Kebebasan Beragama

Kamis, 04 November 2010


Pendahuluan

Salah satu tema yang tak akan pernah hilang atau lapuk ditelan oleh zaman seputar tentang hal yang bersifat social adalah kebebasan beragama. Faktanya semakin banyak manusia yang lahir maka semakin banyak pula aliran-aliran keagamaan yang eksis, sehingga terkadang aliran agama yang dirasa muncul lebih dahulu dengan bangunan teologi yang sudah solid dan diyakini oleh para pengikutnya menjadi tercerai-berai kembali dikarenakan para pengikutnya merasa aliran agamanya telah tersaingi atas aliran agama baru tersebut, dan pada akhirnya timbullah kemarahan dan rasa untuk melawan aliran agama baru tersebut. Maka hal inilah yang terkadang banyak menyulut tentang permasalahan intoleransi beragama, meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia pada tahun 1945 telah dilangsungkan dengan menyinggung permasalahan kebebasan beragama.

Harus kita akui bahwa manusia yang telah ditakdirkan tercipta bersuku-suku ini, secara otomatis telah membuka ruang gerak baru bagi manusia untuk merengkuh Tuhannya. Akan tetapi hal tersebut kadang sangat sulit sekali dimaklumi oleh beberapa kalangan. Sehingga paksaan dalam bentuk kekerasan beragama masih saja terus terjadi dan hak asasi manusia masih sering sekali terlupakan.

Akan tetapi, sejatinya seperti apakah kebebasan beragama itu? Apakah kebebasan beragama itu artinya membiarkan orang lain yang berbeda agama dengan kita untuk berpotensi menjadi kafir? Apakah kita harus melulu sibuk dengan keyakinan diri kita sendiri dan acuh kepada keyakinan mereka? Karena mengingat bahwa keimanan itu tidak boleh dipaksakan? Maka makalah ini akan membahas kesemuanya.

Arti Kebebasan Beragama

Sebenarnya kebebasan beragama itu pada dasarnya adalah hak untuk menentukan bagi diri sendiri, tanpa adanya segala bentuk tekanan, rasa takut dan was-was, hak untuk percaya atau tidak, hak untuk membebaskan bayangan-bayangan bawaannya ssendiri dari zaman kegelapan dan tentu juga adalah hak untuk mengekspresikan pilihan keyakinannya, yakni untu menyembah dan bersaksi dengan bebas.[1]

Akan tetapi perlu diingat bahwa sebenarnya kesemua agama itu bermuara dari satu pembawa, yakni dari bawaan ajaran Ibrahim as, kemudian berkembang melalui murid-muridnya sehingga muncullah Yahudi, kemudian pasca Isa as muncul Kristen dan di akhiri dengan Islam oleh Muhammad saww. Estafetisitas ajaran tersebut merupakan salah satu hukti bahwa sebenarnya ketiganya berasal dari satu sumber

Pada hakikatnya manusia adalah suatu makhluk yang tidak dapat kita maknai sebagai fisik saja layaknya hewan, karena manusia adalah suatu entitas yang diberi kekuatan oleh Tuhan untuk dapat merengkuh-Nya dengan melalui beberapa tahapan-tahapan. Keistimewaan manusia ini diperlihatkan oleh Al-Qur’an pada waktu Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepada Adam. Alhasil manusia memiliki hembusan dari Tuhan yang mana telah menjadikan mereka mampu untuk naik kepada-Nya dan menjawab panggilan-Nya dengan bebas.[2]

Rencana Tuhan atas manusia ini bukanlah sekedar kebetulan semata yang mana Tuhan hanya mereka-reka apakah layak manusia ini menjadi wakil-Nya di muka bumi, sehingga sampai-sampai Jibril dikatakan dalam Al-Qur’an sempat mengkritik Tuhan atas kesia-siaannya menciptakan manusia karena berpotensi akan membuat kerusakan di muka bumi. Rencana Tuhan atas manusia ini melainkan mempunyai tujuan, yakni memuliakan manusia, dengan cara menjadi satu dengan-Nya. Tuhan mengutus para utusan-Nya untuk menuntun mereka dengan suatu wasilah yang dinamakan sebagai agama. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka memberikan respons yang bermacam-macam, sehingga terciptalah pandangan-pandangan baru yang berangsur-angsur menjadi agama yang lain, yang mana Al-Qur’an-pun tidak serta-merta menolaknya akan tetapi malah membiarkannya:

“Tidak ada paksaan untuk agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[3]

“Berilah peringatan, karena kau hanyalah pemberi peringatan. Kau tak punya hak untuk memaksa mereka”

Ini mengindikasikan bahwa telah terbukti Al-Qur’an tidak pernah memaksa manusia untuk menekuni satu jalan saja, melainkan manusianya sendiri yang harus memilihnya secara sadar karena mereka telah cukup mendapatkan Hujjah-nya. Pun juga para utusannya tidak berhak memaksa atau mengatur pilihan dari manusia, melainkan cukup mereka menjadi sarana hujjah dhohir yang hanya menjalankan tugasnya, yakni sebagai peemberi peringatan. Mereka lebih banyak ditujukan untuk memberikan nasihat sdan menegur umatnya bila melakukan kesalahan.

Akan tetapi bukan berarti sikap untuk menjaga toleransi ini kita maknai sebagai sikap yang acuh atau tidak peduli terhadap sesama manusia. Akan tetapi sikap ini cenderung lebih untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya, karena hal yang bersifat ubudiyyah ini benar-benar hak prerogative individu yang seharusnya lepas dari paksaan.

Kembali kepada permasalahan pilihan manusia, keberadaan manusia itu sendiri di alam jagad raya ini tidak terpisahkan dari adanya hal-hal yang bersifat plural. Tidak ada sesuatupun yang berasal dari atribut-atribut mereka yang benar-benar menguasai, (dalam artian hanya memiliki eksistensi yang menyeluruh jumlahnya sehingga tidak ada eksistensi lain yang berdiri) sebanyak-banyaknya orang kulit putih yang tersebar di dunia ini, bukan berarti menisbatkan bahwa hanya orang kulit putih saja yang eksis, karena masih ada orang kulit hitam. Pun juga sebaliknya sebanyak-banyaknya orang kulit hitam di Afrika ini tidak mengartikan bahwa orang kulit putih tidak akan pernah kita jumpai di Afrika. Ke-plural-an manusia ini sejatinya telah disinggung dalam salah satu ayat Al-Qur’an:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat ini ditujukan untuk seluruh umat manusia bahwa sebenarnya manusia diturunkan dari sepasang orang tua. Suku, rasa dan bangsa mereka adalah label-label yang memudahkan agar kita dapat mengenali karakteristik tertentu yang berbeda. Akan tetapi sesungguhnya di hadapan Tuhan mereka semua adalah satu, dan orang-orang isitmewa diantara mereka adalah orang-orang yang paling bertakwa. Dengan kata lain, manusia tidak diciptakan untuk individualitas tunggal, melainkan diciptakan untuk membentuk komunitas, hubungan dan dialog.[4]

Kesimpulan

Dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya kebenaran atau Yang Haq itu adalah satu, akan tetapi jalan menuju kebenaran atau Yang Haq itu ada banyak. Maka dari itu, kebebasan beragama selayaknya harus kita junjung bersama, karena keimanan itu adalah suatu anugerah yang mana melewati jalur dan praktek yang berbeda. Dengan menggalakkan kebebasan beragama, maka kita telah menghargai kedaulatan rencana Tuhan yang telah dibuat untuk manusia.


[1] Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003) Hal: 252-253

[2] Ibid, Hal: 253

[3] QS. Al-Baqarah: 256

[4] Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003) Hal: 256

print this page Print this page

3 komentar:

DEALER PULSA MURAH mengatakan...

thanks bos
http://endriagus.blogspot.com/
http://img412.imageshack.us/img412/3662/kompintersempurna.gif

Anonim mengatakan...

Silahkan bergabung di Group kami :

GROUP
https://www.facebook.com/groups/Stop.Fanatisme/

Silahkan dibaca-baca page kami jika suka, tolong di Like page nya :

PAGE
https://www.facebook.com/pages/Stop-Fanatisme/172872749453830

Terima kasih

Berbagi Pengetahuan mengatakan...

mantap infonya
http://wongjavaberbagi.blogspot.com/

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 
 
 

Followers