya sifat taqwa, itu adalah dampak yang dibuat dari adanya sifat taqwa.

Taqwa yang sebenarnya adalah upaya untuk lebih mengendalikan nafsu, sehingga bagi orang-orang yang mempunyai sifat taqwa mereka tidak akan terjerumus dalam nafsu dan hasilnya mereka menjalankan segala perintah Allah dan mereka menjauhi segala larangan Allah.

Puasa juga seperti itu, puasa melatih kita untuk mengendalikan nafsu, baik itu nafsu amarah kita ataupun nafsu hewani (makan, minum dan berjima’) kita, sehingga kita tidak terjebak dala perbuatan dosa. Selain itu selama kita berpuasa, kita dianjurkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu puasa sangat berhubungan dengan ketaqwaan, karena puasa merupakan salah satu media atau metode untuk menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang bertaqwa, selain itu puasa juga merepresentatifkan apa-apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang bertaqwa, maka dengan adanya itu, Allah mewajibkan kita untuk berpuasa كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).


REFERENSI

Mata kuliah Qur'anic Exegesis 2, atas bimbingan DR. Umar Shahab MA, di ICAS Jakarta

Muhammad Taufiq Ali Yahya. Puasa & Amalan Menggapai Laylatul Qodar. Lentera. Jakarta. 2006

print this page Print this page

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ternyata manfaat puasa tidak sesimpel yg saya pikir, makasi atas penjelasannya

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers