Iman dalam Perspektif Imam Alî as

Selasa, 04 Agustus 2009


Menurut Imam âlî as, iman adalah ma’rifat dengan hati, pengakuan dengan lidah dan tindakan dengan anggota-anggota badan. Iman mempunyai empat pilar, yaitu: sabar, yakin, keadilan dan jihad.

Sabar, mempunyai empat cabang, yaitu: rindu/syauq, takut/syafaq, zuhud dan antisipasi/taraqqub. Maka barang siapa yang rindu pada surga, dia akan melupakan segala godaan hawa nafsu. Barang siapa yang takut akan neraka, dia akan meninggalkan segala hal yang diharamkan. Barang siapa yang zuhud di dunia, dia akan menganggap ringan segala musibah. Dan barang siapa yang mengantisipasi kematian, dia akan bergegas melakukan amal-amal kebajikan.



Yakin, mempunyai empat cabang, yaitu: memandang segala sesuatu dengan ketajaman pikiran, menafsirkan dengan hikmah, menjadikan pelajaran sebagai nasihat dan sunnah orang–orang terdahulu. Maka, barang siapa yang memandang segala sesuatu dengan ketajaman pikiran, akan jelas baginya hikmah. Barang siapa yang baginya jelas akan hikmah, dia akan mengenal pelajaran. Dan barang siapa yang telah mengenal , seakan-akan dia termasuk orang-orang terdahulu.

Keadilan, mempunyai empat cabang, yaitu: menyelami pemahaman, mendalami ilmu, mengetahui intisari hukum, dan kukuh dalam kesabaran. Maka, barang siapa yang paham, dia akan mengetahui kedalaman ilmu. Barang siapa yang telah mengetahui kedalaman ilmu, akan keluar darinya syari’at-syari’at hukum. Dan barang siapa yang bersabar, dia tidak akan melampaui batas dalam semua urusannya dan akan hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang terpuji.

Jihad, mempunyai empat cabang, yaitu: mengajak kepada kebaikan mencegah kemungkaran, lurus dalam setiap keadaan dan membenci orang-orang fasik. Maka barang siapa yang mengajak kepada kebaikan, dia telah membantu orang-orang mu’min. Barang siapa yang mencegah kemungkaran, dia telah merendahkan orang-orang kafir. Barang siapa yang lurus dalam setiap keadaan , semua kebutuhannya akan terpenuhi. Dan barang siapa yang membenci orang-orang fasik dan marah karena Allâh, maka Allâh akan marah karena marahnya, dan dia akan menjadikannya ridho pada hari kiamat.

Catatan

Masyhurnya, seperti contoh yang dituturkan oleh Al-Ghazalî, bahwa iman adalah “membenarkan pengakuan itu dengan hati”, “meng-ikrar-kan dengan lisan” dan mengamalkannya dengan rukun-rukun. Ringkasnya orang yang beriman adalah orang yang percaya, mengaku dan beramal.

“Membenarkan dengan hati” maksudnya menerima/yakin atas ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saww. “meng-ikrar-kan dengan lisan” maksudnya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan maksud bahwa menjadi penguatan diri atas ucapan tersebut. “mengamalkan rukun-rukunnya”, yakni dengan anggota badan maksudnya hati mengamalkannya dengan keyakinan sedangkan anggota badan mengamalkannya dengan segala bentuk macam ritual ibadah yang telah di-syari’at-kan.

Namun, menurut Imam ‘Alî as itu tidak cukup untuk menjadikan iman benar-benar menjadi sebuah sifat yang dimuliakan oleh Allah SWT. Dikarenakan iman memiliki pendukung-pendukung yang mampu menopangnya seperti yang telah disebutkan di atas oleh beliau, yakni sabar, yakin, keadilan dan jihad.

Pendukung yang pertama adalah sabar, sabar adalah benteng dari gejolak nafsu manusia, dan bentuk dari kesabaran yang teguh akan memadamkan api nafsu. Dapatkah kita bayangkan bahwa keimanan akan tetap berjalan tanpa adanya bekal kesabaran di dalam relung pikiran seseorang? Akal kita dapat menarik kesimpulan bahwa itu tidak akan terjadi.

Yang kedua adalah yakin, akan tetapi yakin di sini bukan diartikan sebagai sifat, melainkan sebagai modal usaha yang diperlukan untuk mempelajari sumber-sumber kebenaran yang telah disaranakan oleh Allah SWT untuk manusia. Adanya yakin dalam diri manusia terhadap agama Allah SWT ini harus diberjalankan sebelum ia mengetahui kebenaran yang ada di dalam agama Allah SWT tersebut, dan diperkuat setelah ia mengetahui kebenaran tersebut.

Pendukung yang ketiga adalah keadilan, yakni keadilan untuk memaknai pengetahuan, hukum dan hikmah, khususnya yang telah termaktub dalam Al-Qur’ân dan hadîts. Keadilan-lah yang merupakan pembantu fithrah manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Keadilan-lah yang dijadikan manusia sebagai neraca timbangan untuk mengetahui yang salah dan yang benar. Maka dapatkah iman berjalan tanpa adanya sebuah sifat adil yang menyertainya? Mustahil itu akan terjadi.

Dan yang keempat, sekaligus yang terakhir adalah jihad. Jihad terbagi menjadi dua, Jihad Al-Nafs/jihad melawan nafsu dan Jihad bil Quwwah/jihad yang dilakukan dengan cara mengandalkan kekuatan melalui sarana peperangan. Akan tetapi yang akan dibahas disini adalah Jihad bil Quwwah. Karena elemen-elemen dari Jihad Al-Nafs sudah terkandung dalam pendukung pertama dan ketiga. Jihad di sini adalah suatu tindakan menentang keburukan guna mempertahankan kebaikan. Jihad dilakukan jika posisi kebaikan sudah tersisih oleh keburukan. Jihad adalah jalan terakhir yang harus dilakukan untuk membela kebaikan dengan jalan fisik atau kekuatan. Yakni bersifat defensif atau bertahan dan tidak berlaku sebagai offensif atau penyerang, yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saww pada masa hidupnya dalam berbagai peperangan. Lantas, kalau kita lihat lagi apakah sesuai pengeboman yang dilakukan oleh beberapa oknum di sebuah kawasan hotel yang terdapat khalayak ramai jika jihad ini bersifat defensif? Apakah sesuai tindakan mereka dikatakan sebagai jihad jika orang-orang tak berdosa terkena imbasnya? Maka hal ini jauh dari klaim jihad, dan merupakan sebuah tindak kekerasan yang konyol dan yang tidak menempatkannya kepada yang bukan tempatnya.

Jika kita lihat lagi, dapatkah keimanan bertahan tanpa adanya jihad? Sedangkan faktanya, gangguan-gangguan yang dapat merusak keimanan sudah dilakukan secara terang-terangan oleh zionis dan antek-anteknya melalui jalan kekerasan. Jika kita mengaku sebagai hamba yang beriman, maka persiapkanlah diri kita untuk membangkitkan hati kita untuk berjihad pada masa Imam Mahdî kelak dengan melakukan tafakkur/perenungan, ‘azm/upaya memperoleh tekad, dan masyârathah/pengondisian diri mulai dari sekarang.

REFERENSI

Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, kata-kata mutiara Alî ibn Abî Thâlib. Pustaka Hidayah. Bandung. 2003.

print this page Print this page

1 komentar:

Andi mengatakan...

Perkataan yang penuh dengan hikmah, blog ini bagus :c:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers