Pendahuluan
Nikah Mut’ah, beberapa orang mungkin sudah mengetahuinya dan menganggapnya sebagai salah satu syari’at biasa. Beberapa orang pula juga ada yang mengecam Nikah Mut’ah karena perbuatan tersebut dianggap serupa dengan berzina dan tidak beradab. Atas terjadinya hal yang paradoks ini mengenai Nikah Mut’ah, maka penulis mengangkat tema Nikah Mut’ah.
Seperti apa Nikah Mut’ah itu? Apa yang melatar belakangi adanya Nikah Mut’ah itu? Bagaimana anggapan orang-orang muslim Indonesia tentang Nikah Mut’ah? Dalam tulisan ini, pemakalah akan berusaha memberikan gambarannya demi tersingkapnya fakta yang terjadi.
Asal-usul Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah terjadi pada masa Rasulullah SAWW, di mana hal itu terjadi ketika Rasulullah SAWW dan kaum muslimin sedang dalam peperangan yang memakan waktu berbulan-bulan.
Sehingga hal itu menyebabkan para pasukan kaum muslimin pengikut Rasulullah SAWW tidak dapat menemui istri mereka. Yang mana kegiatan seksual merupakan kebutuhan rohani yang harus dipenuhi pada sepasang suami istri. Maka melihat keadaan itu ada salah satu dari pasukan Rasulullah SAWW yang menyampaikan keluhannya kepada beliau. Maka beliau mengambil keputusan untuk para pasukannya agar melaksanakan Nikah Mut’ah dengan wanita setempat. Keberadaan nikah mut’ah terus berlangsung sampai adanya keputusan khalifah kedua untuk melarangnya secara kenegaraan.
Hakikat Nikah Mut’ah dan Rukun-Rukunnya.
Istilah kata Mut’ah dalam kamus bahasa arab diartikan sebagai kegembiraan, kesenangan, kesukaan dan lainnya, sedangkan akar katanya berasal dari kata matta’ yang artinya membawa. Perkawinan Mut’ah dapat diartikan sebuah pernikahan di mana akad yang ditentukan akan berakhir pada periode tertentu. Hal itu tergantung persetujuan masing-masing. Dalam nikah mut’ah, pasangan diikat oleh suatu perjanjian yang mereka sepakati.
Syi’ah berpendapat bahwa istilah khusus “menikmati” diartikan sebagai perkawinan sementara. Karena Al-Quran dalam ayatnya (An-Nisa: 24) juga menyebutnya dengan arti menikmati sebagai perkawinan, yaitu “Lalu kepada wanita yang kamu nikmati berikanlah mereka mas kawin seperti yang telah disepakati”, maka secara logika, kata menikmati disikapi oleh Al-Quran sebagai perkawinan. Kata اسثمثع dalam Al-Quran yang diartikan dalam pernikahan merupakan bentuk verbal kesepuluh dari matta’.
Karena nikah mut’ah diakui sebagai salah satu dari bentuk pernikahan, maka salah satu rukun yang terpentingnya adalah adanya Ijab Qobul, yang tidak terbatas kepada teks seperti nikah da’im. Si wanita bebas melantunkan kalimat penerimaan dengan bahasa apapun yang bermaksud memberikan legitimasi atas diterimanya si laki-laki.
Rukun yang kedua yaitu Orang, seorang laki-laki hanya dapat melangsungkan akad mut’ah dengan wanita muslimah atau ahli kitab. Dianjurkan dari wanita tersebut ialah wanita yang suci. Maksud dari suci itu ialah tidak pernah berzina dan selalu mengikuti syariat dalam aktivitasnya. Sedangkan melakukan Nikah Mut’ah dengan pelacur, syiah memberikan justifikasi makruh.
Rukun yang ketiga ialah adanya periode waktu, periode waktu dari pernikahan mut’ah haruslah benar-benar ditetapkan, sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya penambahan atau pengurangan periode yang telah disepakati oleh kedua pihak.
Rukun yang keempat ialah rukun yang terpenting, yaitu adanya Mahar. Tidak ada syarat atau batas dari mahar tersebut, kecuali mahar tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Sedangkan perkara saksi, terdapat perbedaan ijtihad dalam kalangan ulama’ syiah. Ayatullah Alî Khamene’î berfatwa bahwa Nikah Mut’ah harus disertai saksi. Sedangkan Ayatullah Husein Fadhlullah berfatwa bahwa Nikah Mut’ah tidaklah harus disertai saksi, dalam artian tidak harus menggunakan saksi manusia, karena bumi yang diinjak pada waktu ijab qabul dalam mut’ah yang dilakukan bisa dijadikan saksi pada hari perhitungan amal kelak. Pun juga benda-benda mati yang ada di sekitar lingkungan yang ditempati pada waktu melakukan mut’ah juga diyakini oleh Ayatullah Husein Fadhlullah juga dapat dijadikan saksi.
Pendapat mengenai telah dinasakh-nya ayat mut’ah.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa ayat tentang mut’ah telah dinasakh, akan tetapi mereka belum pasti mengutarakan penggantian ayatnya. Sebagian dari mereka ada yang menyebut bahwa ayat mut’ah dinasakh dengan ayat tentang penjagaan farji:
والذين هم لفروجهم حافظون الا على ازواجهم اوماملكث ايمانهم فاءنهم غير ملومين
“Sifat orang-orang yang beriman ialah mereka yang menjaga farji mereka (dari perzinaan) kecuali terhadap istri-istri atau hamba–hamba sahaya yang mereka miliki. Mereka tidak tercela (apabila mendatangi mereka).”
Pendapat ini agaknya kurang jelas jika kita telusuri lagi karena ayat di atas berbeda konteks dengan ayat mut’ah, jika ayat mut’ah telah dinasakh harusnya ayat ini telah mendapatkan penggantinya yang konkrit dan tidak menimbulkan perdebatan seperti ini. Ayat mut’ah adalah ayat yang “muhkamat.”
Banyak para sahabat, tabi’ tabi’in yang menyatakan bahwa ayat mut’ah tidak dinasakh. Kebanyakan ayat yang digunakan untuk menasakhkan mut’ah adalah ayat makkiyah, sedangkan ayat mut’ah itu sendiri adalah ayat madaniyah. Jadi tidak akan mungkin bahwa yang datang terlebih dahulu dapat menasakh yang belakangan.
Abdul Razzak menyebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah SAWW berkata “ Barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berikanlah hak-haknya.”
Al-Zamakhsyari berkata, “Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut’ah sudah dinaskh, maka aku akan jawab: Tidak! Karena wanita yang dinikahi secara mut’ah dapat disebut sebagai istrinya.
Pendapat Para Fuqahâ’ dan Ahlulbait Tentang Nikah Mut’ah.
Empat pemuka madzhab besar dalam islam telah menghalalkan nikah mut’ah. Diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Abu hanifah menyikapi tentang nikah mut’ah sebagai nikah yang sah, masa yang ditentukan dalam akad pernikahan haruslah lama yang sekiranya keduanya hidup sebagaimana layaknya suami istri seperti ucapan laki-laki kepada wanita “Aku nikahi kamu selama setahun, atau lebih.” Nikah semacam ini sah, karena lama waktu itu dapat dianggap seperti daim.
Ahmad Ibn Hanbal seorang tokoh salafi yang asalnya mengharamkan nikah mut’ah juga kita dapati beliau memperbolehkannya, apabila hal itu terjadi dalam keadaan darurat, yang diucapkan oleh Ibn Katsir dalam Tafsirnya juz 1 halaman 474 serta dalam Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, juz 4 halaman 194. Juga pula dapat kita lihat pada hadîts yang menerangkan bahwa Ibn Abbas dan sekelompok sahabat lainnya menghalalkan mut’ah, Perawi atau yang meriwayatkan hadis tersebut ialah Ahmad Ibn Hanbal. Pendapat Ahmad Ibn Hanbal tentang ini sudah jelas sama dengan Ibn Abbas.
Imam Malik pun juga membolehkan nikah mut’ah. Hal ini terlihat dalam perkataan Imam Sarkhasi dalam kitab mabsuthnya: “Yang dimaksud dengan mut’ah adalah seorang laki-laki berkata kepada wanita,” “Saya nikahi kamu dalam batas waktu tertentu dengan mahar tertentu.” Nikah semacam ini menurut kita tidak sah, akan tetapi Malik Ibn Annas membolehkannya. Pendapat itu beliau ambil dari Ibn Abbas.
Al-Zaila’i juga meriwayatkan tentang Imam Malik yang membolehkan nikah mut’ah. Beliau beralasan karena nikah tersebut dilakukan di zaman rasulullah SAWW. Hal tersebut tetap akan berlaku sampai tampak jelas adanya hukum atau dalil yang menasakhnya.
Begitupula para ahlul bait, mereka menghalalkan nikah mut’ah. Syaukani telah meriwayatkan hadis yang menerangkan halalnya mut’ah dari Imam Muhammad Al-Baqir as dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Abu Hiyan setelah beliau meriwayatkan hadis tentang halalnya nikah mut’ah, ia berkata bahwa Ahlul Bait dan sekelompok tabi’in juga berpendapat sama demikian.
Nikah Mut’ah Dimata Muslim Indonesia.
Kebanyakan masyarakat muslim Indonesia adalah bermadzhab sunnah syafi’i. Keberadaan hukum tentang mut’ah tidak disetujui dalam madzhab tersebut, meski Imam Syafi.î tidak memberikan legitimasi yang konkrit tentang pengharaman mut’ah, jadi secara otomatis pula masyarakat Indonesia yang bermadzhab Syafi’î banyak yang tidak mengenal adanya nikah mut’ah dan memilih untuk tidak melakukannya. Dikarenakan adanya pelarangan dari khalifah kedua tentang hal tersebut. Bukti dari itu dapat anda lihat pada beberapa hadis di bawah ini.
Abu Zubair meriwayatkan dari Jabir Ibn Abdillah, bahwa beliau berkata: “Kami para sahabat di zaman Rasulullah SAWW dan di zaman Abu Bakr melakukan mut’ah dengan mas kawin segenggam kurma dan tepung, lalu Umar mengharamkannya karena ulah Amr Ibn Khuraist.
Jabir Ibn Abdillah dalam suatu hadis berkata,”Kita para sahabat dahulu melakukan mut’ah dengan wanita-wanita sampai Umar melarangnya. Dan masih banyak lagi hadis-hadis lainnya.
Akan tetapi, jika kita lihat lagi sebenarnya Umar tidak sepenuhnya melarang mut’ah, beliau melarang dikarenakan adanya penyalahgunaan oleh beberapa orang seperti yang disampaikan dalam hadis di atas. Beliau berkata,”Nikah mut’ah adalah salah satu jenis nikah yang dihalalkan oleh Allah SWT.”
Contoh bukti lain adanya bahwa Umar tidak melakukan pelarangan mut’ah secara syar’i telah dilontarkan oleh At-Turmudzi dalam kitab nawadirnya yang diriwayatkan dari Qasim, Abban, Ishaq dari Al-Fadhl bahwa beliau mendengar Imam Ja’far Shadiq berkata,”Umar mendengar tuduhan orang Irak bahwa beliau mengharamkan nikah mut’ah.” Kemudian Umar mengutus seseorang sambil memberinya pesan: “Katakan kepada mereka bahwa Umar tidak berhak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT, tetapi Umar melarangnya untuk tujuan kenegaraan.”
Jika dilihat dari segi sosial, memanglah mut’ah kurang pantas. Akan tetapi ini merupakan syariat dari Allah yang diturunkan melalui rasul-Nya yang bertujuan untuk membimbing manusia kepada jalan yang benar dan mengarahkan kepada manusia agar tidak melakukan perbuatan maksiat seperti berzina. Apa yang dihalalkan oleh Rasulullah niscaya halal sampai hari kiamat, begitupula dengan adanya nikah mut’ah yang beliau jelas telah menghalalkannya. Nikah mut’ah merupakan bentuk solusi dari adanya perzinaan di dalam ruang lingkup kehidupan remaja, kalaupun nikah mut’ah dirasa masih kurang pas, akankah kita memakai cara lain? Seperti contoh kita paksa mereka untuk menekan amarah nafsu seksualnya sampai mereka mempunyai bekal untuk menjalani kehidupan berumah tangganya. Apa mungkin dengan jalan ini kita dapat mendapatkan solusinya? Sedangkan fakta terjadinya perzinaan dikarenakan adanya paksaan seperti ini.
Kedua, kita mengadopsi cara orang barat, yang telah sedikitnya telah dicontoh oleh pemerintah Indonesia, yaitu mendirikan tempat-tempat prostitusi yang keberadaannya dilindungi oleh negara. Lalu kalangan remaja dapat melampiaskan nafsu seksualnya di sana dengan alasan agar mereka terjaga dari kesesatan dan kebejatan moral. Walaupun tidak terlihat oleh khalayak ramai, akan tetapi tetap saja hal itu dipandang merupakan sebauh kebejatan moral di mata Allah. Lagipula dengan diberjalankannya cara ini maka akan ada beberapa wanita yang bernasib sial yang harus menyerahkan diri mereka kepada kehinaan. Lalu di mana letak keadilannya? Justru hal seperti inilah yang memperlakukan wanita sebagai budak nafsu lelaki.
Coba kita lihat kepada mut’ah, yaitu jenis perkawinan yang ditawarkan oleh Islam. Tidak ada paksaan dan kerugian bagi yang melakukannya, karena hal ini terjadi “atas persetujuan pihak wanita dan laki-laki”, tanggung jawabnya berbeda dengan nikah permanen yang harus mengeluarkan uang lamaran untuk pestanya, menanggung dan menafkahi kehidupan istri. Hanya saja jika perkawinan ini membuahkan seorang anak, maka anak tersebut merupakan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki. Cara dan hukum dari perkawinan ini secara garis besar sama dengan nikah da’im (permanen), hanya perbedaan kecil saja yang membedakan antara keduanya. Menurut pemakalah, cara yang seperti inilah yang memenuhi persyaratan dalam segala aspek selain aspek sosial.
Sebenarnya, masyarakat muslim Indonesia merupakan masyarakat muslim yang rumit, jangankan tentang mut’ah, keberadaan poligami juga ditentang, sekalipun hal tersebut mempunyai dalil yang konkrit bahwa adanya poligami dibolehkan oleh Allah SWT. Sebagai muslim layaknya kita tidak boleh memperdebatkan syariat yang dibuat oleh Allah SWT. Kita hanya layak untuk melaksanakan kewajiban kita yang masih setengah-setengah, yaitu beribadah kepada-Nya.
Wallâh A’lam Bi Al-Shawâb…
REFERENSI
Sachiko Murata. Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni & Syi’ah. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2001
Ja’far Murtadho Al-‘Amili. Nikah Mut’ah Dalam Islam. Yayasan Abna’ Al Husain. Surakarta. 2002
12 komentar:
mana nih yg punya anak perempuan aku mau nikahi dia secara mut'ah
wah itu terserah anda, yang pasti syariat Allah itu mutlak bersifat abadi tidak akan termakan oleh perubahan zaman seperti apapun, ketika pernikahan dipersulit oleh adat budaya maka mut'ah juga menjadi solusi untuk menjadikan pernikahan itu semudah ketika zaman rasul yang tidak dipengaruhi oleh budaya materialisme, semua terserah anda, kalau anda ingin mut'ah itu hak anda dan saya jamin insya allah itu tidak menyalahi aturan Allah dan rasul-Nya :h:
tapi mana ada wanita zaman sekarang di indonesia yang mau dinikahi mut'ah? kecuali wanita pelacur.
nikah mut'ah itu ada syar'inya
Bisa minta lafadznya...?
klo boleh enek donk... gk ada namax zina... mu'ah aja... ke dolly... wkwkkwkwkwkkw
nice share bro, thanks infonya
souvenir murah
Anda rela anak perempuan anda dinikah mut'ah?
KLW KEBUTHAN ROHANI ALLAH MEMBERIKAN MIMPI BASAH PADA MANUSIA JIKA SPREMA NYA TDAK KLUAR DALM 1 OR 2 BULAN..SEPARAH2 NYA MASIH BISA ONANI.DLM KEADAAN PERANG MASIH BISA KEPIKIR SAMA PEPEK..WKWKWK.N RASUL SURUH TIDURI CEWE2 STEMPAT HANYA DGN AKAD MUT'AH,..N ADA PULA KHALIFAH KE 2 BERANI MELARANG KEPUTUSAN RASUL..N WKTU PERANG APA DGN KAUM MANA N DIMANA MEREKA PERANG.?MANA FIRMAN NYA AYAT BERAPA DLM ALQURAN,ALLH MEMBOLEHKAN NIKAH SEMENTARA WAKTU(MUT'AH)IBLIS KALIAN WAHAI SYAH..
Wkwk coba orang tua anda mau gak di nikah mut'ah kan? Atau tidak anak anda ? Adik anda sendiri dah kalo cewe. Hati" bro jika artikel ini tidak anda hapus secepatnya anda akan diminta dipertanggung jawabannya di akhirat nanti. Sayang jika anda pahala nanti digantikan dosa jika ada orang yang mengamalkan argumen anda ini. Wassalamualaikum
terima kasih infonya
Setahu gw nikah muntah bukannya haram?
Mana ada kaidah"yg di halalkan rasul akan tetap halal selamanya"?kaidah dari mana itu
...nih saya kasih contoh u alergi udang sedangkan udang itu halal di makan u hukumnya halal apa ngga...,itu jatoh hukumnya haram sama aja u makan racun..islam itu fleksibel bro
Posting Komentar