Akal Sebagai Media Penyimpanan dan Memahami Realitas
Allamah thabathabai mendefinisikan bahwa akal adalah sebuah substansi yang tidak bermateri secara esensi maupun aktualitasnya, akan tetapi tidak dinisbatkan pula bahwa sesungguhnya terkadang pengenalan inderawi atau materi telah membantu akal kita untuk beraktualitas. Seperti contoh tentang wujud zihni/concept of mind, yang sebenarnya gejala-gejala tersebut merupakan gejala yang khas dimiliki akal yang dapat dipengaruhi oleh dunia luar.
Seperti contoh tentang gambaran benak mental kita tentang sebuah peristiwa yang sekiranya mengesankan yang pernah kita alami, maka hal itu kita peroleh dimulai dari penggambaran dunia luar dan kemudian tercerap dalam benak kita sehingga hal tersebut tersimpan dan dapat kita ingat kembali meskipun kita memejamkan mata, dan kelangsungannya tidak dipengaruhi oleh dunia luar, dengan ini dapat kita pahami bahwa akal juga berguna untuk menyimpan data pengetahuan. Maka dari itu, muncullah anggapan bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam benak kita secara otomatis telah tercopy oleh akal menjadi sebuah pengetahuan yang tidak absolut. Pengetahuan tersebut dihadirkan oleh akal melalui proses berfikir.
Dari pernyataan di atas, maka timbul pertanyaan tentang fungsi akal. Apakah akal itu hanya sekedar sebuah alat untuk mengubah bentuk yang berawal wujud dari wujud eksternal menjadi wujud internal/mental? Beberapa dari kalangan meng-iya-kan pertanyaan tersebut dengan meyakini bahwa akal hanya mempunyai fungsi untuk mempersepsi konsep apakah itu konsep universal ataukah partikular, yang sebenarnya persepsi tersebut didapat dari proses penginderaan.
Akan tetapi pendapat tersebut menurut Ayatullah MT. Mishbah Yazdi terkesan terlalu terburu-buru, menurutnya persepsi intelektual yang berkenaan dengan ide-ide dan konsep-konsep, terlebih lagi terdapat konsep universal yang didahului oleh sederet persepsi partikular, seperti contoh bahwa sapi berkembang biak dengan melahirkan, begitu juga dengan kerbau dan kambing, sedangkan sapi, kerbau dan kambing adalah hewan mamalia, maka dapat kita pahami bahwa hewan mamalia berkembang biak. Terlepas dari itu, bahwa persepsi partikular ini bisa jadi muncul dari penginderaan dan bisa pula dari pengetahuan yang hudhuri.[1]
Akal atau Penginderaan yang Mendasari Pengetahuan?
Seiring dengan perdebatan tentang akal, terciptalah beberapa pertanyaan yang mengkaji tentang akal beserta hubungannya dengan realitas eksternal yang diindera. Apakah akal yang mendasari ide? Ataukah sebenarnya realitas eksternal atau penginderaan yang mendasarinya? Sebagian dari filosof barat terutama yang mempunyai pola pikir materialisme berpendapat bahwa hanya penginderaan yang mendasari ide sedangkan akal hanya memprosesnya saja. Seperti contoh tentang ketika kita mencium aroma bunga, maka kita tidak akan mengetahui harumnya bunga tanpa indera penciuman kita.
Menurut MT. Mishbah Yazdi, pendapat tersebut sepenuhnya tidak salah atau dapat dibenarkan, hanya saja kesimpulannya yang patut disalahkan. Karena pendapat tersebut melupakan aspek-aspek batin yang dapat merasakan hadirnya pengetahuan secara jelas, seperti contoh rasa takut, sakit dan nikmat yang merupakan bagian dari konsep universal. Pengetahuan yang bersifat universal tersebut datang dari mana? Sepenuhnya semuanya tidak didapat dari penginderaan, akan tetapi semuanya didapat dari perasaan-perasaan batin. Maka dari itu, alangkah baiknya jika kita memaknai bahwa penginderaan hanya sebatas landasan untuk memperoleh ide/pengetahuan yang berawal dari partikular menuju universal. Seperti contoh bahwa terasi, ikan asin berbau busuk, sedangkan keduanya merupakan bagian dari bangkai, maka kita simpulkan bahwa bangkai berbau busuk.
Namun bukan berarti dalam mencerap pengetahuan, manusia selalu mengawalinya dari pengetahuan yang sifatnya partikular yang kemudian didukung dengan pengetahuan partikular lainnya dan bertransformasi menjadi pengetahuan universal. Terbukti bahwa manusia dapat mengidentifikasi beberapa kasus yang bersifat universal yang kita tidak mendapati contohnya di alam luaran melainkan hanya ada di di dalam benak kita, sepeti contoh sakit, takut dan cinta, atau bahkan konsep pengeneralisiran yang benak kita lakukan itu sendiri merupakan salah satu pengetahuan yang tidak kita dapati dari alam luar.
Kesimpulan
Kesimpulannya, dalam setiap proses berfikir, awalnya selalu membutuhkan persepsi individu sebelumnya. Persepsi individu yang merupakan awalan ini barangkali bisa berupa penyaksian indrawi atau bisa juga berupa hadirnya pengetahuan melalui medium bathin. Maka dari itu, penginderaan mempunyai peran sebagai landasan awal atau rujukan bagi pembentukan konsep-konsep universal, sedangkan akal bertugas untuk memainkan peran utama dalam pembentukan konsep universal.[2] Serta, akal bukanlah hanya sebagai alat untuk merubah dari yang eksternal menjadi yang internal, akan tetapi akal lebih baik lagi dapat kita katakan sebagai alat untuk memahami realitas. Dan pemahaman realitas tersebut berwujud sebagai pengetahuan atau ilmu. Dengan kata lain, akal adalah bergandengan dengan ilmu, seperti yang dikatakan Imam Baqir as: “Wahai Hisyam, sebenarnya akal itu bergandengan dengan ilmu sebagaimana Allah berfirman”: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”[3]
[1] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003) Hal: 125
[2] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003) Hal: 134
[3] Husein Al-Habsyi, Akal Dalam Hadis-Hadis Al-Kafi (Bangil: Yapi 1994) Hal: 89
0 komentar:
Posting Komentar